Monday, April 10, 2017

The Appreciation of Tolerance in Indonesia

Apresiasi Atas Toleransi di Indonesia

Oleh: Emil E. Elip


Saya hampir tidak percaya jika dikatakan bahwa bangunan rasa toleransi di Indonesia akhir-akhir ini retak. Apalagi retak parah hampir pecah. Selama lebih dari 12 tahun terakhir saya keluar masuk hampir diseluruh wilayah Indonesia, entah dalam rangka membantu kegiatan lembaga sosial atau kegiatan-kegiatan dari institusi pemerintah seperti Kementerian Daerah Tertinggal (sekerang Kemendesa PDTT), Kemendagri, BNPB, Kementan, dll. Mulai dari Jayapura, Wamena, seluruh kabupaten di Kupang, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Tengah, Selatan, seluruh Jawa, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, bahkan saya yang Katolik ini pernah menjelajah Aceh di pusat-pusat komunitas Muslim paling dalam seperti Lhokseumawe, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar, Kab. Bener Meriah dan Aceh Tengah, serta Kota Banda Aceh. Saya ingin katakan, bukan saja karena (mungkin) saya pandai membawakan diri di seluruh masyarakat yang saya pernah hidup tadi, tetapi tentu saja saya percaya "ada sebuah ruang terbuka" di hati para masyarakat itu untuk menerima kehadiran orang/masyarakat lain diluar adat, kebiasaan, dan religiusitas mereka. Saya amat percaya itu.

Saya terkadang terperanjat. Terkejut campur penasaran. Oleh karena ketidaktahuan saya (yang mungkin tulus) atas adat, kebiasaan setempat sehari-hari, atau aturan-aturan dalam adat religiusitas mereka, kesalahan-kesalahan saya malah justru "ditertawakan", menjadi lelucon bagi mereka. Saya ditertawakan, tetapi kemudian diberitahu jangan begini atau begitu, sebaiknya begini.... Tidak ada amarah pertama kali yang muncul dalam masyarakat itu. Mereka ternyata punya hati "reserve" untuk sesungguhnya memaafkan atas orang lain yang tidak tahu. Saya selama bergaul di berbagai komunitas dan institusi pemerintah di Aceh, kadang tidak melakukan salam seperti kebiasaan saudara Muslim kalau membuka diskusi atau rapat, tetapi saya kadang mengutip salam saudara-saudara saya yang Muslim. Dan tokoh agama, tokoh pemerintahan daerah, serta rekan-rekan saya di Aceh tidak membenci apalagi marah terhadap saya. Semua ini karena mereka tahu saya seorang Katolik, non Muslim. Tapi bagi saya jelas tidak sampai hati pada diri mereka mengatakan bahwa saya "kafir". Kalau mereka menganggap saya kafir, pasti sejak beberapa bulan saya di Aceh, saya sudah disuruh pergi dari Aceh.


Yang hendak saya katakan adalah bahwa, meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia adalah Muslim dan disekitar lingkungan mereka secara mereka sadari pasti ada yang non-Muslim. Saudara-saudara Muslim adalah orang-orang bersahaja dalam meyakini religiusitas mereka dan oleh karena itu "tidak beringas" atas apapun perbedaan yang ada. Ketika tiba waktunya hari Jum'at, dimana sahabat-sahabat Muslim harus Sholat di Masjid, saya sering terpaksa beristirahat diwarung karena perjalanan pulang ke kantor saya masih jauh. Saya pikir lebih baik duduk di warung dari pada berkeliaran di jalanan yang pasti amat sepi karena semua orang Sholat di Masjid. Saya non-muslim dibelantara hutan masyarakat Muslim. Si empunya warung tidak mengusir saya. Justru dia bertanya "Bapak Non-Muslim?". Bapak duduk di sini saja, tidak apa-apa, justru saya titip warung saya. Kemudian si empunya warung menutup pintu warung dengan korden. Tentu orang lain di luar warung tahu bahwa di dalam masih ada orang jajan. Dan sepertinya semua orang paham bahwa ada non-muslim sedang jajan di warung itu. Saya tidak takut atau resah sedikit pun, seakan-akan saya tahu persis bahwa pasti tidak akan terjadi "hukum rajam" kepada saya. Setelah Sholat Jum'at selesai, warung kembali penuh orang yang jajan sesuai menunaikan Sholat. Orang-orang yang saya temui tadi di warung sebelum Jum'atan pun datang lagi...mereka senyum-senyum saja kepada saya, bahkan satu dua mulai mengajak saya bicara dari mana, ada keperluan apa, apa kerjanya, sudah lamakah di Aceh, di Aceh tinggal di mana, sudah berkeluarga atau belum.....dll.

Setelah saya pulang ke Jawa, semua kenangan di Aceh kira-kira lebih 10 tahun silam masih membekas di hati saya. Bekas kenangan kehidupan yang harmonis, indah, penuh rasa saling pengertian (toleran). Saya membayangkan hal seperti ini pula yang saya harapkan diperoleh oleh orang-orang asing yang pernah hidup di indonesia, entah sebagai guru, pelancong biasa, expatriat, dll...membawa kenangan mosaik indah kehidupan toleransi yang hakiki. Dan saya yakin itu mereka dapatkan juga mengingat tidak sedikit orang asing yang kembali lagi ke Indonesia, untuk sekedar melancong, bekerja lagi, atau bahkan menetap di Indonesia dan berbuat sesuatu yang mulia bagi masyarakat Indonesia. Saya ingin tunjukkan contoh yang menurut saya paling bagus, yaitu kiprah Ibu Robin Liem pendiri Yayasan Bumi Sehat di Bali. 

http://www.floresa.co/2016/03/21/pengamanan-semana-santa-di-larantuka-libatkan-pemuda-lintas-agama/
Contoh lain kehidupan toleransi itu bisa di lihat dalam pelaksanaan upacara arak-arakan  Samanasanta di Larantuka Flores. Upara ini adalah upacara tradisi Katolik di wilayah ini yang sudah berlangsung ratusan tahun. Upacara itu adalah upacara prosesi patung Bunda Maria yang biasanya berlangsung berhari-hari, dikunjungi tidak saja umat dari sekitar NTT, tetapi hampir seluruh Indonesia, dan manca negara yang merayakannya. Uniknya ... ketika upacara itu dilaksanakan saudara-saudara Muslim ikut berpartisipasi untuk menjaga kemanan dan kelancaran jalannya prosesi itu. Kalau begitu maka partisipasi toleransi itu pasti sudah berjalan pula berpuluh-puluh satun. 
Kalau Anda sempat bermain ke Pulau Alor beberapa hari dan di Kota Kalabahi berdiri menghadap ke laut, maka perjalanan Anda sampai ke ujung-ujung jalur disebelah kanan akan Anda temui komunitas-komunitas Muslim lengkap dengan Masjid, pasar, Mushola, dll. Tetapi jika Anda melakukan perjalanan kemanapun di sebelah kiri Anda sampai ke pelosok-pelosok akan Anda temui komunitas Kristen dan Katolik. Perbedaan lokasi itu begitu jelas dapat dilihat dengan mata. Tetapi uniknya hampir tidak ada tawuran atau pertempuran antar komunitas-komunitas itu. Amati saja lebih dalam maka para pedagang akan didominasi oleh saudara Muslim, entah Muslim pendatang maupun orang Alor Muslim. Sementara saudara-saudara kristen dan katolik mendominasi di jajaran pemerintahan atau para petani dari gunung-gunung di Alor. Segala perbedaan ini sangat mencolok, tetapi tidak menjadi persoalan. Begitulah...seakan akan satu kelompok memahami kekuatan kehidupan kelompok lain dan saling menghormati. Kabarnya, kalau Bupatinya seorang Kristen maka wakil Bupati pasti saudara kita Muslim. Ahhh....indah sekali. Bukan konsumsi mata...tetapi konsumsi mata hati.

***

Bahwasannya barometer friksi agama di Jakarta, oleh karena Pilkada Gubernur Jakarta, kehidupan toleransi bangsa ini lalu menjadi tampak kacau retak. Hal itu boleh saja menjadi kekhawatiran amat mendalam. Tetapi saya percaya bahwa itu terjadi karena agama diseret-seret ditunggangi menjadi alat politik. Bagi saya agama adalah relasi pribadi seorang individu pemeluk agama dengan Tuhan yang dianutnya. Ketika relasi pribadi itu sudah dicampur-adukkan dengan ras, golongan, gender, politik, maka siapa pun individu pemeluk agama apapun, maka agama itu akan tampak beringas dan tidak menenteramkan umat, umat manapun.

Agama yang diseret-seret menjadi alat politik, apalagi tampak sebagai chaos, disintegrasi, dan intoleransi...mestinya harus dihentikan secara tegas oleh negara. Jangan lupa!!! kelompok yang menyeret-nyeret agama itu (dalam kasus di Jakarta adalah kelompok Muslim garis keras/FPI), hanya sebagian kecil, kecil sekali, dari masyarakat Muslim di Indonesia apalagi masyarakat seluruhnya di Indonesia. Negara menjadi sangat tidak adil kalau mau memberikan previlese-previlese tertentu kepada kelompok kecil itu. Mengapa harus didengar usulannya orang mereka hanyalah kelompok sangat kecil, dan tidak bisa dikatakan mewakili bangsa Indonesia. 

Kalau negara memberikan previlese tertentu, atau suara koar-koar mereka di jalanan dipertimbangkan sebagai ancaman, lalu diberi kesempatan apapun, maka negara telah berbuat tidak adil. Ini preseden buruk bagi kehidupan kebersamaan berbangsa dan berwarga negara. Hal semacam itu jangan sampai berulang-ulang sebab pasti akan menumbuhkan sakit hati. Sakit hati bagi kelompok-kelompok lain di seluruh wilayah negara ini. Kalau kelompok sakit hati ini menjadi hilang kesabaran karena gemes kok negara tak selesai meredam kelompok yang selalu demo, akankah justru aparat keamanan akan merepresi kelompok sakit hati yang ingin bergerak? Maka, kalau memang demikian, negara sudah tidak adil untuk kedua kalinya. Saya kira ditumpas dengan segera itu perlu dan tepat, kalau masih bertele-tele, mumpung seluruh wilayah Indonesia belu m menjadi kacau dan terjadi intoleransi akut. Kalau itu terjadi....apa gunanya Pak Presiden menggencarkan infrastruktur transportasi, tol laut, dan berbagai macam lain kalau semuanya itu kemudian membuat masyarakat bangsa ini takut melakukan mobilisasi karena dimana-mana terjangkiti sifat dan sikap intoleransi.

Dalam sejarah manusia perang antar masyarakat kelompok agama, adalah peristiwa yang paling menyakitkan dan memilukan, peristiwa yang tidak pernah selesai sampai kini. Perang yang saya maksud, bukan saja perang antara agama A dan agama B, tetapi bisa juga perang antar kelompok sekter/aliran di dalam satu jenis agama. Saya ingin percaya seratus persen bahwa semua agama adalah baik adanya. Tetapi saya kadang tergoda jatuh dalam keraguan, jika menilik sejarah bahwa konflik antar agama atau keyakinan tertentu sama tuanya dengan umur manusia, dan tak pernah surut hingga kini. Sebuah artikel berjudul The Dark Side of Religion tulisan Morris (Raphael) Cohen) 1880-1947, mengulas sisi kelabu dari agama sebagaimana saya maksud itu. Kata Morris bahwa sejarah religiusitas manusia sebelum datangnya agama resmi yang kita kenal saat ini, bahkan sampai awal-awal terbentuknya agama resmi ini, ditandai dengan human sacrify (pengorbanan manusia). Tidak sampai disitu saja wajah tanda --katakanlah-- kejamnya agama. Pencarian pengikut atau umat dari setiap bentuk kepercayaan dan agama itu ditandai dengan ancaman, pemaksaan, bahkan pertempuran, pembakaran kota, rumah-rumah, dll.

Cruelty is a much more integral part of religion than most peoplenowadays realize.... The doctrine of a loving and all-merciful Godprofessed by Christianity or Islam has not prevented either onefrom preaching and practicing the duty to hate and persecute thosewho do not believe. Nay, it has not prevented fierce wars betweendiverse sects of these religions, such as the wars between Shiites,Sunnites, and Wahabites, between Greek Orthodox, Roman Catholics, and Protestants.... The fierce spirit of war and hatred is not of course entirely due to religion. But religion has made a duty of hatred....Cruel persecution and intolerance are not accidents but flow outof the very essence of religion, namely, its absolute claims. So long as each religion claims to have absolute revealed truth, allother religions are sinful errors.... In all religions, the gods have been viewed as subject toflattery. They can be persuaded to change their minds by sacrificesand prayers.

Kutipan-kutipan yang saya ambil dari tulisan Morris dalam The Dark Side of Religion di atas, mungkin hendak mengatakan bahwa agama sendiri di dalam dirinya tidak mampu menolak atau meniadakan "kekerasan/kekejaman". Hal ini, disadari atau tidak, mungkin telah menjadi standard moral tertentu. Jauh di Timur Tengah sana ada sekelompok Muslim (entah sipil, entah militer, entah kelompok ISIS) di tembaki oleh tentara asing....jarak ratusan atau ribuan kilometer, tidak ada kaitan saudara atau apapun di Indonesia ada sekelompok muslim menjadi beringas. Begitu pun sebaliknya, jika di Eropa sana ada sekelompok Kristen ditembak oleh kelompok teroris yang biasanya dikaitkan dengan Islam, jarak ribuan kilometer di Indonesia ada sekelompok Kristen yang menjadi amat berang. Pertanyaannya, mengapa ini bisa terjadi? Karena di dalam diri kita si penganut agama tertentu ini, ada sentimen keagamaan yang mengkristal menjadi standard moral tertentu yang muncul ke permukaan. Bukankah kita sering menjadi bimbang diri kalau ada peristiwa seperti yang saya gambarkan tadi....?

***

Dengan demikian, toleransi yang terjadi di di wilayah-wilayah Indonesia antar kelompok agama, adalah kreasi manusia beragama di Indonesia. Toleransi tersebut dengan sengaja diciptakan dan dijaga oleh kelompok masing-masing agama, karena hidup menjadi lebih nyaman, indah, menyenangkan dengan adanya toleransi. Bukankah begitu? Mencari rejeki menjadi dimudahkan, mau pergi kesana kemari merasa tenang, jika kelompok tertentu tidak mampu memproduksi sesuatu maka bisa beli atau barter dengan kelompok lain yang lebih ahli membuat barang tersebut, dsb. Hebatnya bahkan di beberapa daerah, toleransi antar umat beragama itu dijaga bersama dari ancaman pihak lain manapun. Ini semua kenyataan yang amat berbeda sebagaimana dikhawatirkan Morris dalam The Dark Side of Religion.

Tetapi, kita semua harus sadar bahwa kondisi toleransi itu teramat mudah rusak jika ada ancaman yang terus menerus...terus menerus...berulang ulang...berulang ulang...mengganggu kondisi kesepakatan toleransi yang sudah tercipta. Kita harus realistis bahwa kehidupan beragama di masyarakat kita Indonesia belum sampai taraf "urusan pribadi/individu", sebagian besar masih bersifat "urusan sosial bersama-sama". Jadi jika beberapa orang saja dari komunitas toleran itu bimbang dan retak hati, maka amat cepat menyebar ke seluruh anggota lainnya. Itulah sebabnya hal-hal yang kontra produktif terhadap toletansi, ambil contoh saja demo FPI yang terussss menerusss terjadi perlu segera dihentikan dengan paksa. Untuk apa kita memberi kesempatan kepada sekelompok kecil saja dengan resiko mengorbankan kelompok besar masyarakat Indonesia yang telah menciptakan kondisi toleransi!!! Terlalu mahal harganya....

Toleransi itu indah!!! (666)