Wednesday, April 12, 2017

Cronicle: Resevoir Village Tourism Which Move On



KRONIKA DESA TERTINGGAL:
Desa Pinggir Waduk Yang Bergerak

Oleh: Emil E. Elip


Sekitar 13 tahun yang lalu masyarakat desa ini tidak ada yang berani bermimpi bahwa desanya akan lebih makmur dan dikunjungi banyak orang untuk berwisata di tepi waduk.  Tidak ada yang mengira bahwa desa Tiwingan lama (Kec. Aranio, Kab. Banjar, Kalimantan Selatan), yang terletak agak dipedalaman ini, akan menjadi desa wisata yang dikunjungi banyak orang serta memiliki PADesa (Pendapatan Asli Desa) yang cukup banyak dan berkembang berbagai kegiatan yang dapat mendukung penghasilan penduduknya. 

 
Dibelakang salah satu warung, menghadap danau


Saya beruntung memiliki kesempatan untuk mengunjungi desa ini pada Mei 2016 ketika saya membantu Direktorat Fasilitasi Keuangan dan Aset Pemerintahan Desa, Ditjen Pemerintahan Desa, Kemendagri, untuk melakukan monitoring dan evaluasi PADesa. Desa Tiwingan lama yang sekarang merupakan desa relokasi karena desa lama ditenggelamkan untuk kebutuhan waduk pengairan dan pembangkit tenaga listri wilayah Kab. Banjar.  Jadinya desa ini sekarang adalah desa tepi waduk/bendungan dan memiliki tempat yang asri serta indah karena berada di salah satu taman nasional dan perhutani.

Leadership pembangunan yang tulus
Adalah  seorang kepala desa yang baru yang melihat potensi yang ada dan ingin keluar dari kesulitan-kesulitan pembangunan karena kondisi sebagai desa relokasi. Bisa dibayangkan betapa beratnya gerakan dan semangat yang dimiliki untuk mengajak masyarakat relokasi untuk “bergerak”. Psikologi masyarakat relokasi umumnya adalah psikologi yang mandeg, enggan melangkah, terjerembab dalam semangat “sudah begini sajalah, yang penting masih bisa cari makan”.  

Ide yang ingin dikembangkan oleh sang kepala desa itu adalah “desa wisata” tepi waduk. Ide itu awalnya ditentang banyak pihak karena dianggap memungkinkan munculnya “tempat mesum”. Maklum masyarakat Banjar adalah masyarakat yang memiliki tinkat religiusitas Muslim yang mendalam. Kepala desa berjanji bahwa hal itu akan diatasi dengan baik. Rupa-rupanya masyarakat desa mampu menangkap ide yang memiliki harapan itu. Di sisi lain, nampaknya masyarakat juga menangkat sinyal energi positif yang tulus dan terus disosialisasikan oleh sang kepala desa.

View yg cukup apik. Dibelakang sana terdapat home-stay
Maka kemudian muncullah rumah makan-rumah makan tepi waduk, penyewaan perahu-perahu wisata, jalan-jalan akses ke lokasi diperbaiki, kemudian berkembang tempat pelelangan ikan, dan kemudian muncul dimana masyarakat mulai membangun home-stay. Meskipun saat ini hasil PADesa belum mencapai 10% dari Pendapatan Desa, kepala desa optimis bahwa penghasilan PADesa akan terus meningkat karena pungutan terhadap obyek-obyek wisata sudah di Perdeskan. Hebatnya lagi, sebagian dari PADesa tersebut sudah dialokasikan untuk menyantuni janda-janda miskin dan anak-anak yang keluarganya merasa sulit membiayai biayai sekolah.

Kini Desa Tiwingan Lama memiliki sumber-sumber penghasilan dari (a) Penjualan tiket perahu wisata waduk/danau; (b) Retribusi parkir para pengunjung lokasi wisata; (c) Retribusi Tempat Penjuatan Ikan. Sementara masyarakat memiliki peluang usaha seperti membuka warung dan restoran tepi danau, membuka home-stay, memandu tracking naik bukit disekitar desa, dll. Hasilnya memang belum maksimal, tetapi banyak rencana yang ingin dikembangkan ke depan.


Profil PADesa di Region Kalimantan (Kalsel dan Kalbar)
 
 

 Sumber: Data APBDes 2015 dari desa-desa yang di monitoring dan evaluasi (laporan)
 
Pendapatan Desa adalah semua pemasukan berupa uang ke rekening Kas Desa, yang sebagian besar didominasi oleh Transfer Dana Desa (APBN Pusat), Pembagian Pajak dan Retribusi Daerah (APBD Provinsi dan atau Kabupaten), Dana Bantuan lain dari kabupaten dan provinsi, serta dana bantuan pihak ke tiga yang sah. Sementara PADesa, pada prinsipnya, adalah dana penghasilan yang diusahakan sendiri atas inisiatif pemerintah desa dan atau bersama masyarakat, dengan memanfaatkan aset dan kekayaan desa, atau sumber-sumber dana transfer yang ada sejauh sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 
Sebagai sebuah desa terpencil, apa yang sudah dilakukan desa ini boleh diacungi jempol sementara desa lain dengan pendapatan dana transfer dari pusat dan daerah yang lebih besar, tidak mampu membuat apa-apa demi perkembangan kemandirian desa. Membangun kepala desa memiliki leadership matang dan mumpuni nampaknya menjadi jauh lebih urgent, apalagi untuk desa tertinggal dan terpencil. Menggelontorkan banyak uang ke desa bukan satu-satunya jaminan desa menjadi memiliki inisiatif. Melesetnya...bisa-bisa malah menimbulkan para "pencuri" dan "koruptor" yang ampuh di desa. 

Kepemerintahan sederhana, tapi bekerja!
Mungkin bisa Anda bayangkan, tidak banyak orang berpendidikan tinggi di Desa Tiwingan Lama yang jauh dari kota kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan ini. Ya, itu benar. Kehidupan ekonomi yang belum lama stabil, bekas desa relokasi, jauh di tengah Taman Nasional, membuat mereka sulit mendapatkan akses pendidikan. Rata-rata perangkat desa masih muda usia, hanyalah lulusan SMP dan SMA. Sang kepala desa relatif sudah tua, dan mungkin hanya lulusan SMP.

Saya kini relatif percaya, bahwa untuk ukuran level desa yang terpencil seperti desa Tiwingan Lama, pendidikan menjadi nomor ke sekian jika dikaitkan kebutuhan untuk perangkat desa. Ketulusan dan mau bekerja keras, entah hanya lulusan SMA, itu sudah sangat cukup. Ini sudah dibuktikan oleh perangkat desa Tiwingan Lama yang rata-rata masih sangat muda. Dalam kepemimpinn/leadership kepala desa yang baik, anak-anak muda ini bekerja dengan dedikasi tinggi. Semua demi membangun desa. 

Desa mereka sendiri. (666)