Showing posts with label other. Show all posts
Showing posts with label other. Show all posts

Sunday, April 15, 2018

Who The Next After Jokowidodo

Masalah "Kepemimpinan" di Indonesia Di Masa Datang
[Pasca Kepemimpinan Joko Widodo)

oleh: Emil E. Elip

Indonesia sejak Januari 2018 lalu, mulai sibuk memperbincangkan Pemilihan Presiden Tahun 2019. Mengamati perbincangan dan perdebatan di media massa baik media cetak maupun televisi, saya teringat memang benar kata Gus Dur (Abdurahman Wahid), bahwa hiruk pikuk perpolitikan Indonesia mirip "dagang sapi". Mirip pasar bursa jual-beli barang. Ada yang menawar tinggi, ada yang menyangsikannya. Sebagian kelompok politik pasang muka cuek dan merasa jual mahal, sementara yang lain tidak mematok harga. Bahkan ada yang berkoar-koar perang harga, sampai-sampai tega menghujat negara sendiri, bahwa Indonesia akan "bubar" pada tahun 2030.

Terus terang saya "jijik" membaca berita-berita soal Pemilu Presiden ini di media masa, apalagi di televisi. Berita-beritanya bombastis, sungguh tidak mendidik, tidak elegan. Media televisi, tak terkecuali, jadi arena "dagang sapi" perpolitikan dan bursa calon presiden dan wakil presiden. Cara mereka men-setting diskusi di televisi sungguh hanya menjadi arena debat kusir yang tidak membawa nuansa baru pembangunan budaya politik di Indonesia. Para pengelola televisi terjebak, bahwa jika diskusinya menuju saling debat dan hujat, seakan-akan ratting acara menjadi naik dan bagus, padahal sama sekali tidak ada isinya dalam pembaharuan wacana analisis politik.

Sunday, April 8, 2018

Prune Customary Young Merirage in Lombok



Pohon Perkawinan:

“Memangkas Adat Perkawinan Usia Dini”

(Desa Dasan Tapen, Kec. Gerung, Lombok Barat)

Oleh: Emil E. Elip

Sejak Kepala Desa Tapen menerapkan kebijakan desa “Pohon Perkawinan” untuk setiap pasangan yang akan kawin pada tahun 2014, perkawinan usia dini didesa ini cenderung menurun dari tahun ke tahun. Tahun 2017 angka pasangan perkawinan usia dini adalah “zero”. Dampanya cukup meluas....

Desa Tapen
Desa Tapen tipikal desa dataran dengan dominasi areal pertanian sawah dan palawija. Letaknya kira-kira di pinggiran Kec. Gerung, dimana kecamatan ini merupakan Ibu Kota dari Kab. Lombok Barat. Luas Desa Tapen + 20,11 Km2, dengan jumlah KK sekitar 1.734 KK, total penduduknya sekitar 7.000 jiwa. Desa ini terdiri atas 7 dusun, sebagian besar penduduknya adalah muslim dengan mata pencaharian terbesar yaitu petani palawija.

Kantor Desa Dasan Tapen (Dok. Elip-GSC)

Friday, March 30, 2018

Empowerment Debate on Village Autonomy in Indonesia

Perdebatan Tentang Pemberdayaan Desa
Oleh: Emil E. Elip

Perdebatan tentang desa di Indonesia tidak pernah usai. Tidak hanya diperdebatkan, bahkan pemanfaatan, politisasi, eksperimentasi tentang desa tidak pernah usai, datang dan silih berganti, di desa-desa di Indonesia sejak jaman kerajaan-kerajaan kuno. Agar pengelolaan dan pengawasan terhadap desa efisien, juga penarikan pajak bumi dapat dihitung dengan relatif tepat, maka diangkat "bekel" (menguasai beberapa desa/kepala desa), dengan target luasan daerah kekuasaan dihitung dengan "cacah". Cacah adalah jumlah rumah tangga total dari beberapa desa dalam teritorial kekuasaan seorang bekel. Dengan mengetahui jumlah (cacah) rumah tangga di wilayahnya, seorang bekel dapat memperhitung berapa besar upeti yang dapat diberikan kepada "sang raja". Kekuasaan birokrat lokal seperti ini nampaknya sudah berjalan sejak jaman Majapahit sampai kerajaan Mataram.
Image result for fasilitas desa
Pembangunan di desa menggunakan Dana Desa (uang negara/APBN)

Friday, March 2, 2018

The Leadership Process for Change



Kisah Tentang Ayam dan Telor
“Proses Kepemimpinan Yang Mengubah”:
Upaya Praksis Kepemimpinan Dalam Kerja Pemberdayaan

Oleh: Emil. E. Elip



Latar Belakang

Kepemimpinan (leadership) telah menjadi semacam pengetahuan yang diadopsi dan diterapkan ke berbagai segi kegiatan di dalam kehidupan. Dalam bidang sosial-kemasyarakat, bidang bisnis, perusahaan-perusahaan, organisasi kepartaian dan organisasi swadaya masyarakat, wilayah-wilayah sistem pemerintahan dari monarki sampai sistem negara republik, bidang organisasi keagamaan, dan lain sebagainya, membutuhkan “kepemimpinan”. Bahkan di dalam sebuah keluarga, dibutuhkan praktik-praktik kepemimpinan. Tidak terkecuali juga, program-program pemberdayaan masyarakat telah mengolah dan menerapkan praksis kepemimpinan tersebut.

Praktik kepemimpinan dimasing-masing institusi, kelembagaan, bidang-bidang pengorganisasian kerja tentu saja nampak berbeda-beda satu sama lain, yang sangat dipengaruhi rohvisi, misi, dan tujuan lembaga/institusi tersebut dibentuk. Dalam perjalanannya masing-masing lembaga tersebut, bukan tidak mungkin bahwa praktik kepemimpinan yang dikembangkan menjadi amat tidak jelas arahnya, tidak efektif dalam membimbing gerak lembaga, oleh karena tekanan-tekanan target atau tuntutan-tuntutan birokratis-administratif-prosedural yang terus menerus menekan.

The Rural Village Act Regulation and Social Change



Desa, UU Desa No.6/2014, dan Perubahan Sosial

Oleh: Emil E. Elip


Sudah ratusan tahun sejak jaman penjajahan Belanda, “desa” menjadi ajang pemikiran, arena eksplorasi dan eksploitasi, ajang perebutan, pergolakan politik, dll. Sebagian para ahli resah tidak rela jika desa dianggap replikasi dan bagian dari kekuasaan negara, sebagian ahli lain terutama ahli teknokrasi pembangunan sangat bersemangat bahwa desa merupakan bagian dari negara NKRI.

 

Sebagian ahli yang tidak rela jika desa dianggap bagian dari negara secara struktural mengambil alasan bahwa pada jaman Belanda desa-desa sudah diakui otonominya oleh Belanda, bahkan adat istiadatnya dibiarkan berkembang. Kita harus akui bahwa para birokrat Belanda yang dikirimkan ke Indonesia pada penjajahan dulu adalah para sarjana yang sangat ahli dalam studi-studi sosial. Mereka paham betul dan sangat tepat memotret secara antropologis maupun sosiologis sendi-sendi kebudayaan masyarakat Indonesia di desa-desa, dan karena itu mereka tahu betul bagaimana caranya “melemahkan” dan memecah belah antara rakyat jelata, para priyayi keraton/raja, serta para elit adat dan agama.

 

Agar “kehausan” para penjajah Belanda menguasai aset-aset di tingkat grassroot ini bisa terjadi secara langsung, dan tidak direcoki oleh para raja yang kekuasaannya tidak terbatas, maka “desa” harus sungguh-sungguh mereka pahami dan nampaknya mereka bisa menemukan kekuatan entitas desa sebagai teritorial maupun otonomi. Oleh karena itu kemudian dihembuskan desa sebagai entitas otonom dan bermartabat, agar memiliki kekuatan melawan raja mereka. Jika sebuah desa tak mampu ditahklukkan secara sosiologis, maka yang dilakukan adalah sebaliknya yaitu pusat kekuasaan raja yang didekati agar para raja lokal menekan desa dan rakyatnya sendiri. Ini bisa dilakukan karena para sarjana Belanda tersebut pun sangat paham kultur para priyayi kerajaan beserta simbol-simbol budaya kekuasaannya.

 

“Kepongahan” kita adalah apa yang sudah ditemukan oleh Belanda itu kita anggap “bagai pahlawan” bahwa Belanda-pun menghormati adat istiadat dan otonomi desa. Para sarjana “pongah” ini kemudian membayangkan suatu kondisi dimana negara dan pemerintah dewasa ini seyogyanya dapat meniru sikap pemerintah Belanda atas otonomi dan kekhasan desa.

 

Coffee, Aceh Cultural and Social Context



Kopi: Konteks Kultur dan Sosialitas Aceh
Oleh: Emil E. Elip

Beberapa  gambaran  dilematis  kopi  dan  petani kopi adalah sebuah kenyataan yang mungkin terasa sangat tidak adil bagi Anda. Ketidak adilan ini serasa semakin tajam jika Anda meminum kopi dari tanah Gayo di wilayah masyarakat Gayo-Aceh, merasakan nikmatnya[1] ditemani landscape yang indah atau hangatnya api unggun di sore hari, atau melihat bagaimana para petani menunggui dan menghidupi keluarganya dari kopi, maka sungguh terasa ketidak adilan itu hadir tidak hanya mengusik ”dikepala” namun meremas tepat diulu hati kita.

 Image result for pemandangan gayo
Tetapi  sudahlah,  kita  tidak  hendak  membahas kopi dari sudut ekonomi semata dan tatakelola perdagangannya yang timpang, yang memang nampaknya sangat ruwet. Yang perlu kita hargai sebagai energi kebudayaan adalah, bahwa kopi telah menjadi media sosialitas masyarakat Gayo dan masyarakat Aceh umumnya. Lebih dari itu, apapun pahit getirnya dalam konteks ekonomi, kopi telah menjadi  alat  bertahan  hidup (strugling  of  life)  orang Gayo menjaga keluarganya bertumbuh dari jaman ke jaman, entah bagaimanapun sulitnya hidup dan beratnya merawat kebun-kebun kopi.

Marilah kita sedikit meninjau kopi ini dari sudut sosio-kultural yang agak luas, tidak dalam komunitas Gayo saja tetapi juga komunitas Aceh pada umumnya (lihat terbitan dari Aceh sampai Loknga). Apakah kopi di kedai-kedai kopi di wilayah Aceh Nangroe Darussalam sama saja? Kalau Anda minum kopi di kedai-kedai kopi di kota-kota pesisir seperti Banda  Aceh,  Biereun, Lhokseumawe,  Langsa, Meulaboh,   dll   maka   rasa   kopinya   dikenal   oleh khalayak umum sebagai cita rasa kopi Ule Kareng yang juga kesohor di sana. Namun kalau Anda minum kopi dikedai-kedai  di  Bener  Meriah,  Takengon,  dan Kutacane maka bukan cita rasa Ule Kareng yang Anda temui, tetapi cita rasa kopi Gayo yang hitam dan lebih keras. Di tiga kota tersebut terakhir cita rasa kopi Ule Kareng bisa juga Anda temui khususnya di kedai-kedai kopi yang dibuka oleh orang Aceh pesisiran.


A Culture of Alor Island-Indonesia

Berkumpul dan Kebersamaan
(Tidak Mengenal Mati atau Hidup)
Oleh: Emil E. Elip


Pulau Alor terletak di Bagian Timur Indonesia, tepatnya di wilayah Provinsi NTT (East Indonesia Province). Saya beberapa kali berkesempatan berkunjung ke Alor, yang ibu kotanya di Kota Kalabahi, dalam rangka beberapa kegiatan penanganan bencana yang pernah terjadi di pulau ini.
 Image result for lokasi pulau alor
Sebagai seseorang yang suka menelisik atau mengamati budaya dan kebiasaan lokal di lokasi-lokasi yang saya kunjungi di seantero Indonesia, tentu saya mencari-cari kesempatan untuk bertandang dan bergaul dengan komunitas lain di luar kebiasaan rutin kegiatan kebencanaan. Saya tertarik dan mulai 'tergelitik" melihat banyak sekali pemakaman keluarga yang ada di pekarangan-pekarangan rumah di Alor.

Wednesday, June 21, 2017

Prevent Religious Radicalism and Terrorism



Upaya Mencegah Radikalisme-Terorisme

Berbasis Agama
Oleh: Emil E Elip

Di seantero Indonesia akhir-akhir ini merebak berbagai acara dan kegiatan yang bernuansa “pemuliaan atas perbedaan”, harmoni sosial dan pluralisme, menjaga keutuhan NKRI, memperkuat wilayah perbatasan dan daerah-daerah rawan konflik dari ancaman terorisme, dsb. Media sosial (medsos) dan media masa tidak henti-hentinya mempromosikan kegiatan-kegiatan semacam itu. Kita semua seakan dilanda pobia terpecah-belah, yang seakan-akan baru kemarin sore saja disadari bersama bahwa ancaman itu nyata di depan mata.

Radikalisme yang cenderung menjadi terorisme berbasis agama “menggedor” kesadaran kita bersama. Kita semua “berteriak!!”, namun karena mediumnya agama kita juga tersedak “ambigu” dan sedikit saja mau dan mampu bergerak!

Friday, June 16, 2017

Radicalisme is an Crime!!!



Radikalisme Agama Itu Kriminal!!!

Oleh: Emil E Elip


Akhir-akhir ini masyarakat indonesia disibukkan dan sekaligus menjadi kekhawatiran mengenai “radikalisme”, terutama radikalisme agama. Sesungguhnya tidak hanya tentang agama, semua gerakan yang bernuansa “radikal” cenderung merugikan banyak pihak terutama masyarakat umum tanpa kecuali.

Radikalisme etnik tertentu tentu akan merugikan bahkan meminta korban etnis tertentu yang lain karena berbentuk nyata dalam wujud perang antar etnis atau suku. Begitu pula radikalisme agama tertentu akan meminta korban para penganut agama lain. Radikalisme agama bisa berwujud macam-macam karena agama memiliki berbagai kelompok paham dan sekte-sekte tertentu.

Bagi saya pribadi, setiap agama dan kelompok-kelompok atau sekte yang ada dibawahnya, memiliki potensi radikal atau bisa disebut fanatik. Itu adalah mekanisme yang wajar karena setiap orang yang beragama cenderung tidak ingin agama yang menjadi junjungannya “dilecehkan” oleh pemeluk agama lain. Itulah agama yang secara teoritik sering disebut memiliki level private/individual dan sosial. Semuanya itu juga tergantung “kedewasaan” seseorang memaknai kedalaman cara dan luku beragama.

Wednesday, April 19, 2017

A Village With Incridible Local Financial Sources



Desa Maniskidul:

Contoh Desa Mengelola Penghasilan Desa

Dengan Sangat Baik!

Oleh: Emil E. Elip

Sejak jaman penjajahan Belanda, desa ini boleh dikata sudah independen dan memiliki otonomi yang kuat. Masyarakat desa ini sangat menyadari bahwa mereka memiliki aset-aset yang luar biasa di desa mereka sebagai peninggalan nenek moyang mereka. Inilah Desa Maniskidul, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Mereka berani bernegosiasi dengan Pemerintah Daerah dalam berbisnis. Penghasilan desa, yaitu Penghasilan Asli Desa, kini lebih dari Rp. 1,5 M per tahun. Dikelola dengan manajemen baik, transparan, melalui lelang terbuka.

Tuesday, April 18, 2017

Measuring Indonesia Village Autonomy



Mengukur Kemandirian Desa

Oleh: Emil E. Elip


Pengantar
Desa yang mandiri adalah impian kita semua. Meskipun konsepsi utuh mengenai gambaran desa mandiri itu masih relatif “abu-abu”, namun dengan dikeluarkannya UU Desa No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dapat dijadikan tonggak adanya “niat” yang kuat memandirikan desa. Ternyata niat yang kuat saja tidak cukup, karena jelas sangat terlihat konsepsi kita memahami “desa” bersifat dualisme. Di satu sisi desa itu dipandang sebagai hanya masyarakat desa-nya saja dengan mengesampingkan pemerintah desa, dan disisi yang lain desa itu adalah pemerintah desa.

Diantara simpang siur tentang desa itu, paper ini hendak menyoroti gambaran yang selama ini ada mengenai kemandirian pemerintah desa, lebih khusus lagi pada aspek kemampuan atau kemandirian dukungan finansial desa yang bersumber dari pendapatan asli desa (PADes). Bagaimana kondisi PADes tersebut di desa-desa kita di Indonesia. Apa problematis realitas dan teoritis kemandirian pemerintah desa melalui kekuatan finansialnya itu? Lantas bagaimana kapasitas para aparat pemerintah desa jika ingin kita bahas melalui apa yang disebut “revolusi mental”? Mental seperti apa?

Monday, April 10, 2017

The Appreciation of Tolerance in Indonesia

Apresiasi Atas Toleransi di Indonesia

Oleh: Emil E. Elip


Saya hampir tidak percaya jika dikatakan bahwa bangunan rasa toleransi di Indonesia akhir-akhir ini retak. Apalagi retak parah hampir pecah. Selama lebih dari 12 tahun terakhir saya keluar masuk hampir diseluruh wilayah Indonesia, entah dalam rangka membantu kegiatan lembaga sosial atau kegiatan-kegiatan dari institusi pemerintah seperti Kementerian Daerah Tertinggal (sekerang Kemendesa PDTT), Kemendagri, BNPB, Kementan, dll. Mulai dari Jayapura, Wamena, seluruh kabupaten di Kupang, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Tengah, Selatan, seluruh Jawa, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, bahkan saya yang Katolik ini pernah menjelajah Aceh di pusat-pusat komunitas Muslim paling dalam seperti Lhokseumawe, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar, Kab. Bener Meriah dan Aceh Tengah, serta Kota Banda Aceh. Saya ingin katakan, bukan saja karena (mungkin) saya pandai membawakan diri di seluruh masyarakat yang saya pernah hidup tadi, tetapi tentu saja saya percaya "ada sebuah ruang terbuka" di hati para masyarakat itu untuk menerima kehadiran orang/masyarakat lain diluar adat, kebiasaan, dan religiusitas mereka. Saya amat percaya itu.

Saya terkadang terperanjat. Terkejut campur penasaran. Oleh karena ketidaktahuan saya (yang mungkin tulus) atas adat, kebiasaan setempat sehari-hari, atau aturan-aturan dalam adat religiusitas mereka, kesalahan-kesalahan saya malah justru "ditertawakan", menjadi lelucon bagi mereka. Saya ditertawakan, tetapi kemudian diberitahu jangan begini atau begitu, sebaiknya begini.... Tidak ada amarah pertama kali yang muncul dalam masyarakat itu. Mereka ternyata punya hati "reserve" untuk sesungguhnya memaafkan atas orang lain yang tidak tahu. Saya selama bergaul di berbagai komunitas dan institusi pemerintah di Aceh, kadang tidak melakukan salam seperti kebiasaan saudara Muslim kalau membuka diskusi atau rapat, tetapi saya kadang mengutip salam saudara-saudara saya yang Muslim. Dan tokoh agama, tokoh pemerintahan daerah, serta rekan-rekan saya di Aceh tidak membenci apalagi marah terhadap saya. Semua ini karena mereka tahu saya seorang Katolik, non Muslim. Tapi bagi saya jelas tidak sampai hati pada diri mereka mengatakan bahwa saya "kafir". Kalau mereka menganggap saya kafir, pasti sejak beberapa bulan saya di Aceh, saya sudah disuruh pergi dari Aceh.

Friday, April 7, 2017

Culture, Corruption, and Individu

Budaya, Korupsi, dan Individu
Oleh: Emil E Elip
 

Indonesia sampai saat ini masih tergolong sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi yang cukup tinggi, meskipun usaha untuk melawan itu semakin gencar dan aktif di era kepemimpinan Presiden Jokowi. Kita semua berharap bahwa di dalam masa kepemimpinan Jokowi ini, korupsi diberantas habis-habisan. Tapi apa sebenarnya fenomena korupsi ini! Apakah korupsi tinggi mencerminkan kebudayaan masyarakat yang korup? Ataukah korupsi tinggi menggambarkan kehidupan beragama masyarakatnya yang (maaf) rendah? Ataukah korupsi ini hanya sebatas urusan karakter pribadi individu saja? Yang jelas ada beberapa pakar kosupsi yang berpendapatan tidak mungkin korupsi ini mampu ditekan sampai titik "zero" (nol)!!

Monday, April 3, 2017

Jokowi Phenomenon

Fenomena Jokowi

Oleh: Emil E Elip


Saya kira tidak berlebihan jika banyak sekali pemberitaan tentang Presiden Joko Widodo, atau populer disapa Jokowi, baik di media masa cetak, media masa on-line, maupun youtube, dll menyuguhkan nuansa yang amat positif. Saya secara pribadi "merinding", kagum bercampur haru, bangga bercampur khawatir, betapa sederhana dan apa adanya presiden kita satu ini. Kalau kita menilik perawakannya, memang  kurus dan nampak lemah, namun sepak terjang dan gesture tubuhnya menunjukkan jiwa yang sangat pemberani, tahu betul resiko yang akan terjadi, dan memang begitulah yang harus terjadi jika berlandaskan pada jiwa tulus.