Wednesday, April 19, 2017

A Village With Incridible Local Financial Sources



Desa Maniskidul:

Contoh Desa Mengelola Penghasilan Desa

Dengan Sangat Baik!

Oleh: Emil E. Elip

Sejak jaman penjajahan Belanda, desa ini boleh dikata sudah independen dan memiliki otonomi yang kuat. Masyarakat desa ini sangat menyadari bahwa mereka memiliki aset-aset yang luar biasa di desa mereka sebagai peninggalan nenek moyang mereka. Inilah Desa Maniskidul, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Mereka berani bernegosiasi dengan Pemerintah Daerah dalam berbisnis. Penghasilan desa, yaitu Penghasilan Asli Desa, kini lebih dari Rp. 1,5 M per tahun. Dikelola dengan manajemen baik, transparan, melalui lelang terbuka.


* * * Desa ini persis terletak dipunggung perbukitan pegunungan Ceremai di Kabupaten Kuningan. Luas desa ini sekitar 137, 21 Ha dengan total jumlah penduduk 6.505 jiwa. Ketika memasuki areal desa ini, kita sudah merasakan kesejukan dan disuguhi landcape desa yang indah. Sejarah wilayah Maniskidul, yang dulunya bernama Desa Manis, dimulai pada masa-masa awal kerajaan Cirebon dan Panembahan Gunungjati, serta sejaman dengan Kerajaan Medangkamulan (570 M) di Ciamis. Diceritakan bahwa di Desa Manis ini ketika itu dipimpin oleh seorang pangeran namanya Pangeran Manis, yang masih memiliki garis keturunan dari Sunan Gunungjati.


Beberapa peninggalan berupa situs sejarah di Desa Maniskidul, nampaknya berawal dari masa-masa sejarah sebagai manadigambarkan di atas. Misalnya saja situs Pemandian Cibulan. Nama Cibulan itu diperkirakan merupakan penanda perkawinan antara Kebo Wulan dengan Pwah Aspari Jabung, yang ketika perkawinan itu dilaksanakan dirayakan dengan menggelar upacara adat Kawin Cai. Upara ini masih berlangsung hingga kini.

Pemandian Cibulan yang selalu ramai

Seesungguhnya tidak hanya Pemandian Cibulan saja yang ada di Maniskidul, masih ada beberapa wisatu situs lain yang asal muasalnya masih sama dengan munculnya Pemandian Cibulan, misalnya situs tentang Tujuh Sumber Keramat. Semua wisata situs yang berbasis air ini dibalut dengan cerita sejarah dan mitos munculnya kerajaan-kerajaan kuni di sekitar Cirebon dan Kabupaten Kuningan. Misalnya saja bahwa di Pemandian Cibulan hidup ikan-ikan dewa (Tor Douronensis) yang konon diceritakan merupakan jelmaan dari pengikut atau balatentara Prabu Siliwangi. Ikan-ikan ini dilarang ditangkap, apalagi dikonsumsi. 


Jadi sejak sebelum jaman penjajahan Belanda dan jaman pergerakan kemerdekaan RI, Pemandian Cibulan di Desa Maniskidul sudah merupakan tujuan berkumpulnya masyarakat untuk upacara adat, melaksanakan tirakat atau samadi, atau sekedar rekreasi di desa ini. Secara resmi pemandian ini diresmikan menjadi obyek wisata pada Agustus 1939 oleh Bupati Kuningan waktu itu R.A.A. Mobhamad Rachmad. tahun Air yang keluar dari sumber air pemandian ini mengalir hampir ke sebagian besar sawah-sawah di wilayah Kuningan. 

* * *

Pada era Orde Baru potensi ini pernah diminta oleh Pemda Kab. Kuningan untuk diklaim dan dikelola Pemda, dan masyarakat menolak secara tegas dengan alasan bahwa mereka secara turun temurun telah mengelola aset-aset tempat-tempat obyek wisata air tersebut sejak jaman nenek moyang mereka. Jika ditilik menurut Permendagri No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Aset Desa, maka jelas bahwa situs-situs dan pemandian Cibulan masuk dalam kategori aset desa berskala lokal desa yang dalam hal ini dibawah kekuatan kewenangan lokal berskala desa.



Belakangan sekitar 3-5 tahun yang lalu, sumber air dan pemandian Cibulan dikelola oleh desa secara relatif profesional dimana dikembangkan wisata pemandian, wisata permainan air, tempat penjualan souvenir, pengelolaan parkir, bahkan sekarang desa sedang membuat gedung pertemuan yang dapat disewakan untuk umum, dll. Menurut catatan APBDesa Tahun 2015 tercatat bahwa Pendapatan Asli Desa Desa Maninskidul mencapai Rp. 1.645.448.263,- Jumlah ini lebih bedar dari Transfer Dana Desa yang masuk ke desa ini yang sebesar Rp. 632.986.000,-. Berikut catatan mengenai Pendapatan Aseli Desa yang diambil dari APBDesa Cibulan Tahun 2015 dan 2016:


APBDesa TA. 2015
APBDesa TA. 2016
Uraian
Anggaran (Rp.)
Anggaran (Rp.)
Pendapatan Asli Desa
1.645.448.263
1.347.635.000
Hasil usaha
(ada 7 sumber hasil desa)
1.252.580.000
772.635.000
Swadaya, partisipasi, gotong-royong (ada 5 jenis dalam kelompok ini)
183.991.700
394.000.000
Lain-lain PADesa yang sah
(ada 12 jenis lain-lain pendapatan desa yang sah)
208.876.563
181.000.000


Pengalaman saya berkeliling ke desa-desa di Indonesia, hanya desa-desa di Jawa yang memiliki catatan APBDesa yang lengkap seperti ini. Itu pun tidak semua desa di Jawa tertib dalam melaksanakan administrasi keuangan desa yang bisa dilacak dalam cara mereka mencatat keluar masuknya uang dalam APBDesa. Kondisi desa-desa di luar Jawa jauh lebih memprihatinkan dalam hal administrasi APBDesa ini. Ada desa-desa yang ketika diwawancara menceritakan adanya penghasilan pemerintah desa dari berbagai sumber, namun ketika dicek di dalam APBDesa-nya tidak ada catatan-catatan mengenai hal itu.

* * *
Saya sangat beruntung bisa berkunjung ke Desa Maninskidul pada Mei 2016 dalam rangka kegiatan supervisi desa khusus terkait Transfer Dana Desa dan Pendapatan Asli Desa, bersama tim dari Direktorat Fasilitasi Keuangan dan Aset Pemerintahan Desa-Kemendagri. Lagi-lagi akhirnya saya berksimpulan bahwa mungkin 60% keberhasilan pembangunan desa khususnya pada tatakelola pemerintahan desa, tergantung pada leadership sang Kepala Desa. Memang pendapat ini tampak klise, tetapi itulah yang terjadi hampir diseluruh desa di Indonesia: "tergantung sang pemimpinnya bagaimana!!". 


Upacara adat Kawin Cai. Masih dilakukan hingga kini

Memang negara kita sudah memasuki era demokratisasi dan tatakelola pemerintahan yang modern. Pelayanan publik yang baik, termasuk di desa, harus berbasis pada kemampuan pejabat publiknya (perangkat desa). Memang begitu terorinya sejak jaman Plato dan Socrates menuliskan teorinya tentang "republik" dan "demokrasi" sampai sekarang. Namun ketika teori-teori itu berjumpa dengan tatacara kebudayaan lokal menata dan mengorganisir masyarakat, maka menjadi relatif abu-abu teori-teori itu. Sebagian besar Indonesia, masyarakatnya masih memakai mind-set primus-interpares, siapa kuat dia memimpin. Sang primus adalah ketua adat, juga ketua komunitas/organisasi masyarakat, kata-katanya bak mirip titah raja. Jadi kalau mendapatkan primus yang baik, maka sejahtera aman sentosalah masyarakatnya. Namun jika mendapat primus yang lalim dan jahat, maka masyarakat,  menjadi masa mengambang, masyarakat bisu, yang penting selamat.


Beruntung Desa Maniskidul, katakanlah mendapatkan primus-primus yang baik yang duduk di jajaran perangkat desa. Desa ini memiliki performa pengelolaan sumber-sumber PADesa yang transparan, leadership kepala desa yang baik, perangkat desa dan kelembagaan desa lainnya yang solid, PADesa Desa Maniskidul telah mencapai 1 M lebih, dan kegiatan-kegiatan bantuan pendidikan untuk anak miskin, santunan untuk janda, serta pengobatan gratis sudah dikembangkan.

* * *
Saya sangat berharap Desa Maniskidul dapat menjadi tujuan bagi kepala desa dan perangkat desa lain untuk belajar langsung di lokasi, tentang tatapemerintahan yang baik, pengelolaan keuangan desa, pengelolaan BUMDesa, dll. Memberikan pelatihan/pendidikan kepada para perangkat desa di hotel-hotel, dan diisi oleh para pembicara dari kementerian yang isinya cuma pemaparan tentang kebijakan dan perundang-undangan, sudah tidak tepat lagi. Kementerian lebih baik berperan memfasilitasi agar "masyarakat" belajar dari "masyarakat".

Desa Maniskidul, sungguh merupakan potret desa yang mandiri. (666)