KRONIKA INDONESIA TIMUR:
“Perahu...Hidup Kami Semua”
Oleh: Emil E. Elip
Jika Anda sering
bepergian ke wilayah-wilayah di Indonesia bagian Timur, dan sesekali mejelajah
daerah-daerah seperti NTT, Kepulauan Ambon, Kepulauan Kei, sampai Maluku bagian Utara, dll barulah kita menyadari dan
merasakan bahwa kita adalah bangsa bahari. Semuanya tampak biru. Birunya
perairan laut yang lebih luas dari daratan. Di atas hamparan laut biru yang
maha luas itu, kita akan merasakan ketergantungan kita pada ada atau tidaknya
“perahu” dan dermaga. Jika akses terhadap perahu sangat terbatas maka bisa dikatakan 60% hidup masyarakat di
Indonesia Timur berhenti!!
***
![]() |
Dermaga speed-boat Duha-Duha pada pagi buta |
Pukul 6.00 pagi WIT
saya sudah harus berada di dermaga Duha-Duha, sebuah pelabuhan kecil di Pulau
Ternate, Provinsi Maluku Utara. Sesungguhnya kalau bisa lebih pagi lebih baik
sebab bisa mendapatkan speed-boat pertama atau kedua. Jika saya tiba di
pelabuhan itu pukul 7.00 atau 8.00, antrian untuk dapat speed-boat sudah begitu
panjang. Matahari belum muncul. Pagi
masih diselimuti kabut biru kehitam-hitaman. Antrian ternyata sudah cukup panjang,
didominasi para pegawai PNS dan pedagang, anak-anak sekolah, dan lain-lain.
Setelah antri sebanyak 3 speed-boat, baru saya mendapatkan giliran naik
speed-boat berikutnya. “Beginilah kami
setiap hari Bapak...ini kita beruntung hari tidak hujan”, kata seorang ibu
disamping saya dan penumpang lain disekitar saya, seakan mereka tahu bahwa saya
bukan orang Ternate. Mungkin gesture tubuh saya dan kebingungan saya
tidak bisa saya tutupi.
Saya menerawang ke
hamparan pucuk-pucuk ombak biru yang naik turun cukup tinggi. Maklum saya
berkesempatan bertandang ke wilayah Provinsi Maluku Utara pada Oktober 2016,
bulan dimana arus dan ombak air laut cukup deras dan keras. Sesekali cipratan
hempas air laut masuk ke perahu, membangunkan para penumpang yang mulai tunduk
terkantuk-kantuk. Ibu disamping saya, yang ternyata seorang PNS di Pemda Kab. Halmahera
Barat, sudah tertidur pulas. Nampaknya setiap hari dia harus bangun teramat
pagi, mempersiapkan keperluan rumah untuk anak-anaknya, kemudian bergegas ke
dermaga Duha-Duha agar datang tidak terlambat di kantor di kota Jailolo.
***
Provinsi Maluku
Utara semula merupakan Kabupaten Maluku Utara, namun kemudian menjadi Provinsi
Maluku pada Oktober 1999,
yang terbagi atas 8 kabupaten dan 2 kota yaitu kota Ternate dan kota Tidore
Kepulaun. Provinsi ini mencakup 1.474 pulau. Hanya 89 pulau yang berpenghuni.
Total jumlah penduduk 1.308.087 orang dengan kepadatan yang masih sangat longgar
yaitu 32 orang/Km2. Kondisi jalan
adalah sebagai berikut: Baik sepanjang 4 km; Sedang sepanjang 56,3 km; Rusak ringan
sepanjang 112,7 km; Rusak berat sepanjang 474 km; dan Belum ditembus
sepanjang 310,4 km.
![]() |
Perairan Selat Ternate yang indah dan sibuk. Tampak kota Ternate |
Sejak terjadi
pemekaran itu, terjadi pula pembagian dan mutasi PNS yang disebar ke seluruh
kabupaten/kota yang terbentuk akibat pemekaran provinsi. Itu sebabnya tidak
sedikit PNS yang tinggal di Pulau Ternate bekerja di wilayah Kab. Halmahera
Barat, begitu pula sebaliknya dan ini terjadi di kabupaten/kota lain juga. Arus
penyebarangan para PNS ini akan kita lihat pada sore hari lagi sekitar pukul
16.00 – 18.00 di jalur yang sama.
Dunia perekonomian
masyarakat Maluku Utara adalah pertanian dan perikanan laut. Kekayaan komoditi
utama bidang pertanian antara lain Pala, Cengkeh, Kakao, dan Kelapa. Sementara masyarakat pesisir di
dominasi komoditi ikan tangkap nelayan tradisional. Nampaknya supplay bahan
pangan berbasis pertanian di beberapa kabupaten di provinsi tersebut tidak
mampu memenuhi tingkat kebutuhan konsumsi masyarakat. Itu sebabnya beberapa kabupaten
ini dinyatakan memiliki tingkat kerawanan pangan yang perlu diperhatikan.
Supplay kebutuhan beberapa jenis makanan pokok seperti beras dan sayuran,
ternyata harus didatangkan dari wilayah Sulawesi, Sulawesi Utara atau Suawesi
Selatan. Tentu saja harga beberapa bahan makanan ini menjadi relatif cukup
tinggi.
Jika kita mau
cermati lebih mendalam dari sudut kebudayaan, khususnya kebudayaan bertani,
maka perlu disadari bahwa masyarakat di provinsi Maluku Utara berbasis pada
budaya bertani perkebunan, pala, kelapa, kakao, dan atau cengkeh. Pola budaya
teknologi pertaniaan perkebunan bersifat tahunan, tidak bekerja dengan jadual
ketat harian atau mingguan. Pada musim-musim longgar waktu, di dalam pola
perkebunan mereka, mereka mengisi waktu dengan bekerja sebagai tukang kayu,
tukang batu, nelayan/menangkap ikan, atau kerja serabutan lain di kota
terdekat.
Saya sangat
beruntung berkesampatan mengunjungi beberapa kabupaten di provinsi ini secara
berkala sejak September, Oktober, dan November 2016 dengan membantu sebuah
kajian tentang pengembangan sektor pertanian siklus pendek untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat dan mengurangi kerawanan pangan, yang digagas oleh
Kementerian Pertanian.
Kelompok jenis pertanian siklus pendek yaitu padi, jagung, sayur-mayur, bawang,
umbi-umbian, dll yang berumur pendek. Semua jenis tanaman ini adalah pola
budaya pertanian yang ratusan tahun sudah dikenal di Jawa, dan relatif baru
dikenal oleh masyarakat Maluku Utara. Jika perkembangan budaya pertanian jenis
ini boleh kita bagi 3 tahap, yaitu Basic, Develop, dan Advance, maka masyarakat
Maluku Utara boleh dikata baru bergerak di tingkat basic pada umumnya dan
sebagian sudah menuju develop.
Sebagai sebuah kerja
“kebudayaan”, sesungguhnya tidak bisa di push
atau didorong begitu cepat untuk segera dapat berubah cepat mengadopsi
kapasitas pertanian sebagaimana sudah terjadi di Jawa dewasa ini. Relasi masyarakat
Maluku Utara dengan tanah adalah relasi yang masih sangat “longgar”. Sementara
relasi semacm ini di Jawa sudah sangat “tertekan”, amat inten, tidak boleh
sejengkal pun tanah tidak termanfaatkan dalam sekuen ruang maupun waktu. Maka
sosialisasi kapasitas teknis pertanian hendaknya dilakukan tahap demi tahap. Pengorganisasian
budaya bertani dan budaya pasca panen, harus didampingi dengan sabar namun
melekat. Lebih penting lagi membuka cakrawala dan jejaring pemasaran hasil
panen pertanian siklus pendek, harus merangkul dan menjadi concern semua pihak. Dan di dalam aktivitas pemasaran komoditi itu,
apalagi ini komoditi siklus pendek dengan resiko kerusakan tinggi, maka
infrastruktur pasar, transportasi, dan moda konektivitas antar wilayah harus
pada kondisi relatif baik. Ini gayung bersambut dengan harapan Bapak Jokowi,
membangun toll-laut, membuka luas konektivitas, dan menyediakan lebih banyak
akses transportasi.
***
![]() |
Pelabuhan Jailolo, Kab. Halmahera Barat |
Alhamdullilah...program
pengembangan pertanian siklus pendek itu telah mampu memberikan dasar pijakan
yang relatif kuat dalam arah yang benar, meskipun pengembangan pembangunannya
perlu terus didampingi.
Program ini secara konsepsi adalah baik, memiliki relasi logic dengan agenda
Nawacita dan prioritas-prioritas Bapak Jokowi. Saya yakin kalau program ini
masih diberi kesempatan sampai masa akhir jabatan Bapak Jokowi, masyarakat
Maluku Utara akan cukup cepat terhindar dari kerawanan pangan bahkan mampu
memberi peluang penghasilan dari pemasaran komoditas pertanian siklus pendek.
Pemasaran komoditas ini harus mendapatkan perhatian pemerintah, sebab bisnis
bahan pangan menyangkut kepentingan masyarakat banyak ini harus dikendalikan
oleh pemerintah agar harganya tidak fluktuatif baik dari sudut kebutuhan
saprodi pertanian dan juga harga jual produk komoditas.
Bagi saya memperluas
akses transportasi dan konektivitas antar wilayah tetap harus dijaga agar efek
ekonomisnya menguntungkan rakyat kebanyakan. Jangan sampai pembangunan jenis
ini akhir hanya “orang berduit atau pemodal” yang mampu memanfaatkannya untuk
mengakumulasi keuntungan, sementara rakyat kebanyakan tetap tidak bergerak
secara tingkat kesejahteraan ekonomi. Barang harus bergerak cepat. Namun dia
tetap terkendali. Semua level masyarakat mampu mengambil tingkat keuntungan
sesuai peran masing-masing.
***
Saya harus menyebar
kuesioner untuk keperluan kajian itu ke seluruh kabupaten di Maluku Utara.
Tidak mungkin saya lakukan dengan tim saya yang hanya 2 orang karena butuh
waktu lebih lama. Saya disarankan untuk berposisi di Ternate, lalu
kusioner-kuesioner itu dikirim via speed-boat ke seluruh kabupaten yang penting
alamat kontak di daerah cukup jelas. Barang kuesioner itu akan bergerak via
speed-boat saja sampai atau speed-boat dan sedikit jalan darat. Jika beruntung,
saran dari beberapa orang itu, sore Alhamdullilah sudah bisa ditangan kontak
yang Anda miliki dan besok paginya sudah bisa disebar oleh enumerator. Begitu
simpel orang-orang itu menyarankan. Tetap saja saya khawatir karena resiko
pergerakan kuesioner itu --lewat laut lewat darat tanpa khawalan-- tetap nyata
didepan mata saya. Tetapi tidak ada pilihan lain, dan saya mau mencoba percaya
kepada intuisi lokal ini. Gila!!! Ternyata relatif berjalan dengan lancar.
Ibu-ibu dan
bapak-bapak PNS yang bersama saya di speed-boat, minimal harus mengeluarkan
uang Rp. 150.000,- untuk memenuhi tugasnya sebagai pegawai setiap hari. Biaya
pp speed-boat Duha-Duha (Ternate) ke Jailolo (Kab. Halmahera Barat) Rp.
100.000, naik angkot pp dari pelabuhan ke kantor dan makan siang katakan Rp.
50.000,. Biaya sebulan untuk ini saja bisa kita perkirakan cukup besar. Jika
biaya komoditas-komoditas pangan sehari-hari seperti beras, sayuran, cabai,
gula, bahan lauk-pauk, dll tidak bisa ditekan menjadi murah oleh sebab sarana
transportasi yang mahal, maka betapa berat hidup mereka. Hidup yang berat ini
masih harus dibebani oleh jarak laut yang luas untuk dapat mengontrol dan
mengetahui bagaimana anak-anak mereka yang sedang bersekolah.
![]() |
Pelabuhan kapal besar Kota Ternate |
Memang hidup harus
terus bergerak. Tetapi penjelasan saya di atas yang nampaknya lebih berupa
kekhawatiran-kekhawatiran, mungkin dilatarbelakangi oleh karena saya berasal
dari budaya daratan dengan insfrastruktur transportasi relatif mapan. Mungkin
ini berbeda dengan saudara-saudara kita di Maluku Utara, yang hidup dari basis
budaya lautan dengan moda transportasi terbatas serta beresiko tinggi. Mungkin
hati mereka menjadi lebih tegar. Para perempuan menjadi pengantre speed-boat di
dermaga dibarisan paling depan ketika sore hari saatnya pulang kantor. Terbaca
di gesture tubuh mereka bahwa mereka ingin segera bisa tiba di rumah. Untuk apa
kalau tidak untuk bertemu dengan anak-anak mereka yang sudah mereka tinggal
kerja sejak pagi buta. Mereka harus rela berdesak-desak dengan para pedagang
dan barang-barang dagangannya di dalam speed-boat.
Sore hari antara
pukul 16.00 sampai 18.00 adalah waktunya air laut mulai pasang. Saya merasakan
speed-boat berjalan relatif berat dibanding tadi pagi ketika menyeberang ke
Jailolo. Air laut nampak menjadi lebih banyak, berat, dan tinggi. Angin bertiup
lebih kencang. Dalam deraan ketergesa-gesaan itu saya melihat ada speed-boat
yang menyediakan pelampung merah, tetapi ada banyak juga speed-boat tidak
menyediakan pelampung. Sore itu menjelang mahrib, saya termasuk duduk
berdesak-desakan di dalam speed-boat yang tidak menyediakan pelampung. “Kalau
menunggu kapal yang ada pelampungnya, jam berapa saya bisa sampai rumah!!”,
kata beberapa bapak dan ibu menyahut bersama ketika saya memberanikan diri
bertanya mengapa kapal ini tidak menyediakan pelampung. Saya marah dalam hati!!
Tetapi saya juga kagum tanpa alasan dengan situasi dan orang-orang ini.
![]() | |
Pantai dan laut tetaplah tempat rekreasi favorit masyarakat Ternate |
Sampai di dermaga
Duha-Duha Ternate lampu-lampu tepi dermaga dan warung sudah menyala. Tanda
waktu sudah lewat mahrib. Ojek dan angkot sudah berjubel menunggu. Entah
mengapa saya ingin menikmati situasi dermaga sedikit lebih lama sambil
menyeruput kopi. Angin terus menerpa kencang... dan arus speed-boat silih
berganti merapat penuh penumpang laki-laki maupun perempuan. Ada yang
berpelampung dan ada juga tidak menyediakan pelampung. Bagaimana kalau ini
semua pada musim hujan?! Kepastian keselamatan nampak sudah tidak penting lagi
sore itu, bahkan sore sore lain sebelumnya... Secepat mungkin tiba dirumah dan
berkumpul dengan keluarga mungkin menjadi amat jauh lebih penting melampaui
logika keselamatan perjalanan laut...
Begitulah Indonesia
Timur, yang berusaha terus bergerak menuju lebih baik.
Itu pasti. (666)