Upaya Mencegah
Radikalisme-Terorisme
Berbasis Agama
Oleh: Emil E Elip
Di
seantero Indonesia akhir-akhir ini merebak berbagai acara dan kegiatan yang
bernuansa “pemuliaan atas perbedaan”, harmoni sosial dan pluralisme, menjaga keutuhan
NKRI, memperkuat wilayah perbatasan dan daerah-daerah rawan konflik dari
ancaman terorisme, dsb. Media sosial (medsos) dan media masa tidak
henti-hentinya mempromosikan kegiatan-kegiatan semacam itu. Kita semua seakan
dilanda pobia terpecah-belah, yang seakan-akan baru kemarin sore saja disadari
bersama bahwa ancaman itu nyata di depan mata.
Radikalisme
yang cenderung menjadi terorisme berbasis agama “menggedor” kesadaran kita
bersama. Kita semua “berteriak!!”, namun karena mediumnya agama kita juga
tersedak “ambigu” dan sedikit saja mau dan mampu bergerak!
Sekilas Sejarah
Radikalisme di Indonesia
Pada
jaman awal-awal jaman kemerdekaan RI, negara dan masyarakat Indonesia pernah
dilanda prahara pilihan antara demokrasi liberal dan komunisme-sosialis. Pemerintah (resmi) NKRI telah memilih garis
ketatanegaraan sebagai demokrasi liberal, yang tentu cenderung bergerak menuju
negara dengan tatakelola ekonomi kapitalis. Ada sekelompok orang pergerakan
yang memilih dan menganggap paham lain lebih ampuh membawa bangsa menuju sejahtera,
yakni paham komunisme-sosialis, dan kelompok itu melakukan gerakan teroganisir
secara horisontal maupun vertikal. Mereka ini tergoda memperluas pengaruhnya
secara diam-diam namun akhirnya menjadi “radikal” melalui jalan kudeta.
Kelompok
berpaham komunis itu membuat berbagai sayap organisasi dimana-mana, baik di
bidang kepemudaan, gerakan kesenian rakyat, organisasi perempuan, organisasi
tani dan buruh, membangun media masa, dll. Mereka bergerak secara “horisontal”.
Secara vertikal mereka mempengaruhi atau memasukkan paham komunisme ke struktur
pemerintahan dan ABRI. Waktu itu sangat mungkin, disuatu instansi pemerintah,
ada dua jenis pegawai pemerintah yaitu yang berpaham komunisme dan lainnya
berpaham demokrasi liberal. Bisa saja mereka saling tidak tahu, saling
menutupi, tetapi ada rivalitas di dalamnya...yang tinggal menunggu bom waktu
untuk “pecah” secara konfrontatif.
Dan
memang akhirnya sangat kentara gerakan itu menjadi “radikal” setelah merasa
memiliki masa dan dukungan yang kuat, dan pecahlah konfrontasi sosial yang oleh
banyak orang disebut “kudeta” politik. Untung kudeta dan radikalisme tersebut
bisa diatasi dan dilemahkan, sehingga negara Indonesia terselamatkan dari
konflik panjang yang bisa jadi semakin parah.
Lima
tahun terakhir ini bangsa Indonesia dilanda faham keagamaan yang ditengarahi
sebagai Islam radikal. Tentu kita semua tidak akan pernah menduga bahwa faham
Islam radikal tersebut tidak akan sekacau dewasa ini yang telah bercampur
dengam politik kekuasaan dan menimbulkan anarkis sosial dimana-mana. Paham
Islam radikal itu nampaknya mengambil pola dan strategi yang mirip yang
dilakukan oleh paham komunisme-sosialis pada awal-awal jaman kemerdekaan itu,
yaitu gerakan horisontal dan gerakan vertikal.
Gerakan
horisontal terlihat setidaknya bahwa kelompok Islam radikal sengaja membuat
cabang organisasi sayap di sebagian besar wilayah Indonesia. Mereka juga
membentuk cabang atau organisasi underbow lainnya. Dengan demikian ada motif
mengembangkan ideologi memakai strategi “perluasan” space/ruang. Secara vertikal mereka juga mendekati dan mungkin
mempengaruhi organisasi/partai politik, mungkin juga para pengambil kebijakan
di tubuh TNI/POLRI, bahkan juga di legislatif serta birokrasi kepemerintahan.
Ini persis seperti PKI dengan paham komunis-nya menggerogoti ABRI dan para
petinggi negara disekitar Bung Karno.
Sementara
itu secara terpisah, sudah mulai bergerak para operator teror bom, yang sudah
sering kita lihat dan baca di medsos dan media masa. Saya kira anasir-anasir
kuat radikalisme dan terorisme tersebut nanti kemungkinan besar akan menjadi
gerakan separatis (contohnya nyata adalah konflik Marawi-Pilipina) dan atau
gerakan kudeta terhadap negara, karena mereka sedang menunggu moment dan
mengukur akumulasi kekuatan. Menyusup-nya mereka ke posisi-posisi institusi
negara pasti akan membuat kebingungan, kebimbangan, ketidakjelasan arah di
antara para birokrat, politisi, petinggi negara dan legislatif. Akan terjadi
konfrontasi dan faksi-faksi serta persaingan “diam” di antara para petinggi
itu, dan disitulah titik lemahnya. Dan ketika saat itu tiba, mereka tinggal
mengkoneksikan titik gerakan yang satu dengan titik gerakan yang lain, dan
...kacaulah bang ini.
Membaca
dari gerakan-gerekan para kaum radikal itu (dalam hal ini adalah radikalisme
agama), bisa ditengarahi beberapa ciri: (1) Memiliki ideologi yang diambil dari
ajaran agama, yang disebar luaskan secara progresif terutama melalui medsos;
(2) Sengaja membangun jejaring dan organisasi underbow secara horisontal di berbagai tempat; (3) Sengaja
membangun jejaring secara vertikal baik aparatur dan pejabat negara, petualang
politik-kekuasaan, aparatur dan pejabat militer; para pengusaha, kaum cendekia,
dll; (4) Dioperasikan secara radikal jika perlu melalui teror, yang sampai
tingkat tertentu tanpa mempertimbangkan perikemanusiaan, keamanan umum, dll
karena kekerasaan demi “bedirinya kerajaan Allah” adalah sorga bayarannya.
Masa Yang
Disorientatif dan Ambigu
Sejauh
pembacaan saya –maaf jika kurangnya informasi atas diri saya—sangat sedikit
atau tidak pernah ada informasi dari mereka yang menjadi korban dari aksi
readikalisme dan terorisme agama ini. Sangat sedikit interogasi atau informasi
apa pendapat dan pandangan dari para pengungasi akibat radikalisme-terorisme
agama ini terhadap kondisi yang terjadi. Apa sesungguhnya pandangan, kesan,
persepsi, dan harapan dari para pengungsi atas kecamuk di Timur Tengah (yang
tentu sebagian besar Muslim itu) terhadap yang terjadi di negara mereka karena
isu NIIS, Al-Qaeda, dan gerakan Islam radikal lainnya.
Sejak
perang berkecamuk di Marawi (Pilipina) juga tidak ada pemberitaan yang
menggambarkan secara mendalam kerugian, kebingungan, keputusasaan, pandangan
terhadap dunia dan agama, tentang mereka yang terpaksa menjadi “tameng hidup”
pertempuran kelompok ekstrimis Maute dengan tentara Pilipina. Apakah mereka
rela menjadi “tameng hidup”, ataukah mereka sengaja menawarkan diri menjadi
“tameng hidup” sebagai bagian perjuangan jihad melawan kafir. Lantas bagaimana
dengan mereka yang terpaksa mengambil jalan “mengungsi”?
Informasi
yang saya maksud tadi sangat penting untuk memberikan edukasi kepada dunia,
bahwa perjuangan mendirikan negara Muslim melalui jalan radikal dan terorisme,
selalu membawa korban kaumnya yang Muslim pula. Bahwa jalan radikal-terorisme
yang ditempuh tidak selalu “diamini” kaum Muslim lainnya. Dan dengan demikian
menunjukkan pula bahwa hanya segelintir kaum Muslim yang haus kekuasaan atas
nama agama saja, yang sesungguhnya memiliki nafsu mendirikan negara Muslim
dengan jalan radikal dan teror. Ini semua merupakan narasi “counter ideology” yang perlu dan harus
disebarkan kepada dunia. Bahwa mendirikan negara Islam dengan jalan
radikal-terorisme itu adalah kriminal, menumbuhkan penderitaan sesama kaumnya,
dan (mungkin juga) “haram” hukumnya.
Harian
Kompas di bulan Juni 2017 pernah memuat pemberiataan kecil bahwa ada seorang
perempuan Indonesia yang menjadi relawan gerakan NIIS hanya karena tertarik
oleh janji propaganda oleh NIIS bahwa negara Islam yang sedang diperjuangkan
akan mensejahterakan rakyatnya dalam berbagai segi. Setelah terlibat dalam
gerakan itu, akhirnya perempuan itu memutuskan untuk keluar karena semuanya itu
bohong. Sangat mungkin masih banyak perempuan dan lelaki lain, tidak hanya dari
Indonesia, yang bergabung dengan NIIS hanya semata-mata persoalan yang
nampaknya demi ekonomi dan kesejahteraan hidup.
Perempuan
dan orang-orang lain yang seperti dia, adalah korban ideologi yang disebarkan
oleh NIIS dengan janji dogma surgawi dan kesejahteraan. Kalaupun akhirnya tetap
miskin dan menderita, sorga adalah janjinya karena sudah ikut terlibat jihad
membentuk negara Islam sebagaimana diperjuangkan oleh NIIS. Orang-orang semacam
ini menurut saya mengalami “disorientasi” ideologi agama. Tidak mungkin hanya
karena ekonomi lantas bergabung dengan NIIS. Lebih baik menjadi TKI di Arab
Saudi saja kalau hanya mengejar perubahan ekonomi. Dan nampaknya banyak orang
Indonesia yang mengalami hal semacam itu, dan merelakan diri bergabung dengan
NIIS, Al-Qaeda, atau radikalisme lain di Timur Tengah.
Counter Ideology di Indonesia untuk
melawan dogma yang digaungkan oleh NIIS dan kelompok radikalisme lain sangat
minim. Dimana letak kesalahan atau kelemahan ajaran NIIS dan kelompok radikalis
yang lain dalam konteks Islam, tidak cukup luas digaungkan. Penderitaan kaum
Muslim di pengungsian-pengungsian, harapan, pandangan, dan sikap kritis mereka
terhadap kaum radikal Islam juga minim sekali diungkap. Apakah menjadi
pengungsi adalah bagian penderitaan yang tetap harus ditanggung sebagai
pengorbanan kaumnya yang lain yang sedang berjuang mendirikan negara Islam
(NIIS)? Ini semua menurut saya karena kita semua mengalami disorientasi dan
ambiguitas.
Apa
sebabnya! Karena semua gerakan radikal itu mengatas namakan dogma ajaran agama
(dalam hal ini Islam). Semua pemimpin gerakan radikalis yang dimaksud memiliki
status posisi sebagai pemimpin agama di kelompoknya masing-masing. Maka apakah
dibenarkan ataukah akan menjadi “rahmat” jika Islam melawan Islam, Muslim
melawan Muslim!! Itulah yang menjadi penyebab mungkin munculnya disorientasi
dan ambiguitas sikap. Itulah yang mungkin menyebabkan bahwa sebagian besar
teman Muslim di Indonesia hampir-hampir tidak percaya: “bagaimana ini kok kita melawan sahabat atau sodara kita yang Muslim
pula! Apa yang harus kita lakukan!?”.
Dan oleh karena itu akibatnya memilih jalan diam, sulit ditebak sikap
orientasinya. Ini semua karena sangat sedikit sumber yang sah yang memberikan
orientasi counter ideology terhadap
ajaran-ajaran Islam yang radikal yang digemborkan oleh NIIS, Al-Qaeda, dan
lainnya.
Langkah Upaya
Meredam!!!
Harus
disadari sejak awal bahwa upaya meredam radikalis-terorisme agama ini
dihadapkan pada masa sebagian besar rakyat Indonesia yang “disorientasi dan
ambigu” sebagaimana saya gambarkan di atas. Ini semua karena kita sangat nyaman
berabad-abad dengan kondisi harmonis antar etnis, golongan, dan agama yang
hidup di Indonesia, yang bahkan sudah sangat disanjung dan terkenal di seluruh
dunia.
Meredam
radikalisme apalagi khususnya radikalisme agama, ada yang mengekaitkannya
dengan masih parahnya ketimpangan ekonomi di Indonesia. Analisis semacam ini
tidak salah, tetapi saya kira cenderung merupakan pelarian dari ketidakmampuan
membuat analisis dari sudut counter ideologi atau counter teologi agama.
Mungkin bukan karena “ketidakmampuan”, tetapi karena rasa ewuh-pekewuh atau
dengan kata lain ambigu karena terpaksa harus melakukan perlawanan counter
ideologi dan teologi di kehidupan agama yang sama. Ambil contoh saja, sangat
terasa sekali bagaimana MUI sangat hati-hati –atau karena terlalu santun ewuh pakewuh—
memberikan counter ideologi terhadap kelompok-kelompok Islam yang dipandang
radikal misalnya saja terhadap sepak terjang FPI yang sering menjadi polemik
itu.
Meredam
radikalisme seperti itu, serta mengkaitkan dengan lemahnya negara menanamkan
ideologi Pancasila dan menjaga keamanan teritorial, menurut saya juga tidak
benar seratus persen. Melawan atau mencegah radikalisme agama di Indonesia adalah
tanggungjawab masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dimana negara seharusnya
diperankan memfasilitasi saja. Munculnya radikalisme agama yang kemudian bisa
menjadi terorisme berbasis agama, pertama-tama bukanlah karena kegagalan
negara. Urusan negara adalah jika radikalisme itu telah mengorbankan keamanan
dan kepentingan umum rakyat, menimbulkan kekacauan keamanan publik, memberangus
hak-hak publik, mengancam NKRI karena munculnya separatisme yang beroperasi
melalui terorisme. Amatlah salah jika negara terpaksa menghalau, menekan, dan
merepresi anasir-anasir semacam itu lalu disimpulkan bahwa negara ini tidak
demokratis atau negara ini merepresi kebebasan ekpresi beragama.
Meredam
radikalisme agama yang cenderung anarkis dan teroris, harus bersifat counter
ideologis dan praktis taktis progresif sebagaimana para ektrimis itu juga
melakukannya melalui jalan ideologis dan praktis progresif. Berikut sekedar
usul menyumbangkan pemikiran untuk meredamnya, yaitu:
Pertama,
kita memiliki dua organisasi keagamaan (Islam) yang besar, yang sudah diakuai
sikapnya yang moderat, yang juga sudah melayani umat Muslim amat lama, memiliki
umat pengikut yang terbesar di Indonesia, yang juga sudah diakui negara yaitu
Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiah (MH). Diharapkan NU dan MH ini bersinergi
secara kuat untuk merumuskan counter ideologi
berbasis dogma agama, dan menyebarkan secara mekanisme jejaring dan organisasi
yang rapi, melalui masjid-masjid diseluruh Indonesia secara berkelanjutan.
Banyak sekali institusi universitas dari NU dan MH yang dapat dan sudah
menelorkan ustad muda atau cendekiawan muslim muda, yang bisa diorganisir
secara programatis serta diutus sebagai gerakan pelayanan umat yang membina
masjid-masjid di seluruh wilayah Indonesia. Demi masa depan negara yang
harmonis tentu saya yakin semua unsur masyarakat akan rela membantu dan
mendukung terwujudnya gerakan semacam itu.
Waktu
saya masih kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogya, saya pernah
mendengar bahwa ada satu masjid yang dipakai khusus hanya kelompok-kelompok
Muslim tertentu, dan kelompok Muslim yang lain enggan sholat jum’at di masjid
tersebut. Begitu pula yang terjadi sebaliknya. Saya tidak mengerti apa yang
terjadi. Belakangan setelah gerakan FPI marak dimana-mana dan mereka memakai
atau katakan “menduduki” masjid tertentu sebagai media pertemuan dan ibadah
khusus untuk kelompok mereka, baru saya sadar bahwa masjid pun bisa dipakai
sebagai media gerakan radikalisme.
Kedua,
negara perlu mengembangkan kembali semacam “gerakan kebersamaan semestra”, yang
memfungsikan kembali RT, RW, Pedukuhan/Kampung, dan Pemerintah Desa sebagai
medium pertemuan rakyat untuk memastikan bahwa penduduknya terlibat dalam
kegiatan-kegiatan lokal dan pertemuan keagamaan di tingkat lokal, sebagai media
untuk memantau warga. Dari berbagai informasi di media masa ada kecenderung
bahwa para penganut radikalisme agama ini cenderung memisahkan diri, minimalis
terlibat dalam kegiatan warga, rumahnya/indekostnya sangat tertutup, dll. Tentu
saja, karena mereka tidak ingin aktivitasnya diketahui warga sekitarnya secara
relatif mendalam. Gerakan semacam itu juga bisa dimanfaatkan untuk memantau dan
mencegah pergerakan individual, keluarga, atau sel-sel kelompok radikalisme
agama dan terorisme.
Ketiga,
lembaga negara yang amat penting yang baru-baru ini didirikan dalam rangka untuk
menanamkan dan menyebarluaskan ideologi Pancasila harus segera dapat bekerja.
Saya sangat berharap seseorang yang akan duduk dibirokrasi pemerintah dan
militer harus lolos screening track-record dan loyalitasnya terhadap Pancasila,
dan harus terus dipantau selama dia menduduki jabatan-jabatan strategis yang
kebijakannya menyangkut kepentingan orang banyak. Coba bayangkan jika di
institusi kementerian pendidikan dan jajaran dinas pendidikan di daerah, atau
kementerian informatika, atau lembaga-lembaga kemiliteran, tersusupi paham
radikalisme agama, maka pada suatu titik tertentu dia akan menjadi “nanah”
perpecahan yang tidak mungkin dapat diatasi lagi. Nanah radikalisme agama
sangat mungkin akan memunculkan “saling bunuh” antar pemeluk agama, dan sejarah
hidup beragama telah memiliki pengalaman panjang tentang hal itu.
Keempat,
harus ada kebijakan regulasi yang dapat mendukung negara dalam rangka untuk
menangkal, mencegah, dan melakukan tindakan terhadap gerakan radikalisme dan
terorisme, termasuk yang berbasis gerakan agama. Agak tidak masuk akal mengapa
draf rancangan UU Anti Terorisme yang sudah ada tidak segera terselesaikan. UU
Anti Terorisme harus segera terselesaikan.