Saturday, April 15, 2017

Reflection: Mistery of Love in Hard Life Condition



Refleksi:

“Mencari Cinta Dalam Hidup Yang Berat”

Oleh: Emil E. Elip



Sebagian orang mengatakan "cinta itu buta". Sebagian lain mengatakan "cinta itu kejam", "merusak". Ada juga yang bilang "cinta begitu indah". Tetapi tidak sedikit pula yang berkesimpulan bahwa cinta itu biasa saja, bahkan tidak pernah merasakan apa cinta itu, dan mentertawakan cinta!!

Mendiskusikan cinta memang nampaknya jadi menjemukan dan klise. Itu karena cinta terlalu sering diasosiasikan dengan keintiman antar dua jenis seksis manusia. Namun membahas cinta untuk menemukan apa sesungguhnya maknanya, apa yang menggerakkan pikiran dan tindakan manusia tentang cinta, bagaimana situasi cinta dalam kondisi manusia ketika hidup susah, hidup penuh perjuangan, berkubang dalam kemiskinan, adalah hal yang menarik. Dalam situasi semacam itu ternyata cinta menunjukkan muka yang aneh. Jauh dari bacaan kita di dalam dogma-dogma agama dan buku-buku romantisme anak-muda.


* * *
Sepasang orang tua terbang dari Jakarta ke Singapura karena harus menghadiri wisuda anak perempuannya yang baru saja lulus Master Manajemen dari salah satu universitas terkemuka di kota itu. Ada banyak orang tua dari daerah menyediakan fasilitas paling bagus, rumah, mobil, buku-buku, uang saku, dan macam-macam lain karena anaknya diterima kuliah di kota besar Jakarta. Anak-anak yang beruntung mungkin sudah disediakan oleh orang tuanya rumah dan mobil, bahkan deposito, sebelum anak-anak ini siap berumah tangga. Ada banyak sekali dermawan yang menyumbangkan uangnya secara rutin ke yayasan-yayasan sosial dan atu lembaga keagamaan. Tidak sedikit pemuda yang sedang jatuh cinta sama sang pacar, membelikan apa saja yang diminta sang pacar, dari busana, tas, arloji, dan macam-macam lain karena ingin cintanya gayung bersambut dan dijaga bersama agar tak terpisahkan.

Semua yang tergambarkan diatas adalah ekspresi tindakan cinta kata banyak orang dan berbagai referensi populer yang membahas mengenai cinta. Tentu saja gamabaran ini adalah gambaran dalam konteks dimana mereka semua memiliki uang dan harta yang lebih dari cukup. Dalam situasi memiliki uang dan harta lebih dari cukup, ekspresi cinta memang mungkin lebih mudah untuk diwujudkan. Lantas bagaimana dengan kaum miskin, penuh hutang, penghasilannya tidak menentu, hidup dalam kubangan slum? tidak adakah yang bisa mereka wujudkan dalam ekpresi tindakan cinta?!!!

Semoga Anda pernah mampir melihat film pendek "Prenjak", karya Wregas Bannutejo yang memenangkan kategori film pendek di Cannes 2016. Film itu menceritakan seorang ibu terpaksa menjual diri dengan mau mempertontokan "vagina"-nya kepada seorang pemilik warung, agar segera diberi pinjaman uang untuk biaya anak-anaknya. Meski ekspresi si ibu ekspresi yang menunjukkan "keterpaksaan", tetapi yang dilakukannya adalah satu satunya pilihan dalam berbagai peluang pilihan yang bisa cepat mendapatkan uang. Dialog film itu tidak menyebutkan kata "cinta" sama sekali. Ini film adalah tentang kaum miskin slum kota. Mungkin Wregas ingin mengatakan hampir tidak ada atau sangat miskin ekspresi cinta di dalam masyarakat miskin, sebagaimana digambarkan pada konteks orang-orang kaya. Tetapi tidak dapat disangkal dengan logika manapun, bahwa yang dilakukan si ibu adalah demi hidup anak-anaknya. Apakah ini suatu tindakan atas sesuatu lain yang disebut "cinta"?!

  
Masih banyak sekali contoh serupa seperti yang digambarkan Wregas dalam konteks masyarakat miskin. Para PSK yang menjual diri demi keberlanjutan hidup keluarganya di kampung. Orang-orang miskin, pemulung, atau preman yang bertindak demi hidup keluarganya. Bahkan mungkin demi biaya sekolah anak-anaknya, mereka terpaksa mencuri, memalak, dsb. Mereka tentu, mungkin tabu, mengatakan ini demi cinta. Ini kewajiban saja, kewajiban amat personal yang tidak mungkin dapat dijelaskan oleh para cendekia, agamawan, maupun teolog. Kewajiban yang muncul dari hasrat instink genetik manusia sebagai mahkluk mamalia. Siapa tahu apa yang kita sebut "ekspresi cinta", dimulai dari instink dasar sederhana ini!

Jadi mungkinkah cinta itu tidak berkonsep secara baku? Di dalam konteks pola hidup orang-orang kaya cinta itu ada, dan memiliki tantangannya sendiri. Sementara dalam konteks pola hidup kaum miskin, cinta memiliki cara mengekspresikannya sendiri dan tantangan-tantangannya sendiri. Jadi mungkin memang tidak ada konsep tunggal tentang cinta. Mungkin cinta itu sangatlah "private", berada dalam konteks, sejarah, dan kondisi kehidupan kita masing-masing. Itu sebabnya cinta tidak pernah sama satu dengan yang lain. Cinta itu kontekstual. Orang Jawa bilang "cinta itu esuk dhele, sore tempe" (pagi masih berupa kacang kedelai, sore sudah berubah menjadi tempe).

* * *
Stirner, seorang filsus eksistensial, membayangkan bahwa cinta itu emosi egoisme yang nihilistik. Egoiesme yang hakiki. Pandangan Stirner tentang cinta sangat radikal. Dia mencoba membuang nilai-nilai di dalam agama dan moralitas yang dianggapnya sebagai penghambat manusia mencari menuju kesadaran diri manusia tentang hidup dan cinta. Ada 2 isu yang terkait manusia dengan cinta kata Stirner. Pertama, kita terlalu sering terbebani oleh kewajiban-kewajiban karena cinta. Ini yang sering disebut "cinta itu buta dan gila", karena adanya beban ini itu yang harus dilakukan oleh kita semua yang jatuh dalam pelukan cinta. Kedua, ketika kita memiliki perasaan cinta yang terjadi bukannya kita kehilangan pribadi, tetapi sebaliknya kita menjadi super-egoistik. Kita selalu melarang dan menganggap bahwa mereka yang kita cintai adalah (hak) milik kita pribadi. Ini preseden yang menurut Stirner membuat kita menjadi tidak memiliki kesadaran pribadi yang matang. Cinta seharusnya equal, tidak dalam hirarki, tidak ada dominasi. Bagi Stirner perasaan dan ekspresi cinta adalah kondisional, dan kita seharusnya kita tidak usah terbebani ukuran-ukuran sosial tentang konsep cinta.


Nietzsche juga seorang filsuf eksistensialis, yang sangat mengagungkan pentinya kesadaran diri, memandang cinta sebagai hambatan untuk mencapai kesempurnaan diri. Bahkan baginya cinta dianggap perang mematikan antar jenis kelamin, yang memicu konflik ketegangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bentuknya demi ego "kekuasaan" masing-masing. Sadisme, masokisme, kekerasan, dan bahkan kegagalan kita mengenal diri sendiri merupakan buah kondisi cinta. Bagi Simon de Beauvoir, untuk bisa memahami cinta yang hakiki, kita harus mampu membebaskan diri kita dari berbagai tekanan dan penderitaan. Dan bagi para perempuan hal ini adalah amat penting.

Pandangan para agamawan dan teolog tentu amat berbeda dengan para filsif eksistensialis di atas. Cinta kasih, cintai musuh-musuhmu, cintai sesamamu, cintailah orang-orang miskin, dll adalah idiom-idiom "cinta" dalam konteks konsep dogmatis agama. Semua konsep ini, dalam pandangan para filsuf tadi, selalu dalam keadaan oposisi pada realitas kenyataannya. Itu sebabnya manusia sering dikatakan "bimbang" jika masuk kedalam situasi cinta. Cinta tidak mengenal logika, begitu kira-kira. Jadi cinta itu bukan sesuatu yang genuin ada dari dalam diri manusia. Yang genuin adalah emosi, amarah, rasa kasihan, hasrat memiliki, hasrat memberi, hasrat menerima, dll. Ketika campuran semua hasrat ini masuk dan berdialog dalam relasi hubungan sosial antara manusia dan kebudayaan, maka muncul "konsep cinta". Oleh karena itu, berbasis pada pikiran para filsuf itu, praktik-praktik cinta di dalam relasi manusia sering bercampur baur antara standard moral sosial, agama, dan hasrat insting manusia sebagai mahkluk mamalia. Itu sebabnya relasi cinta (tidak dalam dimensi seksis antar jenis kelamin saja), nampak selalu bimbang antar membebaskan tetapi ingin memiliki, mencoba mematuhi kesetaraan tetapi disisi lain terus saja mengawasi, memaafkan tetapi juga menuntut jangan diulangi lagi...dsb. Maka, mungkin, itu sebabnya mengapa tidak ada cinta yang sejati. Yang sesungguhnya ada adalah devosi untuk menjaga komitmen, baru cinta kemudian datang berikutnya.

* * *
Orang tua (ayah dan atau ibu), sebegitu miskinnnya dia dengan penghasilan atau pekerjaan tak menentu, insting genetiknya berupaya merealisasikan komitmennya untuk menyenangkan anaknya. Membelikan baju di pasar. Mengajak jajan di pinggir jalan... Tidak menjadi soal dari mana cara memperoleh uang bagi si miskin untuk menyenangkan sang anak. Karena bukan cara memperoleh uang yang terpenting dalam relasi ini, tetapi segera terwujudlah komitmen dirinya sebagai manusia ayah/ibu bagi sang anaknya. Memang kaum miskin pun mungkin pernah mengenal dogma "barang yang diperoleh secara tidak benar/dosa yang diberikan kepada anak, akan turut terbawa ketidakbenaran/dosa itu pada anak".

Saya cukup yakin, sangat banyak orang tua kalangan kaum miskin menilai dogma itu terlalu bombastis. Kapan saya mampu merealisasikan komitmen saya agar anak saya senang, kalau mengingat dogma itu! Melihat anak bahagia, dan oleh karena kebahagiaan itu si anak menjadi lebih bersemangat menjalani hidupnya setiap hari yang serba terbatas, merupakan kebahagiaan kecil yang tidak terbantahkan oleh dogma berbentuk apapun.  Bahkan tidak dengan ragu si orang tua menyebutnya "cinta kepada anak". Saya kira itu hak mereka. Hak yang hakiki, seperti juga orang tua-orang tua lain yang mungkin lebih punya uang dan berada. Cinta --katakanlah begitu-- adalah misteri, seperti juga cara dan jalan untuk mewujudkannya pun adalah misteri. Dan misteri adalah sangat private sifanya, terletak pada sejarah perjalanan hidup individu manusia masing-masing. Saya percaya tetap ada "kebahagiaan" pada dunia kaum miskin jika mereka meralisasikan komitmen-komitmen relasi semacam itu, sesederhana apapun dan entah dengan cara dan jalan manapun. 

Pada suatu kesempatan saya duduk-duduk bersama pemilik rumah kayu tua di daerah Gunungkidul yang kering. Rumah itu tidak kokoh lagi. Reyot di sana-sini. Oleh karena hawa yang masih panas sore itu, kami duduk di teras depan rumah menghadap pohon-pohon gersang tetapi angin bersemilir masuk. Pemilik rumah menceritakan betapa sulit mengharapkan uang rutin pada musim kering berkepanjang di Gunungkidul yang kering. Tidak setiap hari mereka pegang uang. Kecukupan makan harian harus disiasati sebegitu rupa dengan njimet kalau dipikirkan. Dan oleh karena itu hidup dari hari ke hari tidak mau mereka pikirkan dalam-dalam, alias berjalan saja seperti air mengalir. Anak mereka 3 orang, 1 SMA, dan 2 lagi duduk di SMP. 

Si ibu menyuguhkan teh tubruk. Tanpa gula! Juga rebus ketela yang diambil dari pekerangan mereka. Saya tidak mau mencoba membayangkan tadi pagi, tadi siang, dan nanti malam apa yang akan mereka makan. Hidup seakan sepi. Tidak ada dinamika sama sekali. Begitulah yang terjadi (mungkin) sudah bertahun-tahun ini. Saya memandang jauh ke pepohonan dan tampak langit mulai berwarna sedikit jingga. Sore semakin condong. Tampak sekali hidup mereka datar. Gembita tidak, susahnya mungkin lebih banyak yang dicoba ditekan sedemian rupa. Adakah cinta di kehidupan di rumah ini? Saya tidak tahu. Tetapi yang jelas komitmen pasti ada dan sedang terus mereka penuhi dan jalani satu sama lain, seberat apapun!

http://balicaringcommunity.org/made-jatu-keluarga-miskin-di-desa-angseri-tabanan.html

Saya mencoba menerka komitmen-komitmen itu: tetap ke ladang ada atau tidak ada yang ditanam, ada atau tidak ada yang dipanen; tetap mengambil air meski jauh dari rumah dan harus antri di pagi buta; tetap makan apa adanya yang bisa disediakan; jangan marah atau mengeluh kalau tidak punya ini itu karena memang itu kenyataannya; jangan membayangkan keinginan berlebihan karena semua tahu tidak mampu mewujudkannya; tetap melayani sang suami dan menghormati sang istri meski sama-sama lapar dan lelah; tetap menghormati orang tua dan saudara karena itu yang paling mudah bisa dilakukan; tetap mengikuti kegiatan sosial di tetangga; berangkatlah ke sekolah setiap hari semampunya; dll. 

Tidak adakah cinta sebagaimana dibahas banyak orang, dalam kehidupan yang saya ceritakan tadi? Saya tidak tahu. Sekali lagi tergantung pemaknaan apa itu cinta. Tetapi saya tahu banyak komitmen yang terus diperjuangkan oleh keluarga itu untuk tetap terjadi setiap hari. Mewujudkan komitmen seperti itu saja setiap hari mungkin saja membutuhkan perjuangan dan perjalanan yang berat. Tetapi saya percaya mereka, keluarga itu, adalah pejuang-pejuang cinta dalam pengertian yang mungkin sama sekali lain. Bukan cinta dalam pemaknaan konseptual, tetapi cinta dalam wujud aksi berbentuk menjaga komitmen, kesepakatan, dan kewajiban meski dalam keterbatasan dan berat.

Tidak usah mengajarkan dan berdiskusi tentang cinta! Wujudkan saja semampu kamu bisa. (666)