Wednesday, June 21, 2017

Prevent Religious Radicalism and Terrorism



Upaya Mencegah Radikalisme-Terorisme

Berbasis Agama
Oleh: Emil E Elip

Di seantero Indonesia akhir-akhir ini merebak berbagai acara dan kegiatan yang bernuansa “pemuliaan atas perbedaan”, harmoni sosial dan pluralisme, menjaga keutuhan NKRI, memperkuat wilayah perbatasan dan daerah-daerah rawan konflik dari ancaman terorisme, dsb. Media sosial (medsos) dan media masa tidak henti-hentinya mempromosikan kegiatan-kegiatan semacam itu. Kita semua seakan dilanda pobia terpecah-belah, yang seakan-akan baru kemarin sore saja disadari bersama bahwa ancaman itu nyata di depan mata.

Radikalisme yang cenderung menjadi terorisme berbasis agama “menggedor” kesadaran kita bersama. Kita semua “berteriak!!”, namun karena mediumnya agama kita juga tersedak “ambigu” dan sedikit saja mau dan mampu bergerak!


Sekilas Sejarah Radikalisme di Indonesia
Pada jaman awal-awal jaman kemerdekaan RI, negara dan masyarakat Indonesia pernah dilanda prahara pilihan antara demokrasi liberal dan komunisme-sosialis.  Pemerintah (resmi) NKRI telah memilih garis ketatanegaraan sebagai demokrasi liberal, yang tentu cenderung bergerak menuju negara dengan tatakelola ekonomi kapitalis. Ada sekelompok orang pergerakan yang memilih dan menganggap paham lain lebih ampuh membawa bangsa menuju sejahtera, yakni paham komunisme-sosialis, dan kelompok itu melakukan gerakan teroganisir secara horisontal maupun vertikal. Mereka ini tergoda memperluas pengaruhnya secara diam-diam namun akhirnya menjadi “radikal” melalui jalan kudeta.

Kelompok berpaham komunis itu membuat berbagai sayap organisasi dimana-mana, baik di bidang kepemudaan, gerakan kesenian rakyat, organisasi perempuan, organisasi tani dan buruh, membangun media masa, dll. Mereka bergerak secara “horisontal”. Secara vertikal mereka mempengaruhi atau memasukkan paham komunisme ke struktur pemerintahan dan ABRI. Waktu itu sangat mungkin, disuatu instansi pemerintah, ada dua jenis pegawai pemerintah yaitu yang berpaham komunisme dan lainnya berpaham demokrasi liberal. Bisa saja mereka saling tidak tahu, saling menutupi, tetapi ada rivalitas di dalamnya...yang tinggal menunggu bom waktu untuk “pecah” secara konfrontatif.

Dan memang akhirnya sangat kentara gerakan itu menjadi “radikal” setelah merasa memiliki masa dan dukungan yang kuat, dan pecahlah konfrontasi sosial yang oleh banyak orang disebut “kudeta” politik. Untung kudeta dan radikalisme tersebut bisa diatasi dan dilemahkan, sehingga negara Indonesia terselamatkan dari konflik panjang yang bisa jadi semakin parah.

Lima tahun terakhir ini bangsa Indonesia dilanda faham keagamaan yang ditengarahi sebagai Islam radikal. Tentu kita semua tidak akan pernah menduga bahwa faham Islam radikal tersebut tidak akan sekacau dewasa ini yang telah bercampur dengam politik kekuasaan dan menimbulkan anarkis sosial dimana-mana. Paham Islam radikal itu nampaknya mengambil pola dan strategi yang mirip yang dilakukan oleh paham komunisme-sosialis pada awal-awal jaman kemerdekaan itu, yaitu gerakan horisontal dan gerakan vertikal.

Gerakan horisontal terlihat setidaknya bahwa kelompok Islam radikal sengaja membuat cabang organisasi sayap di sebagian besar wilayah Indonesia. Mereka juga membentuk cabang atau organisasi underbow lainnya. Dengan demikian ada motif mengembangkan ideologi memakai strategi “perluasan” space/ruang. Secara vertikal mereka juga mendekati dan mungkin mempengaruhi organisasi/partai politik, mungkin juga para pengambil kebijakan di tubuh TNI/POLRI, bahkan juga di legislatif serta birokrasi kepemerintahan. Ini persis seperti PKI dengan paham komunis-nya menggerogoti ABRI dan para petinggi negara disekitar Bung Karno.

Sementara itu secara terpisah, sudah mulai bergerak para operator teror bom, yang sudah sering kita lihat dan baca di medsos dan media masa. Saya kira anasir-anasir kuat radikalisme dan terorisme tersebut nanti kemungkinan besar akan menjadi gerakan separatis (contohnya nyata adalah konflik Marawi-Pilipina) dan atau gerakan kudeta terhadap negara, karena mereka sedang menunggu moment dan mengukur akumulasi kekuatan. Menyusup-nya mereka ke posisi-posisi institusi negara pasti akan membuat kebingungan, kebimbangan, ketidakjelasan arah di antara para birokrat, politisi, petinggi negara dan legislatif. Akan terjadi konfrontasi dan faksi-faksi serta persaingan “diam” di antara para petinggi itu, dan disitulah titik lemahnya. Dan ketika saat itu tiba, mereka tinggal mengkoneksikan titik gerakan yang satu dengan titik gerakan yang lain, dan ...kacaulah bang ini.

Membaca dari gerakan-gerekan para kaum radikal itu (dalam hal ini adalah radikalisme agama), bisa ditengarahi beberapa ciri: (1) Memiliki ideologi yang diambil dari ajaran agama, yang disebar luaskan secara progresif terutama melalui medsos; (2) Sengaja membangun jejaring dan organisasi underbow secara horisontal di berbagai tempat; (3) Sengaja membangun jejaring secara vertikal baik aparatur dan pejabat negara, petualang politik-kekuasaan, aparatur dan pejabat militer; para pengusaha, kaum cendekia, dll; (4) Dioperasikan secara radikal jika perlu melalui teror, yang sampai tingkat tertentu tanpa mempertimbangkan perikemanusiaan, keamanan umum, dll karena kekerasaan demi “bedirinya kerajaan Allah” adalah sorga bayarannya.

Masa Yang Disorientatif dan Ambigu
Sejauh pembacaan saya –maaf jika kurangnya informasi atas diri saya—sangat sedikit atau tidak pernah ada informasi dari mereka yang menjadi korban dari aksi readikalisme dan terorisme agama ini. Sangat sedikit interogasi atau informasi apa pendapat dan pandangan dari para pengungasi akibat radikalisme-terorisme agama ini terhadap kondisi yang terjadi. Apa sesungguhnya pandangan, kesan, persepsi, dan harapan dari para pengungsi atas kecamuk di Timur Tengah (yang tentu sebagian besar Muslim itu) terhadap yang terjadi di negara mereka karena isu NIIS, Al-Qaeda, dan gerakan Islam radikal lainnya.

Sejak perang berkecamuk di Marawi (Pilipina) juga tidak ada pemberitaan yang menggambarkan secara mendalam kerugian, kebingungan, keputusasaan, pandangan terhadap dunia dan agama, tentang mereka yang terpaksa menjadi “tameng hidup” pertempuran kelompok ekstrimis Maute dengan tentara Pilipina. Apakah mereka rela menjadi “tameng hidup”, ataukah mereka sengaja menawarkan diri menjadi “tameng hidup” sebagai bagian perjuangan jihad melawan kafir. Lantas bagaimana dengan mereka yang terpaksa mengambil jalan “mengungsi”?

Informasi yang saya maksud tadi sangat penting untuk memberikan edukasi kepada dunia, bahwa perjuangan mendirikan negara Muslim melalui jalan radikal dan terorisme, selalu membawa korban kaumnya yang Muslim pula. Bahwa jalan radikal-terorisme yang ditempuh tidak selalu “diamini” kaum Muslim lainnya. Dan dengan demikian menunjukkan pula bahwa hanya segelintir kaum Muslim yang haus kekuasaan atas nama agama saja, yang sesungguhnya memiliki nafsu mendirikan negara Muslim dengan jalan radikal dan teror. Ini semua merupakan narasi “counter ideology” yang perlu dan harus disebarkan kepada dunia. Bahwa mendirikan negara Islam dengan jalan radikal-terorisme itu adalah kriminal, menumbuhkan penderitaan sesama kaumnya, dan (mungkin juga)  “haram” hukumnya.

Harian Kompas di bulan Juni 2017 pernah memuat pemberiataan kecil bahwa ada seorang perempuan Indonesia yang menjadi relawan gerakan NIIS hanya karena tertarik oleh janji propaganda oleh NIIS bahwa negara Islam yang sedang diperjuangkan akan mensejahterakan rakyatnya dalam berbagai segi. Setelah terlibat dalam gerakan itu, akhirnya perempuan itu memutuskan untuk keluar karena semuanya itu bohong. Sangat mungkin masih banyak perempuan dan lelaki lain, tidak hanya dari Indonesia, yang bergabung dengan NIIS hanya semata-mata persoalan yang nampaknya demi ekonomi dan kesejahteraan hidup.

Perempuan dan orang-orang lain yang seperti dia, adalah korban ideologi yang disebarkan oleh NIIS dengan janji dogma surgawi dan kesejahteraan. Kalaupun akhirnya tetap miskin dan menderita, sorga adalah janjinya karena sudah ikut terlibat jihad membentuk negara Islam sebagaimana diperjuangkan oleh NIIS. Orang-orang semacam ini menurut saya mengalami “disorientasi” ideologi agama. Tidak mungkin hanya karena ekonomi lantas bergabung dengan NIIS. Lebih baik menjadi TKI di Arab Saudi saja kalau hanya mengejar perubahan ekonomi. Dan nampaknya banyak orang Indonesia yang mengalami hal semacam itu, dan merelakan diri bergabung dengan NIIS, Al-Qaeda, atau radikalisme lain di Timur Tengah.

Counter Ideology di Indonesia untuk melawan dogma yang digaungkan oleh NIIS dan kelompok radikalisme lain sangat minim. Dimana letak kesalahan atau kelemahan ajaran NIIS dan kelompok radikalis yang lain dalam konteks Islam, tidak cukup luas digaungkan. Penderitaan kaum Muslim di pengungsian-pengungsian, harapan, pandangan, dan sikap kritis mereka terhadap kaum radikal Islam juga minim sekali diungkap. Apakah menjadi pengungsi adalah bagian penderitaan yang tetap harus ditanggung sebagai pengorbanan kaumnya yang lain yang sedang berjuang mendirikan negara Islam (NIIS)? Ini semua menurut saya karena kita semua mengalami disorientasi dan ambiguitas.

Apa sebabnya! Karena semua gerakan radikal itu mengatas namakan dogma ajaran agama (dalam hal ini Islam). Semua pemimpin gerakan radikalis yang dimaksud memiliki status posisi sebagai pemimpin agama di kelompoknya masing-masing. Maka apakah dibenarkan ataukah akan menjadi “rahmat” jika Islam melawan Islam, Muslim melawan Muslim!! Itulah yang menjadi penyebab mungkin munculnya disorientasi dan ambiguitas sikap. Itulah yang mungkin menyebabkan bahwa sebagian besar teman Muslim di Indonesia hampir-hampir tidak percaya: “bagaimana ini kok kita melawan sahabat atau sodara kita yang Muslim pula! Apa yang harus kita lakukan!?”. Dan oleh karena itu akibatnya memilih jalan diam, sulit ditebak sikap orientasinya. Ini semua karena sangat sedikit sumber yang sah yang memberikan orientasi counter ideology terhadap ajaran-ajaran Islam yang radikal yang digemborkan oleh NIIS, Al-Qaeda, dan lainnya.

Langkah Upaya Meredam!!!
Harus disadari sejak awal bahwa upaya meredam radikalis-terorisme agama ini dihadapkan pada masa sebagian besar rakyat Indonesia yang “disorientasi dan ambigu” sebagaimana saya gambarkan di atas. Ini semua karena kita sangat nyaman berabad-abad dengan kondisi harmonis antar etnis, golongan, dan agama yang hidup di Indonesia, yang bahkan sudah sangat disanjung dan terkenal di seluruh dunia.

Meredam radikalisme apalagi khususnya radikalisme agama, ada yang mengekaitkannya dengan masih parahnya ketimpangan ekonomi di Indonesia. Analisis semacam ini tidak salah, tetapi saya kira cenderung merupakan pelarian dari ketidakmampuan membuat analisis dari sudut counter ideologi atau counter teologi agama. Mungkin bukan karena “ketidakmampuan”, tetapi karena rasa ewuh-pekewuh atau dengan kata lain ambigu karena terpaksa harus melakukan perlawanan counter ideologi dan teologi di kehidupan agama yang sama. Ambil contoh saja, sangat terasa sekali bagaimana MUI sangat hati-hati  –atau karena terlalu santun ewuh pakewuh— memberikan counter ideologi terhadap kelompok-kelompok Islam yang dipandang radikal misalnya saja terhadap sepak terjang FPI yang sering menjadi polemik itu.

Meredam radikalisme seperti itu, serta mengkaitkan dengan lemahnya negara menanamkan ideologi Pancasila dan menjaga keamanan teritorial, menurut saya juga tidak benar seratus persen. Melawan atau mencegah radikalisme agama di Indonesia adalah tanggungjawab masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dimana negara seharusnya diperankan memfasilitasi saja. Munculnya radikalisme agama yang kemudian bisa menjadi terorisme berbasis agama, pertama-tama bukanlah karena kegagalan negara. Urusan negara adalah jika radikalisme itu telah mengorbankan keamanan dan kepentingan umum rakyat, menimbulkan kekacauan keamanan publik, memberangus hak-hak publik, mengancam NKRI karena munculnya separatisme yang beroperasi melalui terorisme. Amatlah salah jika negara terpaksa menghalau, menekan, dan merepresi anasir-anasir semacam itu lalu disimpulkan bahwa negara ini tidak demokratis atau negara ini merepresi kebebasan ekpresi beragama.

Meredam radikalisme agama yang cenderung anarkis dan teroris, harus bersifat counter ideologis dan praktis taktis progresif sebagaimana para ektrimis itu juga melakukannya melalui jalan ideologis dan praktis progresif. Berikut sekedar usul menyumbangkan pemikiran untuk meredamnya, yaitu:

Pertama, kita memiliki dua organisasi keagamaan (Islam) yang besar, yang sudah diakuai sikapnya yang moderat, yang juga sudah melayani umat Muslim amat lama, memiliki umat pengikut yang terbesar di Indonesia, yang juga sudah diakui negara yaitu Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiah (MH). Diharapkan NU dan MH ini bersinergi secara kuat untuk merumuskan counter ideologi berbasis dogma agama, dan menyebarkan secara mekanisme jejaring dan organisasi yang rapi, melalui masjid-masjid diseluruh Indonesia secara berkelanjutan. Banyak sekali institusi universitas dari NU dan MH yang dapat dan sudah menelorkan ustad muda atau cendekiawan muslim muda, yang bisa diorganisir secara programatis serta diutus sebagai gerakan pelayanan umat yang membina masjid-masjid di seluruh wilayah Indonesia. Demi masa depan negara yang harmonis tentu saya yakin semua unsur masyarakat akan rela membantu dan mendukung terwujudnya gerakan semacam itu.

Waktu saya masih kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogya, saya pernah mendengar bahwa ada satu masjid yang dipakai khusus hanya kelompok-kelompok Muslim tertentu, dan kelompok Muslim yang lain enggan sholat jum’at di masjid tersebut. Begitu pula yang terjadi sebaliknya. Saya tidak mengerti apa yang terjadi. Belakangan setelah gerakan FPI marak dimana-mana dan mereka memakai atau katakan “menduduki” masjid tertentu sebagai media pertemuan dan ibadah khusus untuk kelompok mereka, baru saya sadar bahwa masjid pun bisa dipakai sebagai media gerakan radikalisme.

Kedua, negara perlu mengembangkan kembali semacam “gerakan kebersamaan semestra”, yang memfungsikan kembali RT, RW, Pedukuhan/Kampung, dan Pemerintah Desa sebagai medium pertemuan rakyat untuk memastikan bahwa penduduknya terlibat dalam kegiatan-kegiatan lokal dan pertemuan keagamaan di tingkat lokal, sebagai media untuk memantau warga. Dari berbagai informasi di media masa ada kecenderung bahwa para penganut radikalisme agama ini cenderung memisahkan diri, minimalis terlibat dalam kegiatan warga, rumahnya/indekostnya sangat tertutup, dll. Tentu saja, karena mereka tidak ingin aktivitasnya diketahui warga sekitarnya secara relatif mendalam. Gerakan semacam itu juga bisa dimanfaatkan untuk memantau dan mencegah pergerakan individual, keluarga, atau sel-sel kelompok radikalisme agama dan terorisme.

Ketiga, lembaga negara yang amat penting yang baru-baru ini didirikan dalam rangka untuk menanamkan dan menyebarluaskan ideologi Pancasila harus segera dapat bekerja. Saya sangat berharap seseorang yang akan duduk dibirokrasi pemerintah dan militer harus lolos screening track-record dan loyalitasnya terhadap Pancasila, dan harus terus dipantau selama dia menduduki jabatan-jabatan strategis yang kebijakannya menyangkut kepentingan orang banyak. Coba bayangkan jika di institusi kementerian pendidikan dan jajaran dinas pendidikan di daerah, atau kementerian informatika, atau lembaga-lembaga kemiliteran, tersusupi paham radikalisme agama, maka pada suatu titik tertentu dia akan menjadi “nanah” perpecahan yang tidak mungkin dapat diatasi lagi. Nanah radikalisme agama sangat mungkin akan memunculkan “saling bunuh” antar pemeluk agama, dan sejarah hidup beragama telah memiliki pengalaman panjang tentang hal itu.

Keempat, harus ada kebijakan regulasi yang dapat mendukung negara dalam rangka untuk menangkal, mencegah, dan melakukan tindakan terhadap gerakan radikalisme dan terorisme, termasuk yang berbasis gerakan agama. Agak tidak masuk akal mengapa draf rancangan UU Anti Terorisme yang sudah ada tidak segera terselesaikan. UU Anti Terorisme harus segera terselesaikan.

Sebagai kata akhir, saya termasuk orang yang sulit percaya bahwa kita bisa beribadah dan mengamalkan agama secara benar jika kita hidup dalam situasi konflik antar golongan, antar etnik, apalagi antar sesama pemeluk agama. (333)