Showing posts with label Cronicle. Show all posts
Showing posts with label Cronicle. Show all posts

Monday, August 24, 2020

Reflection on Gossip

Gosip...Gosip...Gosip...

Oleh: Emil E. Elip

 

Film pendek “Tilik” (menjenguk), yang ditayangkan di youtube sejak 24 Agustus 2020, per artikel ini ditulis (jadi baru 6 hari) sudah meraup 10.653.573 Views 288K Suscribers, dan 62.142 Comments (https://www.youtube.com/watch?v=GAyvgz8_zV8). Mungkin sudah lebih. Ini luar biasa sebagai film lokal, berbahasa lokal bahasa Jawa, dan dibintangi pemain-pemain lokal (sebagian besar perempuan). Film “Tilik” ini unik dan sangat kental Jawa.

Ritual: Budaya “Tilik”

Film diawali dengan sekelompok ibu-ibu yang berdiri di bak truk belakang. Melalui jalanan pedesaan berliku. Tilik (menjenguk) terhadap seseorang atau keluarga, biasanya dilakukan karena orang tersebut, atau anggota keluarganya, misalnya sedang sakit parah. Tilik bisa dilakukan sendiri, berdua, sekelompok, satu truk atau bus, dll. Di daerah pedesaan yang cukup jauh biasanya satu kelompok besar. Kali ini si ibu-ibu terpaksa menyewa truk, darurat, karena sewa bus sudah penuh.

Orang desa, seperti digambarkan ibu-ibu di dalam film itu, tidak terbiasa dalam keterisolasian. Sebagai tata nilai budaya, Tilik itu norma. Norma[1] yang memiliki kekuatan kohesivitas dan konformitas. Kehosive karena mereka lebih senang melakukannya bersama-sama, sementara konformitas adalah bentuk pengaruh sosial agar mengikuti norma yang sudah ditentukan. Itu sebabnya jika nanti Bu Tejo atau Yu Ning sakit atau kerabatnya sakit dan harus mondok di rumah sakit, ibu-ibu desa tersebut akan “Tilik”. Entah keluarganya sedang repot, entah ada uang atau tidak –misalnya untuk iuran bensin dan iuran amplop (nyumbang)— kalau sudah ditetapkan mereka akan berangkat. Begitu seterusnya terjadi secara bergulir. Jadi, kalau boleh menyebut dengan istilah yang lain, budaya Tilik itu sudah menjadi “ritual” orang desa sebagaimana di gambarkan dalam film itu.

Gosip? Isu? Kenyataan?

Dikisahkan dalam film, dari dalam bak truk itu segala issu dimulai: gosip! Cerita diawali oleh Bu Tejo. Dia mempersoalkan wanita muda cantik masih bujang, Dian namanya. Dian tidak jelas pekerjaannya, tapi menurut Bu Tejo barang-barangnya mewah dan mahal. Baru satu tahun bekerja sudah beli motor bagus. Kerja macam apa seperti itu baru sebentar sudah punya barang-barang mewah, tambah Bu Tejo dalam bahasa Jawa yang kental dan bernada ngenyek (mengejek). Bu Tejo juga pernah memergoki si Dian muntah-muntah, sehabis mahrib di pengkolan jalan desa. Ehh...tidak menyapa malah si Dian ngeloyor pergi. Muntah-muntah kan tidak harus berarti meteng (hamil), tukas seorang ibu. Bu Tejo juga tidak kurang akal, “Saya kan tahu bedanya muntah karena hamil sama muntah karena masuk angin. Orang saya juga punya anak!”.

Entah kenapa, jelas sekali kerling mata Bu Tejo ditujukan untuk Yu Ning. Ibu satu ini juga selalu membantah, mematahkan, menuduh memfitnah kepada Bu Tejo, sejak awal gosip mulai bergulir. “Fitnah itu dosanya besar”, tukas Yu Ning, yang ternyata Dian adalah keponakan-nya (masih berhubungan saudara). Semua ibu-ibu di dalam truk pun mulai “panas” nampaknya. Tetapi ada yang hanya berpaling atau diam saja mendengar perseteruan gosip antara Bu Tejo dan Yu Ning. Akhirnya Bu Tejo, untuk menyakinkan kebenaran yang dia katakan, mengeluarkan HP dan menyuruh ibu-ibu melihat foto-foto Dian di dalam HP. Sontak....hampir semua ibu-ibu berteriak-terperangah!! “Wooo...kerjanya nyambi to”, tukas seorang ibu, “Makanya ada yang pernah bilang dia melihat Dian jalan-jalan di Mall sama Om Om”. Situasi ini dimanfaatkan Bu Tejo untuk menekankan pada ibu-ibu, kalau punya HP jangan hanya untuk gaya-gayaan, tetapi cari berita. Digosipkan pula bahwa anak seperti Dian akan membahayakan suami para ibu-ibu tersebut. “Kalau aku sudah tidak khawatir...karena tempat bapak udah nggak bisa berdiri”, celetuk salah satu ibu. “Saya tidak bermaksud apa-apa...hanya mengingatkan kita perlu berhati-hati”, tambah Bu Tejo[2].

Gosip dan Menekan Konflik

Tidak ada konflik fisik di dalam gosip. Norma yang sudah ditetapkan menekan setiap invidu selalu konformis dan kohesif. Saya setuju dengan tulisan yang dikutip Ida Rochmawati, dalam tulisannya tentang film “Tilik” ini juga, bahwa menurut Foinberg bergosip membantu menenangkan tubuh. Saat orang sedang bergosip bagian otak prefrontal cortex (PFC) yang berfungsi sebagai eksekutor bertanggungjawab agar nilai-nilai moral menjadi lebih aktif. Bagi saya gosip tidak hanya harus tentang hal negatif. Dia bisa saja mengenai hal-hal positif tentang nilai perjuangan, kerja keras, bekerja dengan kejujuran, ketulusan hati...dari seseorang yang sedang menjadi subyek gosip. Hanya saja dalam film Tilik ini, kasusnya adalah gosip bernada negatif.

Bagian inilah yang membuat film Tilik ini amat njawani (sangat budaya Jawa), yakni tidak ada konflik fisik. Percekcokan antara Bu Tejo dan Yu Ning meski sempat memuncak, namun selalu diakhiri dengan diam hening, untuk kemudian dimulai lagi dengan awalan cerita yang lain lagi. Bahkan gosip yang sempat rame itu seakan-akan tidak pernah terjadi ketika truk yang ditumpangi mogok, dan secara bersama-sama semua ibu-ibu turun dan ikut mendorong. Gosip itu juga seakan “hilang” ketika truk tersebut dicegat polisi karena menyalahi peraturan. Dan bahkan secara bersama-sama ibu-ibu saling berteriak kepada Pak Polisi untuk “minta kebijaksanaannya” karena waktu sudah mepet dan segera harus sampai rumah sakit untuk tilik Bu Lurah. “Pokoknya kami harus segera sampai rumah sakit, titik”, tukas seorang ibu. Pak Polisi tidak bisa berbuat apa-apa, dan meloloskan trus tetap berjalan.

Akhir Cerita!!

Setelah truk ibu-ibu itu sampai rumah sakit dan ditemui oleh Dian dan Fikri (anak Bu Lurah yang sedang sakit), diceritakan bahwa para ibu tidak bisa masuk ke rumah sakit karena Bu Lurah sedang di ICU. Para ibu kecewa tetapi akhirnya bisa menerima. Mereka kemudian pulang. Naik truk lagi.

Pada episode akhir cerita, si Dian keluar dari rumah sakit dan masuk ke mobil sedan mewah. Di dalam mobil menunggu lelaki sudah cukup tua. Dian termenung dan kemudian bertanya kepada si lelaki, “Aku sudah jenuh hidup sendiri...tetapi apakah Fikri sudah siap kalau bapaknya mau kawin lagi...”. Jawab si lelaki, “Sudah, kamu tenang saja...ikuti kata saya saja”, sambil memegang tangan Dian.

 

Yogyakarta, Agustus 2020.

 



[1] Norma itu mengindikasikan kelompok serta menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh kelompok (Psikologi Lintas Kultural: “Pemikiran Kritis dan Terapan Modern”, Eric B. Shiraev dan David A. Levy: 2012-Kencana Prenada Media Group).

[2] Gosip memang tidak harus berkonotasi jelek (negatif). Sekelompok orang yang sedang bergosip, seperti ditulis dalam “Gossip as Cultural Learning” (Roy F. Baumeister, Liqing Zhang, dan Kathleen D. Vohs, 2004, Review of General Psychology, Vol. 8, No. 2, 111–121), sesungguhnya sedang belajar, mengulang, atau menginternalisasi kembali nilai-nilai yang berlaku dan bekerja di dalam masyarakatnya. Tokoh utamanya memang Bu Tejo dan Y Ning. Tetapi semua ibu-ibu itu juga mendengarkan, belajar bersama juga. Gosip adalah bagian dari kebudayaan manusia, tidak hanya untuk orang desa saja tetapi juga bagi orang-orang modern di kota.

Wednesday, August 19, 2020

A Unique: Celebrating Indonesia's 75th independence day in the COVID-19 Pandemic

 Refleksi Merayakan 75 Tahun Kemerdekaan RI:

“PERASAAN KEBANGSAAN YANG UNIK”

 

Oleh : Emil E. Elip

 

Lepas dari kontroversi tidak beralasan mengenai gambar atau logo Kemerdekaan RI ke-75, yang dituduh bernuansa gambar “salib”, perayaan 17-an yang lalu berjalan dengan lancar. Meski tidak semeriah biasanya. Lomba-lomba di tingkat kampung tidak ada, upacara-resmi peringatan Perayaan 75 Tahun Kemerdekaan juga banyak tidak dilakukan. Perayaan kali ini memang sepi dibawah bayang-bayang pandemi COVID-19.

Tetapi yang jelas, tanggal 17 Agustus 2020 pagi, istri saya yang PNS di instansi tertentu di Yogya, “geger”. Ribut dan kalangkabut, bertanya ini sudah jam berapa...sebab katanya dia harus mengikuti upacara Kemerdekaan RI ke-75. Saya juga bingung...lho mau upacara kemana orang dimana-mana tidak dilakanakan upacara termasuk di kantornya. Istri saya sibuk WA kesana kemari, bertanya ke teman-temannya bagaimana caranya ikut upacara. Ternyata banyak teman-temannya yang juga PNS juga tidak tahu cara dan bagaimana ikut upacaranya! Apa yang harus dilakukan. Pakai seragam apa?! Acara live-streaming mana yang harus di buka, apakah dari upacara di Istana Merdeka, upacara di Kantor Gubernuran DIY, atau kantor mana. “Apa tidak ada Juklak resmi”, tanya saya. Dia tidak menjawab saking bingungnya menunggu WA balasan dari teman-temannya.

Upacara “Pribadi” Yang Unik

Akhirnya ada informasi bahwa televisi di Yogya yang melaksanakan live-streaming adalah JTV (Jogja TV), sebuah TV swasta di Yogya. Istri saya ribut lagi...anak-anak dikerahkan untuk membuka HP masing-masing mencari alamat live-streaming JTV. Saya diperintahkan untuk menelusurinya lewat laptop. Akhirnya ketemu dan bagian tayangan yang ada yaitu pengibaran Sang Merah Putih di sertai lagu Indonesia Raya. Istri saya tidak segera mempersiapkan diri, justru malah ketawa-ketiwi melihat WA yang dikirimkan teman-temannya disertai gambar-gambar “upacara pribadi” yang unik dan lucu-lucu. Seperti misalnya:

§  Memakai seragam Korpri lengkap, berdiri tegak dan hormat sambil melihat TV di ruang tamu

§  Berdiri tegak sambil hormat, memegang HP tayangan live-streaming di warung sate. Istrinya yang disuruh memotret. Mereka tengah dalam perjalanan jauh dan makan pagi.

§  Berdiri tegak sambil hormat di dalam KRL, memegang HP tayangan live-streaming. Penumpang lain dimintai tolong untuk memotret.

§  Dll

Masih banyak “upacara unik” yang terjadi. Dengar kabar dari istri saya bahwa foto-foto sudah mengikuti upacara dimaksud, nanti dikumpulkan di kantor masing-masing. Semua terlihat aneh dan lucu sampai saya bertanya pada diri saya sendiri “kok bisa semua ini dilakukan”. Jelaslah bahwa selama ini kita tidak pernah melihat atau melakukan upacara Kemerdekaan RI dilaksanakan secara individual seperti itu. Kalau ornamen-ornamen gambaran kemerdekaan seperti memasang bendera, umbul-umbul, dan hiasan lain di kampung-kampung terjadi seperti yang sudah-sudah.

Perasaan Berbangsa dan Bernegara

Kita orang Indonesia terdiri atas berbagai, bahkan mungkin ratusan, suku-bangsa dan kelompok etnis yang lebih kecil. Kita bisa jadi amat berbeda satu sama lain, baik dalam kehidupan basis ekonomi, norma dan tatanilai yang dianut, yang semuanya itu juga mempengaruhi dunia spiritualitas dan ucara-upacara adat.  Eric B. Shiraev dab David A. Levy (2012) dalam bukunya “Psikologi Lintas Kultural” menyatakan bahwa kultur adalah atribut yang tidak bisa dipisahkan dari “kesadaran” manusia - kesadaran akan subyektifitas, sensasi, persepsi dan berbagai aktivitas mental lainnya. Itulah maka membahas mengenai kesadaran memang rumit. Orang-orang Jawa memiliki atribut kultural yang sangat berbeda dengan orang Bali. Berbeda lagi dengan orang Toraja, Flores, Papua, Maluku, Batak, Aceh, Dayak, dll. Tata nilai, mental, dan spiritualitas mereka tentang satu hal saja, perkawinan misalnya, sangat berbeda satu sama lain.

Tetapi...kita juga bernegara. Memiliki satu negara, yaitu Negara Republik Indonesia. Coba pikirkan kesadaran seperti apa, dari yang begitu beragam dan berbeda tersebut, kita memiliki kesadaran mental bersama: “bernegara Indonesia”. Kecuali kelompok kecil tertentu yang ingin merdeka untuk kedua kalinya dengan dasar kenegaraan lainnya. Apakah ini soal sejarah lamanya merdeka? Kita baru 75 tahun merdeka! Apakah ini soal toleransi budaya di Indonesia yang sangat tinggi? Hampir seluruh masyarakat kita dari berbagai suku-bangsa itu belum pernah bertemu satu sama lain, bagaimana bisa sharing toleransi!

Antropologi psikologis Hallowell[1], mencatat bahwa orang hidup di dalam satu lingkungan behavioral (representasi mental yang mengarahkan orang ke dimensi seperti waktu, ruang, dan dunia interpersonal). Kesadaran ini mengatur perilaku manusia secara adaptif di dalam lingkungan fisik dan sosial tertentu. Hallowell ingin menjelaskan bahwa setiap orang di dalam suatu budaya tertentu, sejak dia lahir, telah mulai belajar tentang interaksi sosial, tentang hal baik dan buruk, mengenai keadaan damai dan konflik/perang, bergotong-royong, harmoni, dll yang semuanya diikat dalam spiritualitas yang dianut bersama-sama. Meskipun mungkin berbeda-beda ekspresi kebudayaannya, tetapi ada titik mental-interpersonal tertentu yang menjadi perasaan atau dorongan emosional bersama.

Itulah sebabnya, meskipun dari Sabang sampai Merauke kita berbeda-beda budaya dan suku, ada mental-interpersonal di dalam kebudayaan kita masing-masing, bahwa hidup harmonis – di dalam budaya sendiri atau lintas budaya--  menjadi penting semuanya dan mungkin juga menjadi kebanggaan bersama. Oleh karena itu merayakan Kemerdekaan RI ke-75 dan hormat atas sanga Saka Merah Putih, bisa dilakukan oleh orang-orang dari lintas budaya di Indonesia. Tentu dengan cara yang bisa berbeda-beda sesuai ekspresi budaya masing-masing. Ada semacam dorongan mental emosional interpersonal bersama di sana, yaitu “berbangsa dan bernegara” Indonesia.

Dalam konteks yang semacam inilah maka kita semua merayakan Hari Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus. Hanya saja...kali ini...dalam ancaman pandemi COVID-19, kita merayakannya dengan sendiri-sendiri, sederhana, dimanapun kita mungkin sedang berada, tetapi unik, dengan makna yang kurang lebih sama!

Lega rasanya telah memotret istri saya memakai baju Korpri lengkap, berdiri dan menghormat pada Sang Saka Merah Putih, meski hanya melalui laptop... Saya merenungi peristiwa langka ini dibawah ancaman Pandemi COVID-19. Perasaan mental emosional “berbangsa dan bernegara” memang harus kita lakukan meski dibawwah ancaman apapun...!

 

^ ^ ^



[1] Lihat “Psikologi Lintas Kultural”: Pemikiran Kritis dan Terapan Modern: Eric Eric B. Shiraev dan David A. Levy (Edisi Keempat-2012), Kencana Prenada Group-Jakarta.

Thursday, April 13, 2017

Cronicle of East Indonesia "Boat...is our life"



KRONIKA INDONESIA TIMUR:

“Perahu...Hidup Kami Semua”

Oleh: Emil E. Elip


Jika Anda sering bepergian ke wilayah-wilayah di Indonesia bagian Timur, dan sesekali mejelajah daerah-daerah seperti NTT, Kepulauan Ambon, Kepulauan Kei, sampai Maluku  bagian Utara, dll barulah kita menyadari dan merasakan bahwa kita adalah bangsa bahari. Semuanya tampak biru. Birunya perairan laut yang lebih luas dari daratan. Di atas hamparan laut biru yang maha luas itu, kita akan merasakan ketergantungan kita pada ada atau tidaknya “perahu” dan dermaga. Jika akses terhadap perahu sangat terbatas maka  bisa dikatakan 60% hidup masyarakat di Indonesia Timur berhenti!!

Wednesday, April 12, 2017

Cronicle: Resevoir Village Tourism Which Move On



KRONIKA DESA TERTINGGAL:
Desa Pinggir Waduk Yang Bergerak

Oleh: Emil E. Elip


Sekitar 13 tahun yang lalu masyarakat desa ini tidak ada yang berani bermimpi bahwa desanya akan lebih makmur dan dikunjungi banyak orang untuk berwisata di tepi waduk.  Tidak ada yang mengira bahwa desa Tiwingan lama (Kec. Aranio, Kab. Banjar, Kalimantan Selatan), yang terletak agak dipedalaman ini, akan menjadi desa wisata yang dikunjungi banyak orang serta memiliki PADesa (Pendapatan Asli Desa) yang cukup banyak dan berkembang berbagai kegiatan yang dapat mendukung penghasilan penduduknya. 

Monday, March 27, 2017

Conventional Taxi vs Online Taxi

KRONIKA

Taksi Konvensional v.s On-line
"Bagaikan kantor pos melarang email"
Oleh: Emil E Elip

Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul demo tentang taksi konvensional v.s. taksi on-line. Persoalan mendasarnya adalah para sopir taksi konvensional merasa penumpangnya semakin sedikit karena maraknya taksi-taksi on-line berbasis aplikasi. Lantas persoalannya kian meluas, menjadi antara sopir angkutan umum seperti taksi konvensional, angkot, supir bis kota, ojek, dll. Ini fenomena "menggelikan" sekaligus aneh dan baru bagi masyarakat Indonesia, yang mau tak mau melawan globalisme pasar.

 

Saya pingin mulai dari kenyataan mengapa para pemilik kios pakaian, sepatu, kerajinan, dll di pasar, diruko-ruko, di mall, dll tidak pada demo dengan maraknya juga jual beli on-line seperti bukalapak.com, OXL, dan semacamnya. Jangan lupa lho semua toko on-line itu menjual semua kebutuhan mulai pakaian, asesoris, minuman, susu, arloji, kebutuhan bayi...apapun. Kok tidak demo! Karana pasar menghendaki hal baru, beli tidak repot, harga jelas dimuka, bahkan diantar, dan sering dapet diskon pula. 

Friday, March 24, 2017

Friction About Religion in Jakarta


KRONIKA:
"Agama Yang Diperalat"

Oleh: Emil E. Elip





Beberapa bulan terakhir ini, sejak dimulainya pemilihan kepala daerah provinsi Jakarta, agama tiba-tiba muncul menjadi momok menakutkan di mata masyarakat Indonesia. Tiba-tiba toleransi di Indonesia yang begitu kuat ditulis dalam buku-buku teks anak-anak sekolah sebagai ciri masyarakat Indonesia, hanyalah isapan jempol belaka. Apa sebabnya dan apa dampaknya bagi pendidikan kewargaan (civil-cityzenship) masyarakat Indonesia.


Isu utamanya adalah Ahok (ex-gubernur Jakarta) yang ikut pemilihan kepala daerah lagi, dianggap menghina agama Islam (oleh kelompok fundamental tertentu)  pada kampanye di kepulauan Seribu. Lantas bergulirlah demonstrasi jalanan. Sidang-sidang hukum bergulir sudah 10 kali yang tentu menghabiskan biaya, hanya untuk menentukan Ahok menghina agama Islam atau tidak.

Monday, March 13, 2017

Pregnant women ...has to be stretchered



KRONIKA WILAYAH TERTINGGAL:

Ibu Hamil…. Terpaksa Ditandu
Oleh: Emil E. Elip


“Kalau ada ibu hamil mau melahirkan terpaksa kami bawa naik kuda pela-pelan ke Puskesmas… Ojek tidak berani naik ke dusun-dusun”, cerita ibu Yumarni (24) seorang pengumpul Damar, penduduk Pekon (Desa) Malaya, Kecamatan Lemong, Kabupaten Lampung Barat, yang mengisahkan betapa susahnya akses jalan menuju Puskesmas, pasar, sekolahan, atau sekadar mengurus keperluan tertentu di kecamatan. Sampai sekitar tahun 2010, lanjut Yumarni, masih ada ibu hamil terpaksa naik kuda untuk memeriksakan kehamilannya di Puskesmas. Paramedis Puskesmas tidak berani naik ke dusun-dusun di atas memberikan pelayanan karena jalanan dan medannya sangat berat.

Bukan hanya Yumarni yang mengisahkan kisah sedih heroik semacam itu. Sapran (32) seorang tokoh masyarakat di  Desa Endikat Ilir, Kecamatan Gumay Talang, Kabupaten Lahat juga menceritakan hal serupa: “Sebelum tahun 2011 penduduk Desa Darmo dan Endikat Ilir terpaksa harus memikul memakai tandu ibu-ibu yang akan melahirkan ke Puskesmas, padahal jaraknya hanya sekitar 10 Km dari desa kami”. Jalur jalan desa Darmo dan Endikat Ilir waktu itu hanya berupa jalan setapak, kondisinya parah, dan naik-turun. “Ojek memang sudah ada, tetapi sangat berbahaya untuk ibu hamil mau melahirkan. Bahkan malam pun harus kita tandu beramai-ramai…amat berbahaya dari binatang buas”, imbuh Sapran.

Jangankan di kedua wilayah di Sumatera tersebut, di Jawa pun masih ada juga kondisi serupa dijumpai. Di salah satu wilayah tertinggal di Kabupaten Sukabumi, yaitu di Desa Bantarsari dan Sirnasari, Kecamatan Pabuaran kondisinya persis seperti dikisahkan Sapran. “Melihat kondisi jalan yang kecil, naik turun berbukit-bukit di wilayah kami, tidak ada cara paling aman bagi ibu hamil atau mereka yang sakit parah kecuali ditandu menuju Puskesmas”, begitu ungkap Pak Narman (58) tokoh masyarakat Desa Bantarsari, mengisahkan kondisi di desanya sebelum tahun 2011.