Monday, April 3, 2017

Jokowi Phenomenon

Fenomena Jokowi

Oleh: Emil E Elip


Saya kira tidak berlebihan jika banyak sekali pemberitaan tentang Presiden Joko Widodo, atau populer disapa Jokowi, baik di media masa cetak, media masa on-line, maupun youtube, dll menyuguhkan nuansa yang amat positif. Saya secara pribadi "merinding", kagum bercampur haru, bangga bercampur khawatir, betapa sederhana dan apa adanya presiden kita satu ini. Kalau kita menilik perawakannya, memang  kurus dan nampak lemah, namun sepak terjang dan gesture tubuhnya menunjukkan jiwa yang sangat pemberani, tahu betul resiko yang akan terjadi, dan memang begitulah yang harus terjadi jika berlandaskan pada jiwa tulus.



***
Pertama-tama saya ingin menunjukkan atau menggambarkan gesture tubuh Jokowi yang menunjukkan jiwanya yang sederhana: "begitulah saya". Pada saat Raja Salman kehujanan lebat, Jokowi memayunginya dan menggandeng tangan Sang Raja. Hanya orang-orang yang bermasalah dengan psikologis kejiwaan saja yang menilai bahwa itu pencitraan. Namun orang-orang yang tulus dan bersih jiwa, akan merasakan memang begitu yang harus dilakukan terhadap sang "tamu" apalagi dia (Sang Raja) jauh lebih tua dengan kesehatan yang sudah tidak prima lagi. Dalam "jagad kecil" (dunia kecil), menurut fasafah Jawa, misalnya dalam jagad (ruang) keluarga, memang begitu yang seharusnya dilakukan anak terhadap orang tua, entah itu orang tuanya sendiri, pamannya, apalagi kakeknya, bahkan siapapun yang dianggap "lebih tua".  Jangan-jangan memang begitulah suasana batin "jagad cilik" Jokowi di dalam keluarga besarnya. Dia soleh. Santun. Jiwa yang kuat semacam itu tak akan mungkin mampu ditutup-tutupi oleh protokoler ketatanegaraan penyambutan tamu negara. Spontanitas....menunjukkan bukti kepribadian sejati (inner personality) yang ada pada seseorang.

Kedua, hal yang serupa di atas terjadi lagi saat di istana negara pada acara penanaman Pohon Besi di halaman istana itu. Jokowi secara sepontan mengangkat pot pohon Besi dan sekop untuk didekatkan ke Raja Salman. Saya melihat (meskipun hanya melalui youtube) jiwa ketulusan spontanitas sang presiden. Analisisnya sama dengan point satu di atas. Jelaslah dia sudah melupakan --tidak dengan sadar melupakan-- protokoler dimana tidak seharusnya terjadi presiden mengangkat pot. Tapi itu dilakukannya. Dilakukannya dengan sepontan, memang harus begitu melayani orang tua yaitu Raja Salman.

Ketiga, masih banyak sekali contoh-contoh sepontanitas itu atau ekspresi kesederhanaan yang ingin selalu dekat dengan rakyat dalam kunjungan blusukannya ke berbagai daerah. Kerumunan masa rakyat selalu didekati, disapa, dan lalu foto bersama. Ini resiko yang teramat besar yang berani diambil orang nomor satu di Indonesia. Jokowi banyak berkunjung ke wilayah-wilayah yang hampir selama kemerdekaan Indonesia belum pernah dikunjungi presidennya. Tidak jarang jokowi bersama rombongan makan di restauran lokal yang menyuguhkan makanan khas lokal. Ahh....ini semua pasti diinginkan oleh Jokowi. Direncanakan dengan itikad besar yang baik.

***
Gambaran di atas mungkin terlalu bersifat subyektif. Tetapi bagaimana dengan semua infrastruktur yang telah dibangun diera pemerintahan Jokowi yang baru berusia pendek ini. Bendungan, jalan trans Sumatera dan Papua, pembangkit tenaga listrik, dermaga, dan lapangan terbang yang dibangun di daerah-daerah terpencil sulit dijangka. Harga bensin di Papua yang kini sama dengan di Jawa. Pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan masih banyak contoh nyata lainnya. Bukankah itu realitas obyektif.

Saya ingin menyoroti bahwa di era kepemimpinan Jokowi inilah muncul pemimpin-pemimpin daerah yang ideal yang seperti diharapkan rakyat, yang semakin muncul ke permukaan. Contoh saja yang cukup lama adalah Walikota Surabaya, yang lain yang baru seperti Bupati Batang, Bupati Banyuwangi, Walikota Solo, Walikota Bandung, Gubernur NTB, dan masih banyak lagi yang sedang menuju menjadi pemimpin daerah dengan predikat baik. Mengapa begitu? Karena memang ada model contoh pemimpin yang baik yang bisa mereka tiru, yaitu Jokowi. 

Menjadi pemimpin daerah yang populis, berjalan dengan baik pemerintah daerahnya, dan dicintai rakyat...nampaknya menjadi "nikmat" dan berkah baru yang lebih memanusiakan pemimpin itu sendiri. Namun memang masih banyak pemimpin daerah lain yang belum mampu memaknai "nikmat" itu, sehingga masih berkubang dalam pola kekuasaan konvensional dan memupuk harta!  Pemimpin-pemimpin yang semacam ini memaknai "nikmat"-nya masih pada tahap "pengumpul-peramu" belum mencapai pada makna "melayani". Jelas tarafnya amat rendah!!

Juga sebuah kenyataan lain, bahwa ekonom yang sangat mumpuni seperti ibu Sri Mulyani, mau turun kembali ke kancah pemerintahan memperkuat kabinet Jokowi. Mengapa dia mau toh sudah ok sekali menjadi petinggi di World Bank dengan salary besar dan tanggungjawab untuk seluruh dunia. Saya kira ibu Sri masih sadar betul betapa sakitnya ketika mengikuti era kepemimpinan presiden sebelumnya! Perkiraan saya karena Pertama, bagaimanapun dia masih cinta Indonesia; Kedua, ibu Sri (mungkin) percaya kepada Jokowi bahwa presiden seperti inilah yang bisa saya ikuti dimana saya mampu dan berkesempatan mencurahkan seluruh kemampuan saya dengan benar, untuk membangun ekonomi Indonesia.

Presiden pilihan rakyat. Didukung tim kabinet yang mumpuni dan mantab. Berjalan dalam era tatapemerintahan yang visioner, bersih, dan tranparan....: apalagi yang akan kita cari selain segenap bangsa mencurahkan untuk kemajuan Indonesia dalam bidang dan kemampuan masing-masing. Saya kadang sangat khawatir, adakah setelah Jokowi seorang presiden yang mampu melebihi dia. Kalau tidak ada...bubar sudah bangsa ini kembali ke "titik nadir".

***
Persoalan bangsa bukan hanya kebutuhan infrastruktur. Presiden-presiden sebelumnya juga melakukan pembangunan infrastruktur meski mungkin kurang masif, kurang merata, dan mungkin dengan fokus lokasi yang kurang populis.  Visi "membangun dari pinggiran" di dalam Agenda Nawacita Kabinet Jokowi, pasti tidak hanya infrastruktur tetapi ada yang penting juga yaitu "revolusi mental".

Terlalu menekankan infrastruktur juga memiliki jebakan-jebakannya sendiri. Harus kita perhitungkan dengan matang siapa yang bisa mengambil keuntungan berlipat ganda dengan adanya infrastruktur. Sangat mungkin "nilai keuntungan" lipat ganda itu jatuh kepada orang-orang kota pemilik modal, atau pabrik-pabrik multiasional yang memanfaatkan tol tol dan jalur mulus ke pelosok terpencil tapi seret membayar pajak. Apa tidak ada manfaatnya bagi rakyat?! Jelas memang ada harga bahan pokok di lokal jadi murah, mobilisasi ke kota gampang dan murah. Tetapi akapakah semua itu memberikan efek ekonomi rumah tangga orang-orang desa di pelosok berlipat ganda: "sesuatu yang perlu dikaji sungguh-sungguh"!

Beberapa tahun ke depan sampai 2019 aspek "revolusi mental" seyogyanya lebih mendapatkan perhatian yang matang. Revolusi mental bukan hanya membuat jera para koruptor. Dia jauh lebih luas dari sekedar semacam itu. Bagi saya revolusi mental itu lebih berupa "civic education movement", suatu proses pendidikan untuk warga negara dalam banyak sekali aspek. Misalnya saja: aspek toleransi untuk menghargai perbedaan agama dan etnis; aspek partisipasi warga dalam politik dan pemerintahan daerah/lokal; aspek kesadaran dalam menjada sustainability lingkungan aspek edukasi gizi dan makanan bermutu kepada anak-anak; dan masih banyak sekali yang lain. Infrastruktur yang digarap sangat baik belum tentu dengan sendiri meningkatkan revolusi mental dalam berbagai aspek di atas sebab infrastruktur membutuhkan edukasi. Untuk menjaga infrastruktur yang sudah dibangun saja rakyat perlu di-edukasi.

Jadi pembangunan fisik membutuhkan dukungan pembangunan manusia/pemberdayaan yang sebanding, apalagi jika fasilitas fisik yang disediakan itu bagaikan "hadiah nomplok" (666)