Friday, June 16, 2017

Radicalisme is an Crime!!!



Radikalisme Agama Itu Kriminal!!!

Oleh: Emil E Elip


Akhir-akhir ini masyarakat indonesia disibukkan dan sekaligus menjadi kekhawatiran mengenai “radikalisme”, terutama radikalisme agama. Sesungguhnya tidak hanya tentang agama, semua gerakan yang bernuansa “radikal” cenderung merugikan banyak pihak terutama masyarakat umum tanpa kecuali.

Radikalisme etnik tertentu tentu akan merugikan bahkan meminta korban etnis tertentu yang lain karena berbentuk nyata dalam wujud perang antar etnis atau suku. Begitu pula radikalisme agama tertentu akan meminta korban para penganut agama lain. Radikalisme agama bisa berwujud macam-macam karena agama memiliki berbagai kelompok paham dan sekte-sekte tertentu.

Bagi saya pribadi, setiap agama dan kelompok-kelompok atau sekte yang ada dibawahnya, memiliki potensi radikal atau bisa disebut fanatik. Itu adalah mekanisme yang wajar karena setiap orang yang beragama cenderung tidak ingin agama yang menjadi junjungannya “dilecehkan” oleh pemeluk agama lain. Itulah agama yang secara teoritik sering disebut memiliki level private/individual dan sosial. Semuanya itu juga tergantung “kedewasaan” seseorang memaknai kedalaman cara dan luku beragama.


Radikalisme Aktif Progresif
Radikalisme selalu dimulai dengan fanatisme, terutama adalah fanatisme ekstrim/buta. Fanatik terhadap agama itu boleh-boleh saja, sah-sah saja, karena setiap orang harus percaya secara mendalam terhadap ajaran agamnya masing-masing. Tetapi ada dua jenis “fanatisme”, yaitu fanatisme internal dan fanitisme eksternal (aktif progresif). Fanitisme jenis pertama itu adalah sikap fanatik dan hormat yang amat sangat mendalam terhadap agama yang dianut dan berlaku secara fanatis di dalam komunitas penganut agama tersebut. Fanatisme jenis ini tidak memaksakan norma dan ajaran agama yang dianut terhadap orang lain. Ketatnya menjaga dan mengontrol norma agama hanya diberlakukan terhadap komunitas sesama jenis agama yang dianut, sementara terhadap orang non agama lain dia bisa saja hormat atau biasa-biasa saja.

Fanatisme eskterim (aktif progresif), selain mengontrol norma agama ketat berlaku dikomunitas sesama pemeluk agama tertentu, mereka cenderung juga ingin orang melaksanakan norma agama dianut oleh orang lain karena memandang agama dia adalah satu-satunya “kebenaran” di dunia ini. Yang lain tidak benar dan karena itu disebut kafir, sehingga harus diperingatkan dan kalau tidak mau tentu cenderung dimusnahkan. Wajah nyata fanatisme jenis ini adalah “radikalisme ekstrim” aktif progresif.

Ketika sebuah faham dianut secara fanatis ekstrim dan berlanjut menjadi radikal ektrim, maka media untuk aktivitas yang radikal tersebut bisa menggunakan bermacam-macam medium, bisa menunggangi politik, memanfaatkan sentimen etnis, memanipulasi kesenjangan antar golongan dan status sosial, dll. Semua kelompok jenis agama selalu punya keinginan bahkan langkah nyata untuk memperluas penganutnya dibelahan dunia manapun. Tetapi upaya memperluas pengaruh agama ini ketika memanfaatkan momentum politik, etnis, ras dan golongan, kemiskinan, dll dia selalu terjerumus dalam wajah beringas, kekerasan, pembantaian, pencuikan, pembunuhan, pemerkosaan, dll.

Dunia Timur Tengah Yang Ambigu
Fenomena radikalisme agama tidak hanya terjadi di masyarakat-masyarakat Muslim saja. Pada Abad-Abad Pertengahan agama Kristen telah terjangkiti terlebih dahulu penyakit radikalismenya, yang berwajah amat brutal di wilayah-wilayah Eropa sampai Asia Tengah. Sampai sekarang sangat mungkin Kristen yang radikal ini masih bekerja di negara-negara tertentu, hanya sudah tidak begitu brutal karena masyarakat Eropa sudah lama sekali mencapai kesepakatan bahwa agama tidak boleh bercampur dengan negara, dan agama lebih ditekankan adalah urusan atau pergulatan “private-individual”.

Masyarakat Muslim dan negara-negara Muslim di Timur Tengah nampaknya masih bergulat dan terbelit kecenderungan radikalisme agama, yang jangan lupa sudah berlangsung berabad-abad dan nampaknya semakin merebak bagaikan kanker yang kian mendunia. Dalam konteks radikalisme agama di wilayah Timur Tengah ini, saya tidak percaya lagi bahwa norma dan dogmatis agama yang mereka perebutkan, perdebatkan, dipertengkarkan, yang kemudian merambah menjadi pertikaian, pertempuran antar kelompok agama, bahkan kebencian antar negara. Agama secara filosofis dan normatif pasti berwajah baik, damai, menenteramkan.

Jangan lupa, Timur Tengah adalah dunia yang amat sangat beragam. Baik dari sudut etnis/suku, trah/keluarga, keturunan bangsawan dan non bangsawan, sekte-sekte agama, bahkan kelompok-kelompok (mungkin sekte) dari agama Islam itu sendiri. Sesama “Emir” saling bersaing, saling ingin menguasai kelompok Emir lain. Sementara Emir biasanya juga memiliki status sebagai “pemuka agama”. Kudeta negara menjadi berita dari tahun ke tahun. Kelompok Emir tertentu yang menguasai pemerintahan suatu negara, digulingkan oleh Emir lain atau kelompok kekuatan pembaharu lain yang biasanya juga dimotori oleh orang kuat yang diberi status pemimpin agama. Sudah teramat sulit membedakan antara urusan agama dan urusan ketatanegaraan, politik, kebudayaan, perdagangan dan ekonomi, atau urusan akses sumber daya alam yang amat melimpah yaitu minyak.

Agama yang menunggangi tingkah laku manusia (kekuasaan, politik, ekonomi, perdagangan, dll), ataukan tingkah laku manusia yang menyeret-nyeret agama sebagai media pertempuran? Semua menjadi nampak abu-abu dan ambigu. Begitu pula perkiraan saya mengenai umat Muslim di Timur Tengah, yang mengalami abiguitas yang teramat panjang dan mendalam. Mengeluarkan norma agama dari tatanegara, salah; mencampurkan norma agama ke dalam tata negara, menimbulkan derita!! Rakyat kebanyakan (yang tentu saja juga Muslim) terpaksa hidup di tenda-tenda pengungsian, terkatung-katung di lautan mencari negara-negara penempatan, mereka hidup tanpa kesehatan dan pendidikan memadai, menjadi warga negara kelas dua di pengungsian dan di cap sumber kekacauan dan kriminalitas.

Wajah Kriminalitas Radikalisme
Gelombang pengungsi dari negara-negara Timur Tengah yang tengah berkecamuk melawan radikalisme seperti NIIS, Al-Qaeda, dan kelompok-kelompok lain yang disebut ektrimis muslim garis keras, jelas menunjukan wajah “kriminalitas” radikalisme di sana yang sayangnya selalu ada embel-embel ideologi agama. Para pengungsi ini di tampung di kamp kamp pengungsian baik di wilayah-wilayah tertentu di Timur Tengah yang relatif aman atau di negara tujuan, dan dikelola oleh badan PBB atau lembaga-lembaga kemanusiaan internasional yang umumnya bersumber dana perseorang yang visinya dogma Kristen untuk kesejahteraan universal. Semoga tidak ada tuduhan Westernisasi atau Kristenisasi.

Para pengungsi itu jelaslah korban. Mereka adalah “tameng hidup”. Seperti juga diberitakan di wilayah Marawi (Pilipina), dimana kaun ekstrimis NIIS memanfaatkan penduduk kota menjadi tameng gempuran militer negara Pilipina. Disinilah titik kriminalitas ektrim dari gerakan atau perang radikalisme (agama). Saya yakin mereka yang saling bertempur, yang katanya atas nama agama itu, masihkah berpikir “kasihan” terhadap kaum pengungsi itu. Pernahkah mereka berjanji “tenang saja kalian di sana, nanti kalau wilayah negara kita sudah aman, kamu semua saya panggil pulang dan saya sejahterakan”? Namun saya, di sisi lain juga meragukan, pernahkah para pengungsi itu berpikir bahwa ada yang salah dikelola di negara saya antara agama dan hidup bernegara/berbangsa. Inilah “ambiguitas” yang saya sebut tadi, yang mungkin berakumulasi berabad-abad lamanya.

Sebaiknya Kita Berkata:
“Tidak Ada Ampun Bagi Kriminalitas”
Dari pembacaan saya mengenail berbagai kasus tentang radikalisme, saya percaya radikalisme selalu berwajah kriminal akut. Pada akhirnya dia akan muncul dalam bentuk pertempuran antar golongan, antar etnis, antar pendukung partai, dsb. Anehnya masyarakat Indonesia adem ayem saja, mengapa?! Dugaan saya karena sebagian besar (mayoritas) warg bangsa Indonesia juga mengalami “ambiguitas”!!.

Sudah sangat dikenal luas bahwa sejak zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia, masyarakat Indonesia dikenal sangat harmonis antar pemeluk umat beragama, baik Hindu, Buda, Islam, Kristen, Konghucu, dan berbagai aliran kepercayaan. Akulturasi antar berbagai ajaran agama itu pun muncul di dalam bentuk-bentuk dan ornamen candi, bentuk dan struktur bangunan rumah, dalam olahan kuliner, jamu-jamuan, upacara tradisi, seni tari, musik, dsb. Akulturasi budaya dan kehidupan sosial keagamaan ini membuktikan refleksi dan pengendapan yang mendalam, yang saling disadari satu sama lain, dalam praktik-praktik nyata tingkah laku antar pemeluk agama yang terjadi saat itu.

Bangsa ini sangat beruntung, mengalami kehidupan harmonis antar agama ituberabad-abad, yang menyebabkan masyarakat bangsa ini “dinina-bobokkan” kehidupan nyaman akulturasi dan harmonisasi antar umat beragama. Memang harus diakui bahwa semua ini adalah “berkah”, berkah yang sangat luar biasa sampai-sampai kita tidak mampu membayangkan bahkan mungkin tidak percaya, bahwa setelah terbentuk NKRI dan oleh karena perkembangan kehidupan global, akan muncul gelombang arus radikalisme agama. Kita saat ini, masyarakat Indonesia, seakan-akan diusik, disadarkan, dan disodorkan sebuah realitas nyata bahwa agama yang sudah berabad-abad baik-baik saja di negeri ini, kini seakan menjadi momok menakutkan.

Kita ini sekarang gamang. Mungkin tidak percaya agama menjadi berwajah brutal jika disebarkan secara radikal. Kita menjadi tidak percaya kelompok Muslim yang satu seakan-akan menjadi lawan kelompok Muslim yang lain. Masyarakat/kelompok penganut Kristen pun begitu juga, bingung, gamang memilah mana yang sesungguhnya di jalan yang benar.

Orang bicara radikalisme, tetapi gamang karena yang dilawan atau dituduh memiliki baju agama yang sama.  Tidak ada kesempatan untuk mengkaji dan memahami dimana letak perbedaan dogma ajarannya, karena gelombang radikalisme agama itu berjalan begitu cepat bagaikan gulungan ombak yang tiba-tiba menikam. Yang tiba-tiba ada jarak. Yang tiba-tiba sudah saling berhadap-hadapan. Yang juga, membuat kita semua ragu untuk menggempur karena melawan sesama berbaju agama yang sama adalah (secara ajaran) “berdosa”. Bukankah ini menimbulkan psikologis kegamangan yang luar biasa?

Bayangkan jika kasus Marawi (di Pilipina) terjadi di Indonesia misalnya di salah satu wilayah di Jawa, ambil contoh saja di Banten, apa yang akan terjadi?! Bukankah yang akan menjadi “korban hidup” dan tameng hidup gerakan radikalisme agama itu juga sesama kita kaum Muslim yang bahkan sangat awam dan tidak tahu apa-apa. Maka bangsa Indonesia harus berani berkata “radikalisme agama adalah kriminalitas”, mengganggu ketertiban bangsa, merusak kehidupan bernegara, mencabik hak asasi manusia sesama, dan sangat mungkin akan berkembang menjadi gerakan separatis yang ingin membentuk negara baru.

Memang mudah mengatakannya. Tetapi tidak segampang itu secara psikologis sosial yang terjadi saat ini di antara masyarakat kita sendiri: “gamang dan ambigu”. Jika semua ini dibalut lagi dengan pertaruhan politik Pemilu 2019, maka kita akan terlambat!!! Wajah Indonesia tidak seperti hari ini lagi! (666).