Wednesday, August 19, 2020

A Unique: Celebrating Indonesia's 75th independence day in the COVID-19 Pandemic

 Refleksi Merayakan 75 Tahun Kemerdekaan RI:

“PERASAAN KEBANGSAAN YANG UNIK”

 

Oleh : Emil E. Elip

 

Lepas dari kontroversi tidak beralasan mengenai gambar atau logo Kemerdekaan RI ke-75, yang dituduh bernuansa gambar “salib”, perayaan 17-an yang lalu berjalan dengan lancar. Meski tidak semeriah biasanya. Lomba-lomba di tingkat kampung tidak ada, upacara-resmi peringatan Perayaan 75 Tahun Kemerdekaan juga banyak tidak dilakukan. Perayaan kali ini memang sepi dibawah bayang-bayang pandemi COVID-19.

Tetapi yang jelas, tanggal 17 Agustus 2020 pagi, istri saya yang PNS di instansi tertentu di Yogya, “geger”. Ribut dan kalangkabut, bertanya ini sudah jam berapa...sebab katanya dia harus mengikuti upacara Kemerdekaan RI ke-75. Saya juga bingung...lho mau upacara kemana orang dimana-mana tidak dilakanakan upacara termasuk di kantornya. Istri saya sibuk WA kesana kemari, bertanya ke teman-temannya bagaimana caranya ikut upacara. Ternyata banyak teman-temannya yang juga PNS juga tidak tahu cara dan bagaimana ikut upacaranya! Apa yang harus dilakukan. Pakai seragam apa?! Acara live-streaming mana yang harus di buka, apakah dari upacara di Istana Merdeka, upacara di Kantor Gubernuran DIY, atau kantor mana. “Apa tidak ada Juklak resmi”, tanya saya. Dia tidak menjawab saking bingungnya menunggu WA balasan dari teman-temannya.

Upacara “Pribadi” Yang Unik

Akhirnya ada informasi bahwa televisi di Yogya yang melaksanakan live-streaming adalah JTV (Jogja TV), sebuah TV swasta di Yogya. Istri saya ribut lagi...anak-anak dikerahkan untuk membuka HP masing-masing mencari alamat live-streaming JTV. Saya diperintahkan untuk menelusurinya lewat laptop. Akhirnya ketemu dan bagian tayangan yang ada yaitu pengibaran Sang Merah Putih di sertai lagu Indonesia Raya. Istri saya tidak segera mempersiapkan diri, justru malah ketawa-ketiwi melihat WA yang dikirimkan teman-temannya disertai gambar-gambar “upacara pribadi” yang unik dan lucu-lucu. Seperti misalnya:

§  Memakai seragam Korpri lengkap, berdiri tegak dan hormat sambil melihat TV di ruang tamu

§  Berdiri tegak sambil hormat, memegang HP tayangan live-streaming di warung sate. Istrinya yang disuruh memotret. Mereka tengah dalam perjalanan jauh dan makan pagi.

§  Berdiri tegak sambil hormat di dalam KRL, memegang HP tayangan live-streaming. Penumpang lain dimintai tolong untuk memotret.

§  Dll

Masih banyak “upacara unik” yang terjadi. Dengar kabar dari istri saya bahwa foto-foto sudah mengikuti upacara dimaksud, nanti dikumpulkan di kantor masing-masing. Semua terlihat aneh dan lucu sampai saya bertanya pada diri saya sendiri “kok bisa semua ini dilakukan”. Jelaslah bahwa selama ini kita tidak pernah melihat atau melakukan upacara Kemerdekaan RI dilaksanakan secara individual seperti itu. Kalau ornamen-ornamen gambaran kemerdekaan seperti memasang bendera, umbul-umbul, dan hiasan lain di kampung-kampung terjadi seperti yang sudah-sudah.

Perasaan Berbangsa dan Bernegara

Kita orang Indonesia terdiri atas berbagai, bahkan mungkin ratusan, suku-bangsa dan kelompok etnis yang lebih kecil. Kita bisa jadi amat berbeda satu sama lain, baik dalam kehidupan basis ekonomi, norma dan tatanilai yang dianut, yang semuanya itu juga mempengaruhi dunia spiritualitas dan ucara-upacara adat.  Eric B. Shiraev dab David A. Levy (2012) dalam bukunya “Psikologi Lintas Kultural” menyatakan bahwa kultur adalah atribut yang tidak bisa dipisahkan dari “kesadaran” manusia - kesadaran akan subyektifitas, sensasi, persepsi dan berbagai aktivitas mental lainnya. Itulah maka membahas mengenai kesadaran memang rumit. Orang-orang Jawa memiliki atribut kultural yang sangat berbeda dengan orang Bali. Berbeda lagi dengan orang Toraja, Flores, Papua, Maluku, Batak, Aceh, Dayak, dll. Tata nilai, mental, dan spiritualitas mereka tentang satu hal saja, perkawinan misalnya, sangat berbeda satu sama lain.

Tetapi...kita juga bernegara. Memiliki satu negara, yaitu Negara Republik Indonesia. Coba pikirkan kesadaran seperti apa, dari yang begitu beragam dan berbeda tersebut, kita memiliki kesadaran mental bersama: “bernegara Indonesia”. Kecuali kelompok kecil tertentu yang ingin merdeka untuk kedua kalinya dengan dasar kenegaraan lainnya. Apakah ini soal sejarah lamanya merdeka? Kita baru 75 tahun merdeka! Apakah ini soal toleransi budaya di Indonesia yang sangat tinggi? Hampir seluruh masyarakat kita dari berbagai suku-bangsa itu belum pernah bertemu satu sama lain, bagaimana bisa sharing toleransi!

Antropologi psikologis Hallowell[1], mencatat bahwa orang hidup di dalam satu lingkungan behavioral (representasi mental yang mengarahkan orang ke dimensi seperti waktu, ruang, dan dunia interpersonal). Kesadaran ini mengatur perilaku manusia secara adaptif di dalam lingkungan fisik dan sosial tertentu. Hallowell ingin menjelaskan bahwa setiap orang di dalam suatu budaya tertentu, sejak dia lahir, telah mulai belajar tentang interaksi sosial, tentang hal baik dan buruk, mengenai keadaan damai dan konflik/perang, bergotong-royong, harmoni, dll yang semuanya diikat dalam spiritualitas yang dianut bersama-sama. Meskipun mungkin berbeda-beda ekspresi kebudayaannya, tetapi ada titik mental-interpersonal tertentu yang menjadi perasaan atau dorongan emosional bersama.

Itulah sebabnya, meskipun dari Sabang sampai Merauke kita berbeda-beda budaya dan suku, ada mental-interpersonal di dalam kebudayaan kita masing-masing, bahwa hidup harmonis – di dalam budaya sendiri atau lintas budaya--  menjadi penting semuanya dan mungkin juga menjadi kebanggaan bersama. Oleh karena itu merayakan Kemerdekaan RI ke-75 dan hormat atas sanga Saka Merah Putih, bisa dilakukan oleh orang-orang dari lintas budaya di Indonesia. Tentu dengan cara yang bisa berbeda-beda sesuai ekspresi budaya masing-masing. Ada semacam dorongan mental emosional interpersonal bersama di sana, yaitu “berbangsa dan bernegara” Indonesia.

Dalam konteks yang semacam inilah maka kita semua merayakan Hari Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus. Hanya saja...kali ini...dalam ancaman pandemi COVID-19, kita merayakannya dengan sendiri-sendiri, sederhana, dimanapun kita mungkin sedang berada, tetapi unik, dengan makna yang kurang lebih sama!

Lega rasanya telah memotret istri saya memakai baju Korpri lengkap, berdiri dan menghormat pada Sang Saka Merah Putih, meski hanya melalui laptop... Saya merenungi peristiwa langka ini dibawah ancaman Pandemi COVID-19. Perasaan mental emosional “berbangsa dan bernegara” memang harus kita lakukan meski dibawwah ancaman apapun...!

 

^ ^ ^



[1] Lihat “Psikologi Lintas Kultural”: Pemikiran Kritis dan Terapan Modern: Eric Eric B. Shiraev dan David A. Levy (Edisi Keempat-2012), Kencana Prenada Group-Jakarta.