Tuesday, April 18, 2017

Measuring Indonesia Village Autonomy



Mengukur Kemandirian Desa

Oleh: Emil E. Elip


Pengantar
Desa yang mandiri adalah impian kita semua. Meskipun konsepsi utuh mengenai gambaran desa mandiri itu masih relatif “abu-abu”, namun dengan dikeluarkannya UU Desa No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dapat dijadikan tonggak adanya “niat” yang kuat memandirikan desa. Ternyata niat yang kuat saja tidak cukup, karena jelas sangat terlihat konsepsi kita memahami “desa” bersifat dualisme. Di satu sisi desa itu dipandang sebagai hanya masyarakat desa-nya saja dengan mengesampingkan pemerintah desa, dan disisi yang lain desa itu adalah pemerintah desa.

Diantara simpang siur tentang desa itu, paper ini hendak menyoroti gambaran yang selama ini ada mengenai kemandirian pemerintah desa, lebih khusus lagi pada aspek kemampuan atau kemandirian dukungan finansial desa yang bersumber dari pendapatan asli desa (PADes). Bagaimana kondisi PADes tersebut di desa-desa kita di Indonesia. Apa problematis realitas dan teoritis kemandirian pemerintah desa melalui kekuatan finansialnya itu? Lantas bagaimana kapasitas para aparat pemerintah desa jika ingin kita bahas melalui apa yang disebut “revolusi mental”? Mental seperti apa?

Paper kecil merupakan edisi penulisan ulang atas laporan saya untuk Direktorat Fasilitasi Keuangan dan Aset Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri khususnya di Subdit Fasilitasi Pendapatan dan Transfer Dana Desa. Segala hal substansi terkait dengan paper ini tentu menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya.

Benang Kusut Gamabaran Kemandirian Desa
Sebelum meninjau atau membedah lebih jauh mengenai “desa mandiri” ada baiknya kita mereview definisi dan kriteria apa yang pernah dibuat beberapa kementerian yang memiliki atau berkepentingan dengan program pengembangan desa, baik desa tertinggal maupun desa non tertinggal. Dari situ baru dapat kita usut bagaimana sebenarnya konsepsi kita tentang desa, desa yang mandiri, dan upaya untuk mengukurnya. Dengan kata lain ingin dipaparkan hal-hal yang bersifat teoritik dan konsepsi tentang desa dan pembangunan desa di Indonesia. Pembacaan sementara adalah bahwa konsepsi yang dipakai mengenai “potret desa” itu berbeda satu sama lain, karena memiliki (mungkin) kepentingan (program/proyek) yang berbeda, kepentingan politik anggaran yang berbeda, dan Tupoksi yang berbeda.
Desa Menurut Kemendesa PDTT
Website resmi KemendesaPDTT dengan jelas mencantumkan definisi suatu  daerah dikategorikan tertinggal. Pengertian Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. Faktor-faktor penyebab, antara lain:
1.    Geografis. Umumnya secara geografis relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/ pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi.
2.  Sumberdaya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumberdaya alam, atau memiliki sumberdaya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi.
3.    Sumberdaya Manusia. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang.
4.   Prasarana dan Sarana. Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.
5.     Daerah Terisolasi, Rawan Konflik dan Rawan Bencana.  Daerah tertinggal secara fisik lokasinya amat terisolasi, disamping itu seringnya suatu daerah mengalami konflik sosial bencana alam seperti gempa bumi, kekeringan dan banjir, dan dapat menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi.
Kondisi daerah tertinggal seperti dijelaskan di atas diukur dari 6 kriteria, 27 indikator, sebagai berikut:
  
26 kriteria dan 27 Indikator Daerah/Kabupaten Tertinggal
Kriteria Daerah dan Desa Tertinggal
Kriteria
Indikator
(1) Rendahnya perekonomian masyarakat
1)       Prosentase keluarga miskin tinggi
2)       Konsumsi per kapita rendah
(2) Rendahnya sumber daya manusia
3)       tingkat angka harapan hidup
4)       tingkat rata-rata lama sekolah
5)       tingkat angka melek huruf
(3) Rendahnya sarana dan prasarana (infrastruktur)
6)       jumlah jalan dengan permukaan terluas aspal/beton
7)        jalan diperkeras
8)        jalan tanah,
9)        jalan lainnya
10)     persentase pengguna listrik, telepon
11)     prosentase pengguna air bersih
12)     jumlah desa dengan pasar tanpa bangunan permanen
13)     jumlah prasarana kesehatan/1000 penduduk
14)     jumlah dokter/1000 penduduk
15)     jumlah SD-SMP/1000 penduduk
(4) Rendahnya kemampuan keuangan daerah
16)    Celah fiscal yang tinggi
(5) Rendahnya aksesibilitas
17)     rata-rata jarak dari desa ke kota kabupaten,
18)     jarak ke pelayanan pendidikan,
19)     jumlah desa dengan akses pelayanan kesehatan lebih besar dari 5 km
(6) karakteristik daerah
20)     persentase desa rawan gempa bumi,
21)     persentase desa  tanah longsor
22)     persentase desa banjir
23)     persentase desa bencana lainnya
24)     persentase desa di kawasan lindung
25)     persentase desa berlahan kritis
26)     persentase desa rawan konflik satu tahun terakhir
27)     persentase desa rawan pangan
 

RPJMN 2010-2014 pernah menetapkan klasifikasi kabupaten tertinggal tersebut menjadi 5 (lima) klasifikasi berdasarkan indeks ketertinggal, yaitu: Tidak Tertinggal/Maju, Agak Tertinggal, Tertinggal, Sangat Tertinggal, dan Teringgal Sangat Parah, dengan ukuran sebagai berikut:

Ukuran Nilai Indeks Dan Status Kabupaten Teringgal


No
Nilai Indeks
Status
01
Indeks < 0,000
Maju
02
0,000 < Indeks < 0,5000
Agak  Tertinggal
03
0,500 < Indeks < 1,000
Tertinggal
04
1,000 < Indeks < 2,000
Sangat tertinggal
05
Indeks > 2,000
Tertinggal sangat parah
Definisi Dari Pusat Kajian SMERU
Melanjutkan tradisi tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2005 Badan Pusat Statistik melakukan perhitungan idenks desa-desa tertinggal  dengan menggunakan 2 sumber data yaitu Potensi Desa Sensus Pertanian (Podes-SP) 2003 dan Susenas 2002, menerapkan 45 variabel ukuran dimana salah satunya dipakai variable pengeluaran per kapita penduduk menentukan tingkat kemiskinan.  Pusat kajian SMERU , pada tahun 2010 telah melakukan kajian pilot project untuk memetakan kemiskinan desa dengan menggunakan kategori indikator sebagai berikut:

§  Aset Alam, antara lain: berbagai kejadian bencana alam dan ketersediaan air minum yang aman.
§  Aset Finansial, antara lain: ketersediaan koperasi dan perbankan, akses kredit, dan kepemilikan aset.
§  Aset Fisik, antara lain: jumlah sekolah dan fasilitas kesehatan.
§  Aset Manusia, antara lain: angka partisipasi kasar dan jenis mata pencaharian.
§  Aset Sosial, antara lain: kejadian perkelahian massal dan lokasi berkumpulnya anak jalanan.
 Konsepsi Dari Kementerian PU-Cipta Karya
Kementerian PU-Cipta Karya (sekarang Kementerian PUPR) pernah melakukan kajian desa tertinggal dengan mendefinisikan desa tertinggal sebagai suatu wilayah Kawasan Perdesaan yang ketersediaan sarana dan prasarana dasar wilayahnya kurang/tidak ada (tertinggal) sehingga menghambat pertumbuhan/perkembangan kehidupan masyarakatnya dalam bidang ekonomi (kemiskinan) dan bidang pendidikan (keterbelakangan). Lebih lanjut definisi tersebut dilengkapi dengan tolok ukur sebagai berikut:



1. Kawasan Permukiman

Kriteria: Kawasan perdesaan  
Parameter: Unit Administratif Desa
2. Prasarana Dasar Wilayah

Kriteria: Jaringan Air Bersih
Parameter: Pelayanan terhadap Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Kriteria: Jaringan Listrik
Parameter: Pelayanan terhadap Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Kriteria: Jaringan Irigasi
Parameter: Pelayanan terhadap Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
3. Sarana Wilayah

Kriteria: Sarana Ekonomi (Pasar, Pertokoan, PKL, dll)
Parameter: Pelayanan terhadap Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Kriteria: Sarana Industri (Industri RT, Industri Menengah, Industri Besar)
Parameter: Pelayanan terhadap Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Kriteria: Sarana Kesehatan (RSD, Puskemas, Pustu, dll)
Parameter: Pelayanan terhadap Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Kriteria: Sarana Pendidikan (TK, SD, SMP, SMU)
Parameter: Pelayanan terhadap Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Kriteria: Sarana transportasi (Terminal, Stasiun)
Parameter: Pelayanan terhadap Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
4. Kondisi Kehidupan Masyarakat

Kriteria: Perekonomian masyarakat
Parameter: Jumlah Penduduk Miskin lebih dari (>) 50 %
Kriteria: Tingkat Pendidikan
Parameter: Tingkat Pendidikan Penduduk kurang dari (<) SMP lebih dari (>) 50%
Kriteria: Produktivitas Masyarakat
Parameter: Penduduk Menganggur lebih dari (>) 50%


Konsepsi dari IDM-Kemendesa PDTT 2015
Pada Oktober 2015 Kemendesa PDTT meluncurkan buku Indek Desa Membangun. Buku ini berbasis pada pengukuran-pengukuran kondisi kemiskinan dan ketertinggalan desa sebagaimana pernah dibuat pada tahun-tahun sebelumnya baik oleh BPS maupun Bappenas, namun disempurnakan dengan memberikan porsi yang cukup kuat ukuran-ukuran sosial, budaya, dan kondisi ekologi/lingkungan masyarakat desa seperti partisipasi pembangunan, inisiatif-inisiatif penguatan ekonomi, kekuatan-kekuatan modal sosial (social capital), dll. 

Variabel
Indikator
Kesehatan
1
Pelayanan kesehatan
1
Waktu Tempuh ke prasarana kesehatan < 30 meni



2
Tersedia tenaga kesehatan dokter, bidan, nakes dan lainnya

2
Keberdayaan masyrakat
3
Akses ke poskesdes, polindes dan posyandu



4
Tingkat aktivitas posyandu

3
Jaminan kesehatan
5
Tingkat kepesertaan BPJS
Pendidikan
4
Akses Pendidikan Dasar dan
Menengah
6
Akses ke Pendidikan Dasar SD/MI <3 KM



7
Akses ke SMP/MTS < 6 km



8
Akses ke SMU/SMK < 6 km

5
Akses Pendidikan Non Formal
9
Kegiatan pemberantasan buta aksara



10
Kegiatan PAUD



11
Kegiatan PKBM/Paket ABC

6
Akses ke Pengatahuan
12
Taman Bacaan Masyarakat atau Perpustakaan Desa
Modal Sosial
7
Memiliki Solidaritas Sosial
13
Kebiasaan gotong royong didesa




14
Keberadaan ruang publik terbuka bagi warga yg  tidak berbayar



15
Ketersediaan fasilitas/lapangan olahraga



16
Terdapat kelompok kegiatan olahraga

8
Toleransi
17
Warga desa terdiri dari beberapa suku/etnis



18
Warga desa berkomunikasi sehari-hari
menggunakan bahasa yg berbeda



19
Agama yang dianut sebagian besar warga di desa

9
Rasa aman penduduk
20
Warga desa membangun pemeliharaan poskamling lingkungan



21
Partisipasi warga mengadakan siskamling



22
Tingkat kejadian perkelahian massal di desa



23
Penyelesaian/perdamaian perkelahian massal yg
sering terjadi

10
Kesejahteraan sosial
24
Terdapat akses ke Sekolah Luar Biasa



25
Terdapat Penyandang Kesejahteraan Sosial (Anak
Jalanan, Pekerja Seks Komersial dan Pengemis)



26
Terdapat Penduduk yang bunuh diri
Permukiman
11
Akses ke Air Bersih dan Air Minum
Layak
27
Mayoritas penduduk desa memiliki sumber air
minum yang layak.



28
Akses Penduduk desa memiliki air untuk mandi dan
mencuci

12
Akses ke Sanitas
29
Mayoritas penduduk desa memiliki Jamban.



30
Terdapat  tempat pembuangan sampah.

13
Akses ke Listrik
31
Jumlah keluarga yang telah memiliki aliran listrik.

14
Akses Informasi dan Komunikasi
32
Penduduk desa memiliki telepon selular dan sinyal
yang kuat.



33
Terdapat siaran televisi lokal, nasional dan asing



34
Terdapat akses internet
Ketahanan ekonomi
15
Keragaman Produksi Masyarakat Desa
35
Terdapat lebih dari satu jenis kegiatan ekonomi penduduk

16
Tersedia Pusat Pelayanan
Perdagangan
36
Akses penduduk ke pusat perdagangan (pertokoan,
pasar permanen dan semi permanen)



37
Terdapat sektor perdagangan di permukiman (warung dan minimarket)

17
Akses Distribusi/Logistik
38
Terdapat kantor pos dan jasa logistik

18
Akses ke Lembaga Keuangan dan
Perkreditan
39
Tersedianya lembaga perbankan umum (Pemerintah dan Swasta)



40
Tersedianya BPR



41
Akses penduduk ke kredit

19
Lembaga ekonomi
42
Tersedianya lembaga ekonomi rakyat (koperasi)



43
Terdapat usaha kedai makanan, restoran, hotel dan penginapan

20
Keterbukaan wilayah
44
Terdapat moda transportasi umum (Transportasi Angkutan Umum, trayek reguler dan jam operasi
Angkutan Umum)



45
Jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor roda empat atau lebih (sepanjang tahun kecuali
musim hujan, kecuali saat tertentu)



46
Kualitas Jalan Desa (Jalan terluas di desa dengan aspal, kerikil, dan tanah)
Ekologi
21
Kualitas Lingkungan
47
da atau tidak adanya pencemaran air, tanah dan
udara



48
Terdapat sungai yg terkena limbah

22
Potensi/Rawan Bencana Alam
49
Pencemaran air, tanah dan udara



50
kejadian Bencana Alam (banjir, tanah longsong,  kebakaran hutan)



51
Upaya/Tindakan terhadap potensi bencana alam (Tanggap bencana, jalur evakuasi, peringatan dini dan ketersediaan peralatan penanganan bencana)



52
Upaya Antisipasi, Mitigasi bencana alam yg ada di desa

Konsep dari IPD-Bappenas 2014
Tahun 2014 Kementerian Bappenas mengembangkan IPD (Indeks Pembangunan Desa) berbasis pada data Podes 2014, dimana dikembangkan 5 dimensi, 12 variabel, dan 42 indikator. Kelima dimensi tersebut yaitu Pelayanan dasar (pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan), Kondisi infrastrutur (infrastruktur ekonomi, infrastruktur energi, infrastruktur air bersih dan sanitasi, infrastruktur komunikasi dan informasi), Aksesibilitas/transportasi (sarana transportasi, aksesibilitas transportasi), Pelayanan umum  (kesehatan masyarakat, olah raga), dan Penyelenggaraan pemerintahan (kualitas SDM kepala desa, kualitas SDM sekretaris desa).

Ulasan: “Pemerintah Desa” Yang  Terlupakan
Dari sekian banyak lembaga yang kita tampilkan di atas hanya Bappenas yang jelas mencantumkan pentingnya mengukur “pemerintahan desa”, sebagai bagian dari upaya kita mengukur dan menguji tentang desa, boleh saja kita katakan tentang potret kemandirian desa mau di desa terpencil, tertinggal, maupun non-tertinggal. Jadi terlihat benar, bahwa konsepsi kita atas desa tidak pernah utuh, tersegmentasi. Konsepsi atas desa “melayani” Tupoksi. Tupoksi adalah ranah kewajiban yang sangat fungsional, spasial, teritorial, segmentatif. Dengan demikian, akibatnya, jawaban atas “apa itu desa” tergantung dari sudut fungsional mana kamu akan menyentuhnya.

Alur logika pembangunan, apapun itu, yang sekuensial seperti ini pasti amat berbahaya. Saya ambil contoh lain misalnya. Kemandirian masyarakat bahari!! Bagaimana ini mau dipahami? Apakah pengertian dasar/konsepsi pertama-tama tentang “Masyarakat Bahari”, akan diserahkan satu-satu pada setiap lembaga yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat bahari. Lagi-lagi konsepsinya akan pasti berbeda, karena semua mengikuti Tupoksinya. Akhirnya ukuran kebijakan strategis, program starategis, kegiatan strategis, pasti akan berbeda. Jangan-jangan “sisip pikir” semacam inilah yang selama ini menjangkiti mengapa antas kementerian, antar sektor, antar badan teramat sulit bekerja sama.

Mengapa Bappenas punya pemikiran memasukkan unsur pemerintahan dalam pengukuran tentang desa apalagi kemandirian desa? Sebagai badan perencanaan nasional, dia sangat tahu bahwa pemikiran dan rumusan mereka mengenai pembangunan dan dimensi-dimensi yang ada di dalamnya tidak bisa terlalu segmentasi. Pemikirannya tentang hal ini harus komprehensif karena bertanggungjawab atas arah kebijakan perencanaan pada setiap kementerian. Tentu kemudian masing-masing kementerian, mengambil porsi kebijakan strategis sesuai Tupoksi kelembagaan masing-masing. Bappenas ketika merancang konsep pembangunan itu pasti tidak sendiri, namun melibatkan institusi/lembaga/badan yang terkait dengan dimensi pembangunan yang akan dibangun konsep dasarnya.

Kalau setiap kementerian lantas membangun konsep dasarnya sendiri, saya cukup yakin arah pembangunan menjadi tidak fokus. Memang kita sudah bekerja dengan sangat baik, tetapi jika fokus membangunan, road-mapp, renstra, ukuran, dibuat sendiri-sendiri, akhir sedikit yang tercapai dibanding seharusnya yang bisa diraih.

Sekilas Konsepsi PADes
Desa  saat ini memiliki kewenangan yang semakin luas dengan dikeluarkannya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Kewenagan tersebut meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Dalam upaya agar Pemerintah Desa lebih mampu menjalankan semua kewenangannya itu secara  optimal maka desa perlu memiliki sumber pembiayaan yang memadai. Oleh karena itu Desa diharapkan dapat  mengembangkan potensi-potensi lokal menjadi sumber PADes.  

Desa sesungguhnya memiliki berbagai potensi sumberdaya seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kekhasan serta keunikan budaya, tradisi dan teknologi (tradisional). Tidak sedikit desa-desa --dalam hal ini diterjemahkan sebagai pemerintah desa-- yang sudah membuktikan bahwa mereka memiliki aktivitas ekonomis seperti Desa Wisata (wisata budaya, wisata kerajinan, wisata alam, dll) yang berbasis keunikan budaya dan alam. Ada desa yang mampu mengembangan industri-industri kecil seperti kerajinan bambu, tenun, gerabah, konveksi, dan industri olahan makanan misalnya gula aren, olahan ketela, atau desa berbasis komiditi organik, dll. Semuanya ini tentu berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat desa itu sendiri dan Pendapatan Asli (pemerintah) Desa (PADesa).  

Salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan kemandirian daerah baik kabupaten dan desa, dan mengurangi ketergantungan fiscal terhadap pemerintah kabupaten atau pemerintah pusat. Kenyataannya ketergantungan fiscal itu semakin lama semakin dalam. Sejauh ini “relasi keuangan” antara Pusat dan kabupaten, dan kabupaten dengan desa, menunjukkan bahwa “transfer uang” dari level pemerintah di atas “mendominasi” sumber keuangan (pendapatan) kabupaten dan desa. Dalam konteks ketergantungan ini saja sudah menunjukkan bahwa kabupaten/desa adalah sub-government system dalam tatakelola negara sampai detik ini. Sementara di sisi lain, secara politik, yang terjadi adalah bahwa pimpinam kelapala daerah, kabupaten atau desa, adalah orang publik diusung partai, bukan lagi orang karir dalam pemerintahan.  

Peningkatan kemandirian desa melalui PADesa sangat erat kaitannya dengan kemampuan desa dalam menggali potensi-potensi dapat meningkatkan PADesa. Semakin tinggi kemampuan desa  menghasilkan PADesa secara optimal, maka semakin besar pula diskresi/keleluasaan desa untuk menggunakannya demi  pembangunan desa. Mempertimbangkan ruang lingkup PADesa sebagaimana dijelaskan di dalam Permendagri No. 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa, maka tersirat dengan jelas bahwa sumber dan potensi PADesa adalah cukup besar. Namun selama ini hanya sedikit sekali jenis dan bentuk usaha-usaha PADesa yang memiliki kontribusi pada pendapatan desa. Hal ini antara lain disebabkan karena kapasitas yang lemah dari aparatur desa dalam mengidentifikasi potensi desa dan menganalisisnya dalam bentuk perencanaan usaha PADesa,  kurangnya kemampuan dalam mengelola usaha potensi desa yang sudah ada, belum terintegrasi secara optimal perencanaan pengembangan PADesa ke dalam mekanisme dan dokumen perencanaan desa, dll.  

BUM Desa yang secara undang-undang sudah ditetapkan, yang implementasinya dikuatkan dengan Permendesa No. 4 Tahun 2014 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran BUM Desa, hanyalah salah satu bagian upaya untuk meningkatkan PADesa. Dalam konteks BUMDesa ini masih banyak persoalan yang masih diperdebatkan oleh berbagai kalangan baik akademisi, praktisi pemerintahan, LSM, dll, diantaranya persoalan: kelembagaan BUMDesa, status hukum BUMDesa, relasi keuntungan dan kepailitan BUMDesa dengan pemerintah desa, dll. Semua potensi desa baik SDA dan ekonomi desa, aset-aset desa, SDM dan tenaga kerja yang ada, potensi keunikan budaya, tradisi, kerajinan dan lain-lain seyogyanya dapat dikenali dengan baik oleh pemerintah desa. Semua potensi-potensi tersebut bisa dikategorikan sebagai kewenangan lokal berskala desa yang dapat ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, dengan selalu berkoordinasi kepada kementerian yang menyelenggaran urusan pembangunan desa, pembangunan kawasan perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat.  

PADesa merupakan salah satu komponen atau kelompok dari Pendapatan Desa, selain kelompok Transfer dan Pendapatan Lain-Lain.  PADesa terdiri atas (a) Hasil usaha desa; (b) Hasil aset desa; (c) Swadaya, partisipasi, dan gotong royong; serta (d) Lain-lain pendapatan asli desa. Baik PADesa maupuan Pendapatan Desa adalah bagian dari struktur dan mekanisme APBDesa yang harus disusun oleh Pemerintah Desa disetiap tahun anggaran berjalan, dipertanggungjawabkan, dan dimusyawarahkan dengan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Lebih jauh dijelaskan di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, bahwa salah satu kewenangan desa berdasarkan hak asal usul adalah kewenangan pengelolaan Tanah Kas Desa, sementara  kewenangan lokal berskala desa paling sedikit terdiri atas 11 kewenangan yaitu: (1) Pengelolaan tambatan perahu; (2) Pengelolaan pasar Desa; (3) Pengelolaan tempat pemandian umum; (4) Pengelolaan jaringan irigasi; (5) Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat Desa; (6) Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu; (7) Pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar; (8) Pengelolaan perpustakaan Desa dan taman bacaan; (9) Pengelolaan embung Desa; (10) Pengelolaan air minum berskala Desa; dan (11) Pembuatan jalan Desa antar permukiman ke wilayah pertanian. 

Kewenangan-kewenangan ini merupakan standing legal position yang dapat dipakai pemerintah desa mengeksplorasi sumber-sumber untuk PADesa. Pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota hendaknya melakukan identifikasi dan inventarisasi kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa dengan melibatkan masyarakat Desa. Berdasarkan hasil dari identifikasi dan inventarisasi tersebut, bupati/wali kota menetapkan peraturan bupati/wali kota tentang daftar kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa. Selanjutnya peraturan bupati/wali kota tersebut ditindaklanjuti oleh Pemerintah Desa dengan menetapkan peraturan Desa tentang kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa. 

Prinsip-prinsip pembagian atau pemilahan kewenangan untuk desa tersebut berlaku pula bagi desa adat sesuai kondisi, situasi, dan kebutuhan yang ada. Kewenagan-kewenangan yang dimiliki oleh desa tersebut merupakan peluang bagi desa untuk mengupayakan secara maksimal dan berkelanjutan sumber-sumber potensi dan aset yang ada menjadi PADesa. Selama ini potensi dan kewenangan yang ada terkait PADesa belum dieksplorasi, dirancang dalam perencanaan desa, serta dikembangkan dan dikelola secara maksimal.

Jenis-Jenis Sumber PADesa
Penerimaan Desa adalah uang yang berasal dari seluruh pendapatan desa, termasuk pendapatan asli desa, yang masuk ke APBDesa melalui rekening kas desa. Terdapat 7 (tujuah) sumber/kelompok Pendapatan Desa, yaitu:
1.  Pendapatan Asli Desa (PADesa);
2.  Dana Desa,  yang bersumber dari Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
3.  Bagian dari  hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota (Paling sedikit 10%  dari pajak dan retribusi daerah);
4.  Alokasi Dana Desa (ADD) yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
5.  Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
6.   Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
7.  Lain-lain Pendapatan Desa yang sah,  misalnya Kerja sama dengan pihak ke tiga; Bantuan perusahaan/CSR.
Dalam hal tentang kelompok PADesa  sebagai salah satu sumber Pendapatan Desa maka dapat digambarkan secara lebih terperinci sebagai berikut:
 Jenis-Jenis Pendapatan Asli Desa
No
Jenis Pendapatan Desa
Keterangan
1
Hasil usaha desa
Hasil usaha desa antara lain dari:
a)    Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik desa/badan usaha milik desa (BUM Desa)
b)    Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaana/badan usaha milik daerah
c)    Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaana/badan usaha milik swasta atau kelompok usaha masyarakat
d)    Lain-lain usaha desa yang sah
2
Hasil aset desa
Hasil dari pemanfaatan aset dan atau kekayaan desa yang berupa:
a)    Tambatan perahu,
b)    Pasar desa,
c)    Pasar hewan,
d)    Tempat pemandian umum,
e)    Jaringan irigasi,
f)     Tanah kas Desa,
g)    Obyek Rekreasi/Wisata yang dikelola Desa,
h)    Tempat pelelangan ikan yang dikelola desa,
i)     Perairan dalam batas tertentu yang diurus desa, dan
j)     Aset lainnya milik desa
3
Swadaya, partisipasi, dan gotong royong
Swadaya, partisipasi dan gotong royong,  adalah membangun dengan kekuatan sendiri yang melibatkan peran serta masyarakat  berupa tenaga dan atau barang yang dinilai dengan uang.
4
Lain-lain pendapatan asli Desa
Lain-lain pendapatan asli desa antara lain:
a)    Hasil pungutan desa,
b)    Hasil penjualan kekayaan desa,
c)    Jasa giro/pendapatan bunga,
d)    Penerimaan komisi/potongan apapun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan, dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh desa;
e)    Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan
Sumber: Dihimpun dari berbagai sumber antara lain UU No. 6/2014 tentang Desa, Permendagri No. 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, dll.
         
Terkait dengan hasil Aset Desa dan Kekayaan Desa maka dapat dijelaskan beberapa ketentuan sebagai berikut:
1)  Aset Desa berskala lokal desa, atau yang didalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Aset Desa disebut dengan Kekayaan Asli Desa, dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, pemandian umum, perairan batas tertentu yang diurus desa , dan aset lainnya milik desa.
2)  Aset lainnya milik desa tersebut di atas antara lain berupa:
a)  Kekayaan Desa yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
b)   Kekayaan Desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
c)   Kekayaan Desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d)   Hasil kerja sama desa; dan
e)   Kekayaan Desa yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
3)  Kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah berskala lokal desa yang ada di desa dapat dihibahkan kepemilikannya kepada desa.
4)  Kekayaan milik desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa.
5) Kekayaan dan aset milik Desa yang berskala lokal desa yang diambil alih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dikembalikan kepada Desa, kecuali yang sudah digunakan untuk fasilitas umum.

 
Metode Pengumpulan Data

Data-data yang dikumpulkan dalam upaya mereview kondisi PADesa yang digambarkan melalui paper ini, tidak dikumpulkan dalam rangka suatu kajian khusus, namun melalui kegiatan perjalanan dinas supervisi ke daerah-daerah pada periode April-Mei 2016 dan Agustus 2016. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu pengumpulan Data Sekunder di level kabupaten dan level desa. Data level kabupaten yang dikumpulkan, yaitu: a) Peraturan Bupati mengenai tata cara pembagian dan penerapan rincian Dana setiap Desa; b) Peraturan Daerah mengenai APBD tahun berjalan; c) Peraturan Bupati mengenai kewenangan lokal berskala desa; d) Peraturan Bupati mengenai Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa; e) Peraturab Bupati dan atau Perda yang terkait dengan upaya pengembangan dan peningkatan PA Desa. Data sekunder tingkat desa yang dikumpulkan, yaitu: a) APBDesa Tahun 2016, 2015, dan 2014; b) RPJMDesa terbaru; c) Perdes penetapan kewenangan lokal berskala desa; d) Perdes pengelolaan aset-aset desa; e) Perdes pengadaan barang/jasa tingkat desa; dan f) Perdes lain terkait dengan peningkatan PADesa. Juga dilakukan wawancara menggunakan kuesioner serta penelusuran APBDesa melalui internet.


Kondisi Data Yang Diperoleh

Sebagaimana sudah banyak diketahui bahwa ketersediaan dan kelengkapan data, terutama data berupa dokumen, di desa-desa adalah sesuatu yang cukup memprihatinkan, begitu pula yang dihadapi atau dihasilkan dalam kegiatan ini. Gambaran tentang kondisi data yang diperoleh dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1)  Selama T.A. 2016 dengan SDM unit kerja dan anggaran yang ada, hanya mampu dilakukan kunjungan lapangan monitoring-supervisi di 27 desa, 13 kabupaten, 8 provinsi.

(2) Data utama resmi untuk melihat sumber Pendapatan Desa dan sumber PADes ini adalah dokumen APBDesa, yang awalnya diharapkan tersedia dokumen APBDes dari tahun 2014, 2015, dan 2016. Realitas dilapangan bahwa data yang tersedia secara relative mudah diperoleh adalah hanya APBDes tahun 2015 dan 2016, itu pun tidak di semua desa sudah ada;

(3)  Dari target untuk mendapatkan dokumen APBDes 2015 dan 2016 itu, tidak semua desa mampu menyediaakan data 2 tahun berturut-turut. Oleh karena itu data yang diperoleh cukup beragam periodesasinya, dimana ada beberapa desa bisa diperoleh APBDes untuk 2 tahun (2015 dan 2016), tetapi tidak sedikit pula desa yang hanya mampu menyediakan data satu tahun anggaran saja yaitu hanya APBDes 2015 saja atau hanya APBDes 2016 saja;

(4) Data dan informasi penunjang yang terkait dengan gambaran desa dan sejauh mana pembangunan sudah dilakukan di desa yaitu dari RPJMDesa terbaru, RKP Desa 2015 dan 2016, dan dokumen Peraturan Desa lainnya yang terkait dengan PADesa, misalnya Perda tentang kewenangan desa, Perda tentang pungutan desa, Perda tentang penataan aset desa, dll.  Kondisi dari daa-data tersebut juga sama dengan data APBDesa.
 

Profil Desa-Desa Sasaran Supervisi
Sampai dengan September 2016 desa dan kabupaten yang sudah dikunjungi sebanyak  27 desa di  15 kabupaten, 8 Provinsi.  Empat provinsi tersebut akhirnya tidak dapat terkunjungi oleh karena adanya kebijakan efisiensi.

List Daerah Yang Disupervisi TA.  2016
Provinsi Prioritas
Kabupaten Terkunjungi
Jumlah Desa
Jawa Barat
Garut, Kuningan, Cianjur Cirebon
5
Jawa Tengah
Kendal, Batang
4
Sumatera Selatan
OKI, OI
3
Kalimantan Selatan
Banjar, Tanah Laut
2
Kalimantan Barat
Pontianak, Kubu Raya
2
Sulawesi Selatan
Gowa, Takalar
4
NTT
Kupang
2
Papua
Merauke
5

8 provinsi, 15 kabupaten
27 desa
Penelusuran Internet

DIY
Bantul-Desa ….
1
Jawa Tengah
Jepara – Desa Tulakan
1

Cilacap – Desa Cimrutu
1

Ditambah dengan data-data sekunder yang dikumpulkan melalui penuluran internet terhadap website daerah kabuaten dan atau desa yang memuat informasi mengenai APBDes, maka junmlah desa yang dianalisa bertambah menjadi 10 Provinsi (tambah DIY dan NTT), 15 kabupaten, dan 30 desa. Dari 30 desa yang dikaji (baik melalui kunjungan Monev maupun data sekunder internet), terdapat 6 Desa maju (20%), 22 Desa berkembang (73%), dan 2 desa tertinggal (7%) menurut ukuran IPD (Indeks Pembangunan Desa) yang dipakai oleh BAPPENAS.

Tidak semua desa terkunjungi adalah  dengan topografi dataran dan dataran tinggi. Sebagian dari desa-desa tersebut adalah desa bertopografi desa pantai dan atau desa DAS (Daerah Aliran Sungai) yang berkarakter rawa-rawa. Desa-desa tersebut jumlahnya 4 desa, yaitu: desa pantai yaitu Desa Tulakan (Donorojo, Jepara), desa aliran DAS yaitu Desa Cimrutu (Kab. Cilacap), desa pantai Desa Gondang (Kec. Cepiring, Kendal), dan Desa Kalukubodo (Kab. Takalar)
Lokasi-lokasi desa yang menjadi sasaran kunjungan supervisi PADesa TA. 2016 ini dapat dikatakan sudah merepresentasikan wilayah yang cukup maju seperti di Jawa dan Sumatera, serta wilayah-wilayah lain di Indonesia Bagian Tengah maupun Timur, serta baik wilayah dataran maupun wilayah pantai dan DAS.



Gambaran Hasil Besaran PADesa


Permendagri No. 690.900.327 Tahun 1994 memberikan rujukan bahwa tingkat kemandirian sebuah desa dapat diukur dengan menggunakan Rasio Kemandirian Desa = PADesa/Dana Non PADesa, dimana hasilnya yaitu: Rendah Sekali 0 s/d. 25%; Rendah 25 s/d 50%; Sedang 50 s/d 75%; dan Tinggi 75 s/d 100%. Berlandaskan pada rumusan Rasio Kemandirian Desa tersebut maka bisa diperoleh gambaran bahwa dari 19 desa sasaran Monev TA. 2015 yang memiliki dokumen RAPBDes TA. 2015 sebagai berikut:

Berdasarkan gambaran tabel di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:

(1)     Sebagian besar desa dari 19 desa yang disupervisi memiliki PADesa rendah dengan Tingkat Kemandirian Desa “Rendah Sekali” dengan sumber penghasilan PADesa antara Rp. 0 sampai Rp. 12 Juta atau Rp. 20 Juta;

(2)     Hanya sekitar 11% yaitu 2 desa saja dari 19 desa supervisi  yang bisa dikategorikan dengan Tingkat Kemandiairan “Rendah” dengan PADesa antara Rp. 250 Juta sampai sekitar Rp. 1,1 M;

(3)     Hanya terdapat 1 desa atau 5% yang bisa dikatakan cukup mandiri, itupun masih dalam kategori Tingkat Kemandirian Desa “Sedang”, dimana desa ini memiliki PADesa mencapai Rp. 1.645.448.263,- atau sekitar 68,74% dari Pendapatan Desa-nya;

(4)   Desa-desa yang dikategorikan sebagai Desa Maju, nampaknya tidak dengan sendirinya memiliki PADesa yang cukup tinggi dan seluruhnya dapat dikategorikan dengan Tingkat Kemandirian Desa yang cukup baik. Di dalam kelompok Desa Maju masih ada desa dengan Tingkat Kemandirian Desa yang Rendah Sekali;

(5)    Begitu pula di desa-desa yang dikategorikan sebagai Desa Berkembang, masih sangat banyak desa-desa ini memiliki Tingkat Kemandirian Desa yang sangat rendah dengan PADesa mulai dari Rp. 0 sampai dengan sekitar Rp. 108 Juta.

Profil PADesa di Region Jawa
Pembagian Region tersebut adalah (1) Region Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), (3) Region Sumatera (untuk sementara hanya Sumatera Selatan),  (4) Region Kalimantan, dan (5) Region Sulawesi, NTT, dan Papua.

Gamabaran PADesa di desa-desa di Jawa diambil dari 8 desa yang tersebar di Jawa Barat dan Jawa Tengah, dimana 3 diantaranya diperoleh dari penelusuran internet dan 5 lainnya hasil kunjungan Monev. Seluruh desa tersebut adalah desa berkembang dan 3 diantaranya adalah desa maju yaitu Desa Gondang, Desa Gadok, dan Desa Maniskidul.


Rata-rata desa di Jawa memiliki PADesa yang cukup baik dimana secara keseluruhan mencapai rata-rata 21,15% terhadap Pendapatan Desa. Hanya di Desa Gadok (Cianjur, Jawa Barat) yang PADesa-nya hanya mencapai 1,85%  atau Rp. 20.350.000,- dari Pendapatan Desa. Beberapa desa yang tingkat PADesa-nya relative cukup tinggi lebih dari 10% yaitu Desa Maniskidul (Kab. Kuningan-Jabar), Desa Gondang (Kab. Kendal-Jateng), dan Desa Panggungharjo (Kab. Bantul-DIY).

Beberapa pembejalaran yang dapat dipetik dari pengelolaan PADesa di Region Jawa ini adalah:
(1)     Rata-rata desa di Jawa mengenal “tanah hak milik desa” yang berupa tanah “pelungguh” atau sebutan lain yaitu sebidang tanah yang diberikan sebagai hak guna pakai kepada perangkat desa selama mereka masih menjabat. Ada pula dikenal Tanah Kas Desa atau sebutan lain, yaitu sebidang tanah yang dapat disewa-sewakan kepada masyarakat yang membutuhakan. Tanah-tanah ini di Jawa, merupakan salah satu sumber PADesa, yang umumnya disewakan kepada masyarakat;
(2)       Berdasarkan dokumen APBDes yang ada, di Jawa, pembukuan dan pengelolaan hasil dari sumber-sumber Tanah Kas Desa, Aset dan Kekayaan Desa, serta Lain-lain sumber PADesa, relative tercatat dengan baik meskipun setiap desa memiliki cara pencatatan dalam APBDes secara berbeda;
(3)     Dalam administrasi pencatatan hasil PADesa, di Jawa jauh lebih tertib dan tercatat dengan baik meskipun jenis dan bentuk PADesa dari masing-masing desa bisa berbeda-beda.

Profil PADesa Region Sumatera (Sumatera Selatan)

Gamabaran PADesa di desa-desa di wilayah ini diambil dari 5 desa di Kabupaten Organ Ilir (OI) dan  Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI),  dengan gambaran kondisi PADesa sebagai berikut:

(1)   Begitu kontras perbandingan besaran antara Pendapatan Desa dengan PADesa. Di OI  rata-rata Pendapatan Desa mencapai Rp. 262.290.600 sementara rata-rata PADesa hanya Rp. 3.515.500 atau hanya 0,73%. Kondisi yang sama terjadi pula di OKI dimana rata-rata PADesa hanya 0,16% dari Pendapatan Desa.

(2)   Rata-rata Pendapatan Desa (Dana Desa, ADD, Bagi hasil retribusi dan pajak daerah)  di OKI jauh lebih besar yang masuk ke desa-desa, sehingga meskipun rata-rata PADes cukup tinggi dibanding OI, tetapi terlihat sangat kecil jika dibanding Pendapatan Desa-nya.

(3)   Di desa-desa yang dikategorikan Berkembang (B) seperti Muara Baru, Batun Batu, dan Terusan laut di Kab. OKI, PADes mereka tetap jauh dibawah 10%.

Profil PADesa Region Kalimantan (KalSel dan Kalbar)
Di Wilayah Kalimantan, selama TA. 2016 hanya mampu dikunjungi sebanyak 4 desa di 3 provinsi yang dikunjungi, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Namun kunjungan di Kalimantan Tengah pada Maret 2016 tidak sampai ke desa. Adapun gambaran PADesa dari 4 desa yang ada sebagai berikut:

(1)   Jumlah besaran PADesa di desa-desa region Kalimantan bisa dikatakan lebih baik di banding desa-desa di region Sumatera/Sumatera Selatan. Oleh karena itu prosentasi PADesa di Kalimantan ini relatif lebih baik dan menunjukkan rata-rata 8,88%.

(2)   Desa Rasau Jaya Umum dan Rasau Jaya II di kab. Kubu Raya Kalimantan Barat mencapai PADesa diatas 10% meskipun besaran PADesanya hanya Rp. 42.000.000 dan Rp. 45.200.000 per tahun. Namun karena Pendapatan Desa dari dana transfer hanya kecil maka nilai prosentase PADesa tersebut menjadi nampak besar.

Profil PADesa Region Sulawesi dan NTT
Gambaran mengenai wilayah Timur Indonesia tentang PADesa untuk sementara hanya diambil dari wilayah Sulawesi dan NTT, karena wilayah Malaku belum sempat terkunjungi di TA. 2016 sementara dari wilayah Papua khususnya Kab. Merauku yang sudah dikujungi data APBDes yang diperoleh tidak terdokumentasi nilai PADesanya. Dari 5 desa yang datanya diperoleh cukup lengkap, gambaran PADesa adalah sebagai berikut:

(1)   Dari 5 desa tersebut 4 desa adalah desa berkembang dan 1 desa yaitu desa Kalukubodo (kab. Takalar) adalah desa tertinggal.

(2)   Rata-rata Pendapatan Desa mencapai Rp. 751.575.956, dimana yang tertinggi mencapai Rp. 1.083.964.500 adalah desa Mata air-NTT.

(3)   Rata-rata PADes mencapai Rp. 6.629.778 atau sekitar 0,81% dari Pendapatan Desa.



Kendala Pengembangan PADesa
(1)       Lemahnya leadership dan kurangnya kapasitas, wawasan, serta motivasi kepala desa dan perangkat desa untuk menggali potensi yang ada di desa dan menganalisanya secara lebih tepat melalui metode “kelayakan dan perancanaan usaha”, yang dilakukan bersama masyarakat. Banyak desa sesungguhnya memiliki potensi tetapi karena didiamkan saja maka tidak menghasilkan apa-apa. Sementara banyak pula desa yang bahkan terletak ditempat pegunungan yang kering, mampu membangkitkan sebuah usaha yang bermanfaat bagi pemerintah desa (PADesa)  dan masyarakat.

(2)       Banyak aset dan kekayaan desa belum terkodifikasi dan tercatat secara baik menurut peraturan perundangan yang berlaku. Akibatnya desa tidak memiliki acuan hukum apakah hasil dari pengusahaan aset tersebut wajib dilaporkan melalui mekanisme rekening Kas Desa dan tercantum dalam APBDesa atau tidak. Ada kasus-kasus dimana hasil dari aset dan kekayaan desa yang dikelola tidak melalui mekanisme Rekening Kas Desa dan tidak diperhitungkan dalam dokumen APBDesa.

(3)       Sebagian besar kabupaten belum mengeluarkan Perda tentang penetapan pengelolaan aset mengenai mana aset-aset yang harus dikelola Pemda kabupaten dan mana aset-aset yang bisa dan boleh dikelola desa sesuai hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa. Belum adanya perda tentang hal ini salah satunya membuat pemerintah desa ragu-ragu untuk mengelola aset dan kekayaan yang ada di desa karena berbenturan dengan aturan pajak dan retribusi daerah.

(4)       Sosialisasi peraturan menteri dalam negeri tentang keuangan desa dan pengelolaan aset desa belum banyak dipahami oleh aparatur kabupaten apalagi aparatur desa. Percepatan distribusi dan sosialisasi mengenai peraturan tersebut harus dilakukan lebih masif dan cepat, dan dilakukan monitoring, evaluasi dan bimbingan yang lebih agresif kepada Pemda-pemda untuk menerbitkan peraturan serupa yang sesuai dengan konteks lokal.



P e n u t u p

(1)       Kriteria tentang Desa Maju, Desa Berkembang, dan Desa Tertinggal tidak bisa dipakai sepenuhnya untuk mengukur atau mengindikasikan bahwa desa tersebut memiliki PADesa yang tinggi, sedang, dan kurang. Di desa-desa yang dikategorikan Maju dan Berkembang, banyak pula yang PADesanya dibawah 10% dari Pendapatan Desa. Jika dipakai ukuran bahwa prosentasi dari Pendapatan Desa (Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Dana bagi hasil pajak dan retribusi daerah, dan Dana bantuan APBD  kabupaten dan provinsi) maka data menunjukkan 90% lebih dari 30 desa yang di monitoring adalah dibawah 10% dari Pendapatan Desa. Pada tahun-tahun mendatang prosentasi yang rendah itu akan nampak semakin rendah karena sangat besar kemungkinannya transfer Dana Desa akan semakin besar.

(2)       Kondisi yang tidak maching atau tidak cocok dari sudut gambaran data ini membuktikan “tidak sinkronnya” konsepsi tentang desa dan konsepsi tentang desa mandiri pada institusi pemerintah. Misalnya saja Desan Mandiri menurut Kemendagri adalah salah satunya jika PADesa mencapai di atas 10% dari Pendapatan Desa.  Jika pada tahun-tahun mendatang setiap desa akan mendapatkan kucuran dana Transfer Dana Desa lebih dari Rp. 500 juta bahkan Rp. 1 M Rupiah, maka angka kemandirian desa melalui PADesa di atas 10% akan sulit dicapai. Kalaupun tercapai tidak lebih dari 10% desa-desa di Indonesia yang mampu mencapai kondisi tersebut.

(3)       Konsepsi lain yang perlu dipikirkan dan dikritisi demi kebaikan adalah, jika Transfer Dana Desa terus menerus meningkat besarannya setiap tahun, bahkan ke desa-desa yang PADesa-nya bisa mencapai Rp. 1,25 M keatas, maka perlu kita mempertanyakan diri kita apa konsepsi kita tentang Desa Mandiri. Ataukah kita sudah terjebak pada peraturan perundangan yang sudah kita buat, jika menurunkan dana tranfer ke desa yang maju kita takut diprotes oleh desa bersangkutan dan tidak memiliki jawaban logis teoritis tentang konsep Kemandirian Desa.

(4)       Pengelolaan dan pencatatan aset dan kekayaan desa di sebagian besar dari 30 desa sasaran adalah kurang memadai yang disebabkan karena kurangnya kapasitas dan pemahaman dari para aparatur desa. Ada beberapa dampak yang kurang positif dari kondisi tersebut, antara lain (a) Hasil dari aset dan kekayaan desa yang tetap diusahakan oleh desa tidak tercatat secara disiplin melalui mekanisme Rekening Kas Desa dan tidak terdokumentasi dalam APBDesa; (b) Tidak tercatat secara pasti hak kepemilikan dari aset-aset dan kekayaan yang ada di desa.

(5)       Lemahnya atau kurangnya kapasitas, wawasan, serta motivasi kepala desa dan perangkat desa untuk menggali potensi yang ada di desa dan menganalisanya secara lebih tepat melalui metode “kelayakan dan perancanaan usaha”, yang dilakukan bersama masyarakat.   

(6)       Belum ada pedoman yang bisa dipakai oleh perangkat kabupaten maupun perangkat desa sebagai guideline secara umum sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, untuk memulai, melakukan inisiatif, atau mengembangkan potensi desa menjadi sumber PADesa. Sangat dirasakan bahwa upaya pengembangan PADesa sangat terkait secara logis dengan pencatatan dan pengelolaan aset dan keuangan desa.

(7)       Tidak menutupi kenyataan bahwa sudah banyak desa-desa yang mampu mengembangkan potensi lokal menjadi sangat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat maupun peningkatan finansial desa secara mandiri melalui PADesa. Desa-desa tersebut misalnya Desa Manis kidul (Kuningan), Desa Tiwingan lama (Kab. Banjar), Desa Kalukubodo (Sulawesi Selatan), atau jika ditelesuri dari sumber-sumber lain adalah seperti desa-desa di Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Sleman, dan masih banyak lagi. Jika ditinjau dalam konteks bahwa sebagian besar desa Indonesia belum terdukung dengan sistem pengelolaan keuangan desa yang baik, pencatatan aset desa secara memadai, peraturan pendukung dari kabupaten yang memadai, maka desa-desa yang sudah mengembangkan potensi lokalnya sebagaimana dijelaskan diatas, memiliki inisiatif yang jauh lebih penting serta jauh lebih berguna asalkan dilandasi dengan pelaksanaan yang akuntabel, transparan, dan diputuskan bersama di dalam musyawarah desa.

(8)       Kepemimpinan atau leadership yang kuat dari kepala desa terbukti masih menjadi salah satu kunci keberhasilan desa memulai segala upaya pembangunan desa, termasuk inisiatif untuk menggali dan mengembangkan potensi lokal menjadi potensi PADesa. Kepemimpinan yang kuat semacam ini pasti akan membentuk tim perangkat/aparatur desa yang solid pula, begitupun akan muncul dukungan yang positif dari kelembagaan desa yang lain seperti BPD dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa.



Terus maju membangun desa: secara bersama-sama! (666)



[versi lengkap artikel ini lihat Emil E. Elip on Scribd]




[1] Peraturan menteri Dalam negeri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.


[1] Sumber: Ukuran Penetapan Kabupaten Tertinggal Dalam RPJMN 2010-2014 (https:hanibalhamidi. files. wordpress.com)



[1] Sampai dengan akhir tahun 2014 Indeks Daerah Tertinggal yang pernah dirumuskan oleh BPS nasional ini dipakai oleh berbagai instansi pemerintah seperti Bappenas dan juga KPDT untuk menilai kabupaten maupun desa tertinggal.