Radikalisme Agama Itu
Kriminal!!!
Oleh:
Emil E Elip
Akhir-akhir
ini masyarakat indonesia disibukkan dan sekaligus menjadi kekhawatiran mengenai
“radikalisme”, terutama radikalisme agama. Sesungguhnya tidak hanya tentang
agama, semua gerakan yang bernuansa “radikal” cenderung merugikan banyak pihak
terutama masyarakat umum tanpa kecuali.
Radikalisme
etnik tertentu tentu akan merugikan bahkan meminta korban etnis tertentu yang
lain karena berbentuk nyata dalam wujud perang antar etnis atau suku. Begitu
pula radikalisme agama tertentu akan meminta korban para penganut agama lain.
Radikalisme agama bisa berwujud macam-macam karena agama memiliki berbagai
kelompok paham dan sekte-sekte tertentu.
Bagi
saya pribadi, setiap agama dan kelompok-kelompok atau sekte yang ada
dibawahnya, memiliki potensi radikal atau bisa disebut fanatik. Itu adalah
mekanisme yang wajar karena setiap orang yang beragama cenderung tidak ingin
agama yang menjadi junjungannya “dilecehkan” oleh pemeluk agama lain. Itulah
agama yang secara teoritik sering disebut memiliki level private/individual dan
sosial. Semuanya itu juga tergantung “kedewasaan” seseorang memaknai kedalaman
cara dan luku beragama.
Radikalisme Aktif
Progresif
Radikalisme
selalu dimulai dengan fanatisme, terutama adalah fanatisme ekstrim/buta.
Fanatik terhadap agama itu boleh-boleh saja, sah-sah saja, karena setiap orang
harus percaya secara mendalam terhadap ajaran agamnya masing-masing. Tetapi ada
dua jenis “fanatisme”, yaitu fanatisme internal dan fanitisme eksternal (aktif
progresif). Fanitisme jenis pertama itu adalah sikap fanatik dan hormat yang
amat sangat mendalam terhadap agama yang dianut dan berlaku secara fanatis di
dalam komunitas penganut agama tersebut. Fanatisme jenis ini tidak memaksakan
norma dan ajaran agama yang dianut terhadap orang lain. Ketatnya menjaga dan
mengontrol norma agama hanya diberlakukan terhadap komunitas sesama jenis agama
yang dianut, sementara terhadap orang non agama lain dia bisa saja hormat atau
biasa-biasa saja.
Fanatisme
eskterim (aktif progresif), selain mengontrol norma agama ketat berlaku
dikomunitas sesama pemeluk agama tertentu, mereka cenderung juga ingin orang
melaksanakan norma agama dianut oleh orang lain karena memandang agama dia
adalah satu-satunya “kebenaran” di dunia ini. Yang lain tidak benar dan karena
itu disebut kafir, sehingga harus diperingatkan dan kalau tidak mau tentu
cenderung dimusnahkan. Wajah nyata fanatisme jenis ini adalah “radikalisme
ekstrim” aktif progresif.
Ketika
sebuah faham dianut secara fanatis ekstrim dan berlanjut menjadi radikal
ektrim, maka media untuk aktivitas yang radikal tersebut bisa menggunakan
bermacam-macam medium, bisa menunggangi politik, memanfaatkan sentimen etnis,
memanipulasi kesenjangan antar golongan dan status sosial, dll. Semua kelompok
jenis agama selalu punya keinginan bahkan langkah nyata untuk memperluas
penganutnya dibelahan dunia manapun. Tetapi upaya memperluas pengaruh agama ini
ketika memanfaatkan momentum politik, etnis, ras dan golongan, kemiskinan, dll
dia selalu terjerumus dalam wajah beringas, kekerasan, pembantaian, pencuikan,
pembunuhan, pemerkosaan, dll.
Dunia Timur Tengah
Yang Ambigu
Fenomena
radikalisme agama tidak hanya terjadi di masyarakat-masyarakat Muslim saja.
Pada Abad-Abad Pertengahan agama Kristen telah terjangkiti terlebih dahulu
penyakit radikalismenya, yang berwajah amat brutal di wilayah-wilayah Eropa
sampai Asia Tengah. Sampai sekarang sangat mungkin Kristen yang radikal ini
masih bekerja di negara-negara tertentu, hanya sudah tidak begitu brutal karena
masyarakat Eropa sudah lama sekali mencapai kesepakatan bahwa agama tidak boleh
bercampur dengan negara, dan agama lebih ditekankan adalah urusan atau
pergulatan “private-individual”.
Masyarakat
Muslim dan negara-negara Muslim di Timur Tengah nampaknya masih bergulat dan
terbelit kecenderungan radikalisme agama, yang jangan lupa sudah berlangsung
berabad-abad dan nampaknya semakin merebak bagaikan kanker yang kian mendunia.
Dalam konteks radikalisme agama di wilayah Timur Tengah ini, saya tidak percaya
lagi bahwa norma dan dogmatis agama yang mereka perebutkan, perdebatkan,
dipertengkarkan, yang kemudian merambah menjadi pertikaian, pertempuran antar
kelompok agama, bahkan kebencian antar negara. Agama secara filosofis dan
normatif pasti berwajah baik, damai, menenteramkan.
Jangan
lupa, Timur Tengah adalah dunia yang amat sangat beragam. Baik dari sudut
etnis/suku, trah/keluarga, keturunan bangsawan dan non bangsawan, sekte-sekte
agama, bahkan kelompok-kelompok (mungkin sekte) dari agama Islam itu sendiri.
Sesama “Emir” saling bersaing, saling ingin menguasai kelompok Emir lain.
Sementara Emir biasanya juga memiliki status sebagai “pemuka agama”. Kudeta
negara menjadi berita dari tahun ke tahun. Kelompok Emir tertentu yang
menguasai pemerintahan suatu negara, digulingkan oleh Emir lain atau kelompok
kekuatan pembaharu lain yang biasanya juga dimotori oleh orang kuat yang diberi
status pemimpin agama. Sudah teramat sulit membedakan antara urusan agama dan
urusan ketatanegaraan, politik, kebudayaan, perdagangan dan ekonomi, atau
urusan akses sumber daya alam yang amat melimpah yaitu minyak.
Agama
yang menunggangi tingkah laku manusia (kekuasaan, politik, ekonomi,
perdagangan, dll), ataukan tingkah laku manusia yang menyeret-nyeret agama
sebagai media pertempuran? Semua menjadi nampak abu-abu dan ambigu. Begitu pula
perkiraan saya mengenai umat Muslim di Timur Tengah, yang mengalami abiguitas
yang teramat panjang dan mendalam. Mengeluarkan norma agama dari tatanegara,
salah; mencampurkan norma agama ke dalam tata negara, menimbulkan derita!! Rakyat
kebanyakan (yang tentu saja juga Muslim) terpaksa hidup di tenda-tenda
pengungsian, terkatung-katung di lautan mencari negara-negara penempatan,
mereka hidup tanpa kesehatan dan pendidikan memadai, menjadi warga negara kelas
dua di pengungsian dan di cap sumber kekacauan dan kriminalitas.
Wajah Kriminalitas
Radikalisme
Gelombang
pengungsi dari negara-negara Timur Tengah yang tengah berkecamuk melawan
radikalisme seperti NIIS, Al-Qaeda, dan kelompok-kelompok lain yang disebut
ektrimis muslim garis keras, jelas menunjukan wajah “kriminalitas” radikalisme
di sana yang sayangnya selalu ada embel-embel ideologi agama. Para pengungsi
ini di tampung di kamp kamp pengungsian baik di wilayah-wilayah tertentu di
Timur Tengah yang relatif aman atau di negara tujuan, dan dikelola oleh badan
PBB atau lembaga-lembaga kemanusiaan internasional yang umumnya bersumber dana
perseorang yang visinya dogma Kristen untuk kesejahteraan universal. Semoga
tidak ada tuduhan Westernisasi atau Kristenisasi.
Para
pengungsi itu jelaslah korban. Mereka adalah “tameng hidup”. Seperti juga
diberitakan di wilayah Marawi (Pilipina), dimana kaun ekstrimis NIIS
memanfaatkan penduduk kota menjadi tameng gempuran militer negara Pilipina.
Disinilah titik kriminalitas ektrim dari gerakan atau perang radikalisme
(agama). Saya yakin mereka yang saling bertempur, yang katanya atas nama agama
itu, masihkah berpikir “kasihan” terhadap kaum pengungsi itu. Pernahkah mereka
berjanji “tenang saja kalian di sana,
nanti kalau wilayah negara kita sudah aman, kamu semua saya panggil pulang dan
saya sejahterakan”? Namun saya, di sisi lain juga meragukan, pernahkah para
pengungsi itu berpikir bahwa ada yang salah dikelola di negara saya antara
agama dan hidup bernegara/berbangsa. Inilah “ambiguitas” yang saya sebut tadi,
yang mungkin berakumulasi berabad-abad lamanya.
Sebaiknya Kita
Berkata:
“Tidak Ada Ampun Bagi
Kriminalitas”
Dari
pembacaan saya mengenail berbagai kasus tentang radikalisme, saya percaya
radikalisme selalu berwajah kriminal akut. Pada akhirnya dia akan muncul dalam
bentuk pertempuran antar golongan, antar etnis, antar pendukung partai, dsb.
Anehnya masyarakat Indonesia adem ayem
saja, mengapa?! Dugaan saya karena sebagian besar (mayoritas) warg bangsa
Indonesia juga mengalami “ambiguitas”!!.
Sudah
sangat dikenal luas bahwa sejak zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia,
masyarakat Indonesia dikenal sangat harmonis antar pemeluk umat beragama, baik
Hindu, Buda, Islam, Kristen, Konghucu, dan berbagai aliran kepercayaan.
Akulturasi antar berbagai ajaran agama itu pun muncul di dalam bentuk-bentuk
dan ornamen candi, bentuk dan struktur bangunan rumah, dalam olahan kuliner,
jamu-jamuan, upacara tradisi, seni tari, musik, dsb. Akulturasi budaya dan
kehidupan sosial keagamaan ini membuktikan refleksi dan pengendapan yang
mendalam, yang saling disadari satu sama lain, dalam praktik-praktik nyata
tingkah laku antar pemeluk agama yang terjadi saat itu.
Bangsa
ini sangat beruntung, mengalami kehidupan harmonis antar agama ituberabad-abad, yang menyebabkan masyarakat bangsa ini “dinina-bobokkan”
kehidupan nyaman akulturasi dan harmonisasi antar umat beragama. Memang harus
diakui bahwa semua ini adalah “berkah”, berkah yang sangat luar biasa
sampai-sampai kita tidak mampu membayangkan bahkan mungkin tidak percaya, bahwa
setelah terbentuk NKRI dan oleh karena perkembangan kehidupan global, akan
muncul gelombang arus radikalisme agama. Kita saat ini, masyarakat Indonesia,
seakan-akan diusik, disadarkan, dan disodorkan sebuah realitas nyata bahwa
agama yang sudah berabad-abad baik-baik saja di negeri ini, kini seakan menjadi
momok menakutkan.
Kita
ini sekarang gamang. Mungkin tidak percaya agama menjadi berwajah brutal jika
disebarkan secara radikal. Kita menjadi tidak percaya kelompok Muslim yang satu
seakan-akan menjadi lawan kelompok Muslim yang lain. Masyarakat/kelompok
penganut Kristen pun begitu juga, bingung, gamang memilah mana yang
sesungguhnya di jalan yang benar.
Orang
bicara radikalisme, tetapi gamang karena yang dilawan atau dituduh memiliki
baju agama yang sama. Tidak ada
kesempatan untuk mengkaji dan memahami dimana letak perbedaan dogma ajarannya,
karena gelombang radikalisme agama itu berjalan begitu cepat bagaikan gulungan
ombak yang tiba-tiba menikam. Yang tiba-tiba ada jarak. Yang tiba-tiba sudah
saling berhadap-hadapan. Yang juga, membuat kita semua ragu untuk menggempur karena
melawan sesama berbaju agama yang sama adalah (secara ajaran) “berdosa”. Bukankah
ini menimbulkan psikologis kegamangan yang luar biasa?
Bayangkan
jika kasus Marawi (di Pilipina) terjadi di Indonesia misalnya di salah satu
wilayah di Jawa, ambil contoh saja di Banten, apa yang akan terjadi?! Bukankah
yang akan menjadi “korban hidup” dan tameng hidup gerakan radikalisme agama itu
juga sesama kita kaum Muslim yang bahkan sangat awam dan tidak tahu apa-apa.
Maka bangsa Indonesia harus berani berkata “radikalisme agama adalah
kriminalitas”, mengganggu ketertiban bangsa, merusak kehidupan bernegara,
mencabik hak asasi manusia sesama, dan sangat mungkin akan berkembang menjadi
gerakan separatis yang ingin membentuk negara baru.
Memang
mudah mengatakannya. Tetapi tidak segampang itu secara psikologis sosial yang
terjadi saat ini di antara masyarakat kita sendiri: “gamang dan ambigu”. Jika
semua ini dibalut lagi dengan pertaruhan politik Pemilu 2019, maka kita akan
terlambat!!! Wajah Indonesia tidak seperti hari ini lagi! (666).