Showing posts with label Reflection of life. Show all posts
Showing posts with label Reflection of life. Show all posts

Friday, April 20, 2018

Short Story: "Women and Teak Tree"

Cerita Pendek:
"Perempuan dan Pohon Jati"

Oleh: Emil E. Elip



Sudah hampir sepuluh purnama ini dia selalu berlari mencari pohon-pohon jati yang diceritakan oleh kakek-nenek buyutnya ketika mereka masih hidup. Cerita itu begitu indah terdengar ditelinganya yang kecil, ketika dia masih kanak-kanak, sambil berbaring-baring dipangkuan neneknya atau ketika pergi digandeng kakeknya ke kebun. Dalam temaram lampu sentir dan suara jangkerik malam sehabis mahrib, atau ketika angin kebun bersemilir lembut sambil mencabuti ketela-ketela pohon di siang hari yang terik, cerita tentang jajaran pohon jati di kampungnya begitu mempesona.

Saturday, March 3, 2018

Hoes, Tracctor, and The Farmer

Reflection: 
Hoes, Tractor….and the Farmer

The young farmer entrust “hoe” to his friend farmers. “I’m going to the city, can not live like this again. I do want to find another fortune,” he said, handing the spade. Decades passed, the Farmers tie back to the village, looking for his old friends, and say: “Where I leave the old hoes yet. I want to replace it with a tractor,” he said. His friend and fellow farmers take handed: “What did you replace it with a tractor. It is no longer the lands of farmers here,” said his friend. “I’m with the others already sold the land, now we all construction workers for those buildings own by people from city build in our land ….”. (Emil 666)
Image result for petani dan tanah

55Th of My Life

Reflection:
55Th of My Life

Today, March 3, 2018, is the 55th day of my life. It's hard for me to judge and say whether I am a successful or a failure. If you want to compare with my junior or high school friends, I seem to be among the less successful. Many things I have not been able to achieve in terms of financial, work, material, and burden are still heavy to develop my children.

But life is very relative. Everyone has their own failures and successes. Everyone must experience pain and joy differently. Everyone is very subjective for his own life. It is therefore difficult to compare with each other. All we can do is be grateful for what we've got, and learn from others to improve ourselves as much as we can. (Emil369)


Please try another fortune on here!

Monday, August 7, 2017

Exploring Uncertainty of Life



Mempertanyakan Ketidakpastian Hidup Manusia
Oleh: Emil E. Elip

Hidup itu penuh kebetulan (by chance/by irony of fate). Begitu pula di sisi lain, hidup itu sarat dengan ketidakpastian (uncertainty). Banyak hal yang tidak kita harapkan atau tidak kita duga, terjadi, baik pada sisi yang merugikan dan membuat sengsara atau pada sisi yang membuat kita gembira atau menguntungkan hidup kita. Bagaimana umat manusia mensikapi kebetulan dan ketidakpastian telah mendorong pencarian manusia atas apa yang disebut “keilahian”, Sang Maha Agung dan Kuasa, Allah, Tuhan, Dewa....yang (mungkin) tidak pernah tuntas hingga kini....

Alam Semesta Yang Tak Terlampaui
Anda pasti pernah memandang ke langit malam yang gelap berbintang, bulan, berkeli-kelip nan amat luas. Seluas apa alam semesta ini mampukah Anda bayangkan garis batasnya? Kita higup di planet bumi, yang merupakan bagian dari suatu gugus galaxi. Menurut ilmu pengetahuan alam di alam semesta ini, tidak hanya ada satu galaxi saja yang kita tinggali ini. Ada ratusan gugus galaxi bahkan mungkin ribuan. Di dalam galaxi itu ada udara, karbon dioksida, plankton, hewan, tumbuh-tumbuhan, gas, dan bermacam-macam lain. Mungkin saja materi-materi semacam itu ada pula di galaxi-galaxi lain. Tidak mampu kita bayangkan bagaimana semua itu bekerja dengan kemampuan kapasitas otak kita.

Saturday, April 15, 2017

Reflection: Mistery of Love in Hard Life Condition



Refleksi:

“Mencari Cinta Dalam Hidup Yang Berat”

Oleh: Emil E. Elip



Sebagian orang mengatakan "cinta itu buta". Sebagian lain mengatakan "cinta itu kejam", "merusak". Ada juga yang bilang "cinta begitu indah". Tetapi tidak sedikit pula yang berkesimpulan bahwa cinta itu biasa saja, bahkan tidak pernah merasakan apa cinta itu, dan mentertawakan cinta!!

Mendiskusikan cinta memang nampaknya jadi menjemukan dan klise. Itu karena cinta terlalu sering diasosiasikan dengan keintiman antar dua jenis seksis manusia. Namun membahas cinta untuk menemukan apa sesungguhnya maknanya, apa yang menggerakkan pikiran dan tindakan manusia tentang cinta, bagaimana situasi cinta dalam kondisi manusia ketika hidup susah, hidup penuh perjuangan, berkubang dalam kemiskinan, adalah hal yang menarik. Dalam situasi semacam itu ternyata cinta menunjukkan muka yang aneh. Jauh dari bacaan kita di dalam dogma-dogma agama dan buku-buku romantisme anak-muda.

Tuesday, March 21, 2017

Question on Man Ontological Existency



Question on Man Ontological Existency
Mempertanyakan Eksistensial Ontologis Manusia”

Oleh: Emil E. Elip



Paper ini mempersoalkan “jalan hidup” manusia. Istilah mempersoalkan sesungguhnya mau “menganalisa” secara relatif ilmiah tentang manusia yang berproses “mengada” dan menyejarah di dalam kehidupannya: keberadaannya di dunia (kelahiran), proses kehidupannya, dan kematiannya. Tentu saja obyek analisis ini semula bersifar “subyektif” tentang sejarah “mengada”-nya, dan yang kemudian hendak dianalisis secara logis-kritis-ilmiah dalam hal dunia ontologisnya.

Kehadiran Yang Tidak Demokratis

Pernah sesekali Anda menanyakan kepada diri Anda, atau katakanlah mempersoalkan diri Anda: “mengapa” Anda terlahir di dunia. Jawaban-jawaban yang muncul dari alam pemikiran “dogmatis agamis” adalah: karena Tuhan menciptakan “aku”. Jawaban yang lebih simpel-realis, namun bernuansa ilmiah biologis adalah: karena ada persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, yang kemudian sering disebut “bapak” dan “ibu”. Jawaban realis-biologis ini sering dicap terlalu “sekuler”, oleh karena itu mereka yang dogmatis-agamis lantas menambahkan bahwa persetubuhan yang dimaksud adalah buah dari proses adanya institusi perkawinan tentu saja perkawinan yang disahkan oleh agama. Tentu ada banyak pula perkawinan tanpa restu agama, yang mungkin tepatnya disebut “persetubuhan perselingkuhan” itu, yang juga membuahkan lahirnya atau munculnya kehadiran manusia di dunia.

Sunday, March 19, 2017

Reflections: Life, Poetry, and Catharsism



Hidup, Puisi, dan Katarsisme
Oleh: Emil E. Elip


Benar kiranya, hidup itu adalah “puisi”. Oleh karenanya sebagian besar puisi merupakan hasil refleksi sang penulisnya atas perjalanan dan laku kehidupannya. Pada penggalan-penggalan kehidupan yang penuh warna penderitaan dan kegetiran, maka produk-produk puisi sang penulisnya kemungkinan besar akan bernuansa reflektif diri, berwarna pecarian atas Tuhan-nya, mungkin juga puisi-puisi penyesalan, atau bahkan semacam keinginan pemberontakan diri.

Sebaliknya, pada periode-periode kehidupan sang penulis yang penuh warna kesuksesan atau keberhasilan meraih sesuatu, maka puisi-puisi yang ditulispun sangat mungkin akan bernuansa terima kasih kepada sang Khalik, atau bait-bait yang sangat menggugah dan menganjurkan bahwa kehidupan itu penuh kejutan, penuh hal-hal tidak terduga dan mungkin ingin mengatakan juga bahwa mukzizat itu bukan isapan jempol belaka.

Jadi, sekali lagi (semoga sidang pembaca juga setuju), bahwa hidup itu puisi. Dan di dalam puisi itu bisa kita lihat berbagai macam kejadian kehidupan. Dan luar biasanya adalah, puisi bisa muncul tercipta bagaikan badai yang bisa terjadi setiap saat seperti pasang surut datang dan perginya sang badai. Hari ini muncul puisi-puisi yang menyayat-nyayat, skeptis, depresif…beberapa hari lagi bisa muncul puisi bersemagat, menggugah, optimistik, dsb.

Puisi Dan Sosialitas Masyarakat
Setiap masyarakat memiliki cara mengungkapkan refleksi perjalanan kehidupan mereka. Saya ingin menyinggung salah satu saja kelompok kehidupan masyarakat nomaden yang tersebar di jazirah Arab, Timur Tengah lainnya, sampai Utara Mesir hingga Spanyol Selatan tepatnya di Granada. Kelompok masyarakat ini adalah masyarakat nomaden, berpindah-pindah, mencari tempat yang paling memungkinkan bagi mereka untuk mencari makan, berburu, berdagang, dsb. Mereka sering disebut juga kelompok “gipsi” (gipsy), yang beberapa akar budaya gipsinya bersumber dari komunitas-komunitas nomaden di India Utara sekitar Rajastan.