Apresiasi Atas Toleransi di Indonesia
Oleh: Emil E. Elip
Saya
hampir tidak percaya jika dikatakan bahwa bangunan rasa toleransi di
Indonesia akhir-akhir ini retak. Apalagi retak parah hampir pecah.
Selama lebih dari 12 tahun terakhir saya keluar masuk hampir diseluruh
wilayah Indonesia, entah dalam rangka membantu kegiatan lembaga sosial
atau kegiatan-kegiatan dari institusi pemerintah seperti Kementerian
Daerah Tertinggal (sekerang Kemendesa PDTT), Kemendagri, BNPB, Kementan,
dll. Mulai dari Jayapura, Wamena, seluruh kabupaten di Kupang, Sulawesi
Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Tengah, Selatan, seluruh
Jawa, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, bahkan saya yang
Katolik ini pernah menjelajah Aceh di pusat-pusat komunitas Muslim
paling dalam seperti Lhokseumawe, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar, Kab.
Bener Meriah dan Aceh Tengah, serta Kota Banda Aceh. Saya ingin katakan,
bukan saja karena (mungkin) saya pandai membawakan diri di seluruh
masyarakat yang saya pernah hidup tadi, tetapi tentu saja saya percaya
"ada sebuah ruang terbuka" di hati para masyarakat itu untuk menerima
kehadiran orang/masyarakat lain diluar adat, kebiasaan, dan religiusitas
mereka. Saya amat percaya itu.
Saya terkadang terperanjat.
Terkejut campur penasaran. Oleh karena ketidaktahuan saya (yang mungkin
tulus) atas adat, kebiasaan setempat sehari-hari, atau aturan-aturan
dalam adat religiusitas mereka, kesalahan-kesalahan saya malah justru
"ditertawakan", menjadi lelucon bagi mereka. Saya ditertawakan, tetapi
kemudian diberitahu jangan begini atau begitu, sebaiknya begini....
Tidak ada amarah pertama kali yang muncul dalam masyarakat itu. Mereka
ternyata punya hati "reserve" untuk sesungguhnya memaafkan atas orang
lain yang tidak tahu. Saya selama bergaul di berbagai komunitas dan institusi
pemerintah di Aceh, kadang tidak melakukan salam seperti kebiasaan saudara Muslim
kalau membuka diskusi atau rapat, tetapi saya kadang mengutip salam
saudara-saudara saya yang Muslim. Dan tokoh agama, tokoh pemerintahan
daerah, serta rekan-rekan saya di Aceh tidak membenci apalagi marah
terhadap saya. Semua ini karena mereka tahu saya seorang Katolik, non
Muslim. Tapi bagi saya jelas tidak sampai hati pada diri mereka mengatakan
bahwa saya "kafir". Kalau mereka menganggap saya kafir, pasti sejak
beberapa bulan saya di Aceh, saya sudah disuruh pergi dari Aceh.
Yang
hendak saya katakan adalah bahwa, meskipun sebagian besar masyarakat
Indonesia adalah Muslim dan disekitar lingkungan mereka secara mereka
sadari pasti ada yang non-Muslim. Saudara-saudara Muslim adalah
orang-orang bersahaja dalam meyakini religiusitas mereka dan oleh karena
itu "tidak beringas" atas apapun perbedaan yang ada. Ketika tiba
waktunya hari Jum'at, dimana sahabat-sahabat Muslim harus Sholat di
Masjid, saya sering terpaksa beristirahat diwarung karena perjalanan
pulang ke kantor saya masih jauh. Saya pikir lebih baik duduk di warung
dari pada berkeliaran di jalanan yang pasti amat sepi karena semua orang
Sholat di Masjid. Saya non-muslim dibelantara hutan masyarakat Muslim.
Si empunya warung tidak mengusir saya. Justru dia bertanya "Bapak
Non-Muslim?". Bapak duduk di sini saja, tidak apa-apa, justru saya titip
warung saya. Kemudian si empunya warung menutup pintu warung dengan
korden. Tentu orang lain di luar warung tahu bahwa di dalam masih ada
orang jajan. Dan sepertinya semua orang paham bahwa ada non-muslim
sedang jajan di warung itu. Saya tidak takut atau resah sedikit pun,
seakan-akan saya tahu persis bahwa pasti tidak akan terjadi "hukum
rajam" kepada saya. Setelah Sholat Jum'at selesai, warung kembali penuh
orang yang jajan sesuai menunaikan Sholat. Orang-orang yang saya temui
tadi di warung sebelum Jum'atan pun datang lagi...mereka senyum-senyum
saja kepada saya, bahkan satu dua mulai mengajak saya bicara dari mana,
ada keperluan apa, apa kerjanya, sudah lamakah di Aceh, di Aceh tinggal
di mana, sudah berkeluarga atau belum.....dll.
Setelah saya pulang
ke Jawa, semua kenangan di Aceh kira-kira lebih 10 tahun silam masih
membekas di hati saya. Bekas kenangan kehidupan yang harmonis, indah,
penuh rasa saling pengertian (toleran). Saya membayangkan hal seperti
ini pula yang saya harapkan diperoleh oleh orang-orang asing yang pernah
hidup di indonesia, entah sebagai guru, pelancong biasa, expatriat,
dll...membawa kenangan mosaik indah kehidupan toleransi yang hakiki. Dan
saya yakin itu mereka dapatkan juga mengingat tidak sedikit orang asing
yang kembali lagi ke Indonesia, untuk sekedar melancong, bekerja lagi,
atau bahkan menetap di Indonesia dan berbuat sesuatu yang mulia bagi
masyarakat Indonesia. Saya ingin tunjukkan contoh yang menurut saya
paling bagus, yaitu kiprah Ibu Robin Liem
pendiri Yayasan Bumi Sehat di Bali.
Contoh lain kehidupan toleransi itu bisa di lihat dalam pelaksanaan upacara arak-arakan Samanasanta di Larantuka Flores. Upara ini adalah upacara tradisi Katolik di wilayah ini yang sudah berlangsung ratusan tahun. Upacara itu adalah upacara prosesi patung Bunda Maria yang biasanya berlangsung berhari-hari, dikunjungi tidak saja umat dari sekitar NTT, tetapi hampir seluruh Indonesia, dan manca negara yang merayakannya. Uniknya ... ketika upacara itu dilaksanakan saudara-saudara Muslim ikut berpartisipasi untuk menjaga kemanan dan kelancaran jalannya prosesi itu. Kalau begitu maka partisipasi toleransi itu pasti sudah berjalan pula berpuluh-puluh satun.
Contoh lain kehidupan toleransi itu bisa di lihat dalam pelaksanaan upacara arak-arakan Samanasanta di Larantuka Flores. Upara ini adalah upacara tradisi Katolik di wilayah ini yang sudah berlangsung ratusan tahun. Upacara itu adalah upacara prosesi patung Bunda Maria yang biasanya berlangsung berhari-hari, dikunjungi tidak saja umat dari sekitar NTT, tetapi hampir seluruh Indonesia, dan manca negara yang merayakannya. Uniknya ... ketika upacara itu dilaksanakan saudara-saudara Muslim ikut berpartisipasi untuk menjaga kemanan dan kelancaran jalannya prosesi itu. Kalau begitu maka partisipasi toleransi itu pasti sudah berjalan pula berpuluh-puluh satun.
Kalau Anda sempat bermain ke Pulau
Alor beberapa hari dan di Kota Kalabahi berdiri menghadap ke laut, maka
perjalanan Anda sampai ke ujung-ujung jalur disebelah kanan akan Anda
temui komunitas-komunitas Muslim lengkap dengan Masjid, pasar, Mushola,
dll. Tetapi jika Anda melakukan perjalanan kemanapun di sebelah kiri
Anda sampai ke pelosok-pelosok akan Anda temui komunitas Kristen dan
Katolik. Perbedaan lokasi itu begitu jelas dapat dilihat dengan mata.
Tetapi uniknya hampir tidak ada tawuran atau pertempuran antar
komunitas-komunitas itu. Amati saja lebih dalam maka para pedagang akan
didominasi oleh saudara Muslim, entah Muslim pendatang maupun orang Alor
Muslim. Sementara saudara-saudara kristen dan katolik mendominasi di
jajaran pemerintahan atau para petani dari gunung-gunung di Alor. Segala
perbedaan ini sangat mencolok, tetapi tidak menjadi persoalan.
Begitulah...seakan akan satu kelompok memahami kekuatan kehidupan
kelompok lain dan saling menghormati. Kabarnya, kalau Bupatinya seorang
Kristen maka wakil Bupati pasti saudara kita Muslim. Ahhh....indah
sekali. Bukan konsumsi mata...tetapi konsumsi mata hati.
***
Bahwasannya
barometer friksi agama di Jakarta, oleh karena Pilkada Gubernur
Jakarta, kehidupan toleransi bangsa ini lalu menjadi tampak kacau retak.
Hal itu boleh saja menjadi kekhawatiran amat mendalam. Tetapi saya
percaya bahwa itu terjadi karena agama diseret-seret ditunggangi menjadi
alat politik. Bagi saya agama adalah relasi pribadi seorang individu
pemeluk agama dengan Tuhan yang dianutnya. Ketika relasi pribadi itu
sudah dicampur-adukkan dengan ras, golongan, gender, politik, maka siapa
pun individu pemeluk agama apapun, maka agama itu akan tampak beringas
dan tidak menenteramkan umat, umat manapun.
Agama yang
diseret-seret menjadi alat politik, apalagi tampak sebagai chaos,
disintegrasi, dan intoleransi...mestinya harus dihentikan secara tegas
oleh negara. Jangan lupa!!! kelompok yang menyeret-nyeret agama itu
(dalam kasus di Jakarta adalah kelompok Muslim garis keras/FPI), hanya
sebagian kecil, kecil sekali, dari masyarakat Muslim di Indonesia
apalagi masyarakat seluruhnya di Indonesia. Negara menjadi sangat tidak
adil kalau mau memberikan previlese-previlese tertentu kepada kelompok
kecil itu. Mengapa harus didengar usulannya orang mereka hanyalah
kelompok sangat kecil, dan tidak bisa dikatakan mewakili bangsa
Indonesia.
Kalau negara memberikan
previlese tertentu, atau suara koar-koar mereka di jalanan dipertimbangkan
sebagai ancaman, lalu diberi kesempatan apapun, maka negara telah berbuat tidak
adil. Ini preseden buruk bagi kehidupan kebersamaan berbangsa dan berwarga
negara. Hal semacam itu jangan sampai berulang-ulang sebab pasti akan
menumbuhkan sakit hati. Sakit hati bagi kelompok-kelompok lain di seluruh
wilayah negara ini. Kalau kelompok sakit hati ini menjadi hilang kesabaran
karena gemes kok negara tak selesai meredam kelompok yang selalu demo, akankah
justru aparat keamanan akan merepresi kelompok sakit hati yang ingin bergerak?
Maka, kalau memang demikian, negara sudah tidak adil untuk kedua kalinya. Saya
kira ditumpas dengan segera itu perlu dan tepat, kalau masih bertele-tele,
mumpung seluruh wilayah Indonesia belu m menjadi kacau dan terjadi intoleransi
akut. Kalau itu terjadi....apa gunanya Pak Presiden menggencarkan infrastruktur
transportasi, tol laut, dan berbagai macam lain kalau semuanya itu kemudian
membuat masyarakat bangsa ini takut melakukan mobilisasi karena dimana-mana
terjangkiti sifat dan sikap intoleransi.
Dalam sejarah manusia perang
antar masyarakat kelompok agama, adalah peristiwa yang paling menyakitkan dan
memilukan, peristiwa yang tidak pernah selesai sampai kini. Perang yang saya
maksud, bukan saja perang antara agama A dan agama B, tetapi bisa juga perang
antar kelompok sekter/aliran di dalam satu jenis agama. Saya ingin percaya
seratus persen bahwa semua agama adalah baik adanya. Tetapi saya kadang tergoda
jatuh dalam keraguan, jika menilik sejarah bahwa konflik antar agama atau
keyakinan tertentu sama tuanya dengan umur manusia, dan tak pernah surut hingga
kini. Sebuah artikel berjudul The
Dark Side of Religion tulisan Morris (Raphael)
Cohen) 1880-1947, mengulas sisi kelabu dari agama sebagaimana saya maksud
itu. Kata Morris bahwa sejarah religiusitas manusia sebelum datangnya agama
resmi yang kita kenal saat ini, bahkan sampai awal-awal terbentuknya agama
resmi ini, ditandai dengan human
sacrify (pengorbanan manusia). Tidak sampai disitu saja wajah tanda
--katakanlah-- kejamnya agama. Pencarian pengikut atau umat dari setiap bentuk
kepercayaan dan agama itu ditandai dengan ancaman, pemaksaan, bahkan
pertempuran, pembakaran kota, rumah-rumah, dll.
Cruelty is a much more
integral part of religion than most peoplenowadays realize.... The
doctrine of a loving and all-merciful Godprofessed by Christianity or Islam has
not prevented either onefrom preaching and practicing the duty to hate and
persecute thosewho do not believe. Nay, it has not prevented fierce wars
betweendiverse sects of these religions, such as the wars between
Shiites,Sunnites, and Wahabites, between Greek Orthodox, Roman Catholics, and
Protestants.... The fierce spirit of war and hatred is not of course
entirely due to religion. But religion has made a duty of hatred....Cruel
persecution and intolerance are not accidents but flow outof the very essence
of religion, namely, its absolute claims. So long as each religion claims to
have absolute revealed truth, allother religions are sinful errors.... In all
religions, the gods have been viewed as subject toflattery. They can be
persuaded to change their minds by sacrificesand prayers.
Kutipan-kutipan yang saya ambil
dari tulisan Morris dalam The Dark Side of Religion di atas, mungkin hendak
mengatakan bahwa agama sendiri di dalam dirinya tidak mampu menolak atau
meniadakan "kekerasan/kekejaman". Hal ini, disadari atau tidak,
mungkin telah menjadi standard moral tertentu. Jauh di Timur Tengah sana ada
sekelompok Muslim (entah sipil, entah militer, entah kelompok ISIS) di tembaki
oleh tentara asing....jarak ratusan atau ribuan kilometer, tidak ada kaitan
saudara atau apapun di Indonesia ada sekelompok muslim menjadi beringas. Begitu
pun sebaliknya, jika di Eropa sana ada sekelompok Kristen ditembak oleh
kelompok teroris yang biasanya dikaitkan dengan Islam, jarak ribuan kilometer
di Indonesia ada sekelompok Kristen yang menjadi amat berang. Pertanyaannya,
mengapa ini bisa terjadi? Karena di dalam diri kita si penganut agama tertentu
ini, ada sentimen keagamaan yang mengkristal menjadi standard moral tertentu
yang muncul ke permukaan. Bukankah kita sering menjadi bimbang diri kalau ada
peristiwa seperti yang saya gambarkan tadi....?
***
Dengan demikian, toleransi yang
terjadi di di wilayah-wilayah Indonesia antar kelompok agama, adalah kreasi
manusia beragama di Indonesia. Toleransi tersebut dengan sengaja diciptakan dan
dijaga oleh kelompok masing-masing agama, karena hidup menjadi lebih nyaman,
indah, menyenangkan dengan adanya toleransi. Bukankah begitu? Mencari rejeki
menjadi dimudahkan, mau pergi kesana kemari merasa tenang, jika kelompok
tertentu tidak mampu memproduksi sesuatu maka bisa beli atau barter dengan
kelompok lain yang lebih ahli membuat barang tersebut, dsb. Hebatnya bahkan di
beberapa daerah, toleransi antar umat beragama itu dijaga bersama dari ancaman
pihak lain manapun. Ini semua kenyataan yang amat berbeda sebagaimana
dikhawatirkan Morris dalam The Dark Side of Religion.
Tetapi, kita semua harus sadar
bahwa kondisi toleransi itu teramat mudah rusak jika ada ancaman yang terus
menerus...terus menerus...berulang ulang...berulang ulang...mengganggu kondisi
kesepakatan toleransi yang sudah tercipta. Kita harus realistis bahwa kehidupan
beragama di masyarakat kita Indonesia belum sampai taraf "urusan
pribadi/individu", sebagian besar masih bersifat "urusan sosial
bersama-sama". Jadi jika beberapa orang saja dari komunitas toleran itu
bimbang dan retak hati, maka amat cepat menyebar ke seluruh anggota lainnya.
Itulah sebabnya hal-hal yang kontra produktif terhadap toletansi, ambil contoh
saja demo FPI yang terussss menerusss terjadi perlu segera dihentikan dengan
paksa. Untuk apa kita memberi kesempatan kepada sekelompok kecil saja dengan
resiko mengorbankan kelompok besar masyarakat Indonesia yang telah menciptakan
kondisi toleransi!!! Terlalu mahal harganya....
Toleransi itu indah!!! (666)