Friday, April 7, 2017

Culture, Corruption, and Individu

Budaya, Korupsi, dan Individu
Oleh: Emil E Elip
 

Indonesia sampai saat ini masih tergolong sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi yang cukup tinggi, meskipun usaha untuk melawan itu semakin gencar dan aktif di era kepemimpinan Presiden Jokowi. Kita semua berharap bahwa di dalam masa kepemimpinan Jokowi ini, korupsi diberantas habis-habisan. Tapi apa sebenarnya fenomena korupsi ini! Apakah korupsi tinggi mencerminkan kebudayaan masyarakat yang korup? Ataukah korupsi tinggi menggambarkan kehidupan beragama masyarakatnya yang (maaf) rendah? Ataukah korupsi ini hanya sebatas urusan karakter pribadi individu saja? Yang jelas ada beberapa pakar kosupsi yang berpendapatan tidak mungkin korupsi ini mampu ditekan sampai titik "zero" (nol)!!

***
Tribunnews menginformasikan bahwa per Januari 2017 Indonesia berada di peringkat 88 dunia, yang berarti cukup maju pesat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Diperkirakan pada tahun 2010 peringkat ini akan membaik menjadi 77. Namun begitu kondisi ini oleh BBC-Indonesia dikatakan semakin baik tetapi cukup lamban. Tentu saja kondisi lamban itu disebabkan oleh banyak faktor, yang salah satunya yang paling dalam karena kosupsi sudah menjadi benang "ruwet" di seluruh instansi/kelembagaan pemerintah maun swasta. 

Para pengamat mengatakan sekali masuk dalam arus jejaring korupsi, kita tidak akan mampu atau sangat sulit keluar lagi dari pusaran itu. Seorang pejabat yang semula bersih, bisa saja dengan sadar atau tidak sadar terpaksa harus masuk dalam jejaring korupsi, karena lingkungan kerjanya menuntutnya masuk dalam pusaran korupsi. Mereka yang mempertahankan dirinya "bersih" akan frustasi, tidak disukai, diasingkan oleh lingkungannya...dan akhirnya terdepak dari posisi atau jabatannya. Setiap orang (pejabat) mungkin semula niatnya tidak mau korupsi. Tetapi tahu-tahu sudah dilakukannya korupsi berulang kali, dan mungkin nikmat rasanya. Itu sebabnya mengapa, secara psikologis individual, setiap pejabat yang tertangkap oleh kasus korupsi seakan-akan tidak terima kalau dia tertangkap. Dia seakan-akan mengatakan, "aku kan terjebak", "niatku semula tidak menjadi koruptor", "sistem yang membuatku korup", "dan aku tidak sendiri melakukan korupsi ini". Rakyat sering berdalih: "maling tidak akan pernah mengaku maling pada awalnya!!".

Jadi dari sudut mana korupsi itu mau dipahami dan dibidik?! Yang jelas salah seorang ahli mengenai korupsi, Philipe Montigny pemimpin ETHIC Intellegence, mengatakan bahwa korupsi bukan berasal dari permasalahan kebudayaan (cultural). Menurut dia salah besar memikirkan atau memandang persoalan korupsi sebagai dampak dari kebudayaan sebuah masyarakat. Montigny ingin menunjukkan bahwa dibeberapa kebudayaan memang mengenal "pemberian" atau hadiah cuma-cuma sebagai ungkapan rasa respek persaudaraan, pertemanan, atau ekspresi hormat kepada orang lain yang dianggap memiliki status khusus di dalam masyarakat. Montigny pernah melakukan survei hampir diseluruh masyarakat di dunia, dimana dia menanyakan "Apakah jika anak anda mencuri atau mengambil barang milik anggota keluarga tanpa ijin, Anda membolehkannya?!. Semua orang dan keluarga di dunia, diseluruh masyarakat, mengatakan bahwa jawabannya "tidak"/tidak boleh. Berdasarkan asumsi itu, Motigny mengajukan argumennya, bahwa mungkin akan sangat bias menganggap korupsi memiliki dimensi cultural.

Pada dimensi yang lain, ada kerangka pikir yang memandang korupsi sebagai akibat adanya ketimpangan kemiskinan. kerangka pikir tersebut hendak mengatakan kalau tingkat kemiskinan tinggi maka akan tumbuh subur korupsi. Lagi-lagi Montigny membantah, dengan bertanya di dalam masyarakat Anda lebih korupsi mana antara Direktur dan pegawai biasa? Disemua masyarakat akan menjawab Direktur! Mengapa orang dengan status jabatan yang lebih baik yang kemungkinan korupsinya lebih besar atau lebih tinggi padahal penghasilannya tentu lebih baik. Itu sebabnya Montigny meragukan jika korupsi memiliki dimensi poverty atau kemiskinan.

Akhirnya Montigne berkesimpulan, bahwa korupsi adalah akibat dari pikiran rasional yang berawal dari perhitungan ekonomi dari orang-orang yang memiliki kedudukan dan memperhitungkan bahwa dirinya tidak mungkin "tertangkap". jadi sama sekali korupsi bukan problem dimensi cultural. Di berbagai negara dengan perkembangan ekonomi yang relatif cepat, dari negara ekonomi rendah menuju ekonomi medium, serta dilatarbelakangi sistem pemerintahan yang masih terbata-bata mengelola demokratisasi, maka sangat mungkin korupsi merebak merajalela.


***
Lalu bagimana dengan agama? Artinya apakah seseorang dengan praktik beragama yang kuat, atau masyarakat dengan basis agama yang kuat, akan mengurangi praktik korupsi di negara/masyarakat tersebut. Dimensi "agama" saya rasa juga agak meragukan apakah memiliki korelasi dengan tindak korupsi. Artikel dengan judul Religious Country Are The Most Corrup dalam web Panteos, mengutip kajian yang dilakukan oleh Hamid Yeganeh & Daniel Sauers of Winona State University, USA, menemukan bahwa negara dengan dengan dominasi agama tertentu ternyata merupakan negara dengan tingkat korupsi parah. Saya jadi teringat bahwa Vatican ternyata memiliki skandal korupsi parah. Begitu pula negara-negara di Timur Tengah, yang sebagian besar muslim, perilaku korup sangat masif. Lebih jauh kedua peneliti tersebut menyimpulkan, negara-negara dengan penduduk mendominasi agama tertentu memiliki korupsi tinggi, sistem yang ada ternayat menyumbangkan berjalannya praktik-praktik korupsi. Ringkasnya begini "Atas nama Tuhan kita bersama yang kita anut...percayalah bahwa uang yang dipercayakan kepada saya akan saya gunakan secara adil demi kepentingan umat". 


Kajian lain berjudul "Religion, Spirituality, Corruption and Development: Causal Links and Relationships" oleh Leaman, James M (2009)-Doctoral Dissertation, University of Pittsburgh, juga mengkaji kaitan agama dan spiritualitas dengan tindak korupsi. Kesimpulannya adalah (1) Agama memiliki kaitan kuat sampai moderat terhadap praktik korupsi; (2) Spiritualitas memiliki kaitan yang tidak cukup berarti (lemah) terhadap perilaku tindak korupsi; dan (3) Sektor atau lembaga pelayanan publik memiliki kaitan yang sangat tinggi terhadap kemungkinan terjadinya tindak korupsi.
***
Ada aspek lain yang mencoba mendekati problema korupsi ini dari dimensi mentalitas dan spiritualitas, sebagaimana dituangkan dalam artikel Corruption and Corruption Mentality (by Sangamiswaran Nurani; The Good Karma Retreat). Dimensi analisis ini ingin mencoba menggali persoalan paling mendasar terkait dengan korupsi dalam human mentality individu. Melawan korupsi gambarannya adalah melawan kanker yang sudah merambah stadium terakhir hidup manusia dengan tanpa mengetahui kapan dan dari mana kangker itu menyerang. Melawan korupsi digambarkan pula seperti cerita seorang raja yang benci dan melarang seruling bambu beredar di kerajaannya dan oleh karena itu dia menitahkan untuk memusnahkan semua pohon bambu di wilayah kerajaannya. Begitu parahnya korupsi itu di sisi lain, namun begitu bingungnya kita melawan korupsi di sisi lainnya.

Korupsi, yang paling sering muncul dibahas dipermukaan sesungguhnya hanya tentang "how taking money". Tetapi dari sudut mentality korupsi itu jauh lebih luas dari itu. Memanipulasi waktu kerja, menerima hadiah "barang" demi memuluskan pekerjaan di luar prosedur yang berlaku, melakukan mark-up anggaran, serta masih banyak yang lain adalah korupsi. Semua ini problem mentalitas, dimana sampai mentalitas ini tak mampu dibersihkan maka korupsi akan semakin subur. 

Lebih jauh dikatakan bahwa "money aspect sprout only out of this habit.  It is a formation evolved within the minds over a period of years, and not happened just at once". Artikel ini juga menyangsikan peran dimensi  kebudayaan dalam menumbuhkan dan atau memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi tidak mampu dikurangi hanya melalui pendidikan. Buktinya adalah bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mampu dia meraih, mengakumulasi, dan memproteksi kekuasaan yang dimilikinya sehingga membuka peluang bahwa dirinya sangat mudah tergoda melakukan korupsi dilingkungan kekuasaan yang sudah digenggamnya secara sistematis. Dalam sudut analisis mentality dan spiritualitas, orang tersebut --yg nota bene berpendidikan dan berstatus terpandang-- menjadi tidak memiliki "rasa malu" (secara mentalitas dan spiritualitas). Di dalam orang-orang semacam ini telah tumbuh mentalitas arogansi (power arogancy), bahwa dirinya yang paling tahu dan paling berkuasa memegang dan menentukan administrasi pertanggungjawaban segala beban kewajiban dan biaya yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu, orang-orang lain yang sejalan dengan dirinya dalam putaran dimensi arogansi kekuasaan itulah yang disebut "sahabat" dia, karena bersama orang-orang "sepaham" itu dia bisa menjada kekuasaannya dan menikmati korupsinya.

Sisi lain yang menarik dari analisis dimensi mentalitas dan spiritualitas ini adalah rekomendasinya yang general terhadap upaya memberantas tindakan korupsi. Yang harus dilakukan untuk memberantas korupsi adalah di dalam diri manusia itu sendiri secara individual (si pelaku korupsi), dan secara lebih general didalam masyarakat adalah di pergaulan sosial di dalam rumah kita masing-masing. Analisis mentalitas dan spiritualias tersebut memulai idenya dengan konsep yang disebut Sanatana Dharma. Sanatana adalah makna hakiki keabadian yang tumbuh dari genuin tatanan mapan peradaban manusia. Dharma adalah kontribusi masing-masing anggota masyarakat untuk membuat dan memastikan bahwa hakiki keabadian tersebut terus berlangsung tanpa ada halangan untuk sampai dan tersebar kepada individu lain.


Pendekatan mentality dan spiritualitas ini mengambil ide dari ajaran Bhagawatgita tentang kepemimpinan. Kepemimpinan adalah gerakan kerakyatan yang tumbuh dari bawah kemudian ke atas. Apa yang terjadi di dalam masyarakat kita dewasa ini adalah, bahwa kepemimpinan itu ditentukan oleh "atas' dan kemudian merambah ke bawah. Oleh karena itu dalam konteks seperti digambarkan terakhir itu, adalah menjadi kewajiban kita bersama (rakyat) untuk berpartisipasi menciptakan masyarakat yang bersih sehingga generasi mendatang dapat merasakan hidup dengan harmoni lebih baik. Agar diperoleh kesadaran diri yang sehat, kita harus memiliki tubuh yang sehat. Agar diperoleh bangsa yang sehat dan kuat, maka masyarakatnya harus memiliki mentalitas yang sehat sehingga terbangunan bangsa yang besar dan membanggakan.

***
Nuansa kelembagaan/institusional, nuansa kebudayaan, dan nuansa agama, setingkat apapun uapaya yang dilakukan untuk mencegah seseorang korupsi, nampaknya tidak akan berhasil melihat kenyataan semua kajian yang ada di atas. Institusi dimana tempat kita bekerja pun tak banyak mampu mencegah kita untuk melakukan korupsi. Ingat kasus di MK (majelis Konstitusi), sebuah institusi yang amat sangat terpandang justru menumbuhkan koruptor kelas kakap. Banyak institusi justru menjadi ladang korupsi berjamaah, artinya aknum, pejabat, staff di sebuah institusi tersebut justru dapat membangun "kesepakatan" bersama untuk saling tahu, saling melindungi, saling menutupi...tidak korupsi mulai dari rencana korupsi sampai korupsi itu sudah di praktikkan.

Korupsi juga tidak akan habis dengan digencarkannya khotbah-khotbah mulia di gereja, masjid, klenteng, dll. Korupsi juga tidak akan terkikis dengan digenjotnya pelatihan-pelatihan transparansi keuangan, baliho-baliho ajakan untuk tidak korup, produksi buku dan selebaran tentang anti korupsi. Semua material itu hanya akan menyentuh wawasan individual koruptor, calon koruptor, atau awam kebanyakan. Nampaknya pemberantasan korupsi harus dimulai dari level individu koruptor itu, baru kemudian merambah ke institusionalnya, masyarakat yang lebih luas, dan kemudian tercipta budaya baru mentalitas pejabat.

Oleh karena itu beberapa hal berikut merupakan usulan yang bisa dipertimbangkan (mungkin sudah tidak baru lagi), yaitu:
  • Koruptor harus dibuat jera dengan hukuman dan pemiskinan hartanya yang bisa diperhitungakan sudah berapa lama dia menjabat dan berapa lama melakukan korupsi. Tidak adil sesorang pejabat sudah puluhan tahun melakukan tindak korupsi, kemudian hanya disita hartanya pada tahun ketika dia ditangkap saja.
  • Yang mampu mengawasi para pejabat bukanlah institusi dimana pejabat itu bekerja. Jadi pengawasan internal itu ide yang amat buruk. Inspektorat yang baiasanya ada di satu kelembagaan pemerintah tidak ada gunanya, dia bagian dari jejaring arogansi kekuasaan pejabat korup. Hanya institusi di luar institusi pejabat korup yang bisa obyektif mengawasi perilaku dan kemungkinan tindak korupsi, yakni KPK. Jadi, segala upaya mengkebiri KPK apapun alasannya itu adalah pretensi buruk bagi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
  • Upaya hukum terhadap pejabat korup yang tertangkap tangan jelas terbukti melakukan korupsi, tidak perlu bertele-tele. Bagaimana mungkin hanya untuk menetapkan secara hukum seorang pejabat melakukan korup terhadap pejabat yang secara penyelidikan tertangkap tangan, kok masih bertele-tele dan menghabiskan biaya negara. Jika bertele-tele, maka ada kesempatan pembelaan, kesempatan pembelaan amat memungkinkan "penjungkirbalikan" fakta dan upaya meringankan hukuman. Kesempatan negosiasi adalah awal terjadi korupsi, dalam bentuk apapun. 
Saya percaya kita bersama mampu menciptakan Indonesia yang lebih bersih dari tindakan korupsi di masa depan (666)