Mempertanyakan Ketidakpastian Hidup Manusia
Oleh: Emil E. Elip
Oleh: Emil E. Elip
Hidup itu penuh kebetulan (by chance/by irony of fate).
Begitu pula di sisi lain, hidup itu sarat dengan ketidakpastian (uncertainty).
Banyak hal yang tidak kita harapkan atau tidak kita duga, terjadi, baik pada
sisi yang merugikan dan membuat sengsara atau pada sisi yang membuat kita
gembira atau menguntungkan hidup kita. Bagaimana umat manusia mensikapi
kebetulan dan ketidakpastian telah mendorong pencarian manusia atas apa yang
disebut “keilahian”, Sang Maha Agung dan Kuasa, Allah, Tuhan, Dewa....yang
(mungkin) tidak pernah tuntas hingga kini....
Alam Semesta Yang Tak Terlampaui
Anda pasti pernah memandang ke langit malam yang gelap berbintang, bulan,
berkeli-kelip nan amat luas. Seluas apa alam semesta ini mampukah Anda
bayangkan garis batasnya? Kita higup di planet bumi, yang merupakan bagian dari
suatu gugus galaxi. Menurut ilmu pengetahuan alam di alam semesta ini, tidak
hanya ada satu galaxi saja yang kita tinggali ini. Ada ratusan gugus galaxi
bahkan mungkin ribuan. Di dalam galaxi itu ada udara, karbon dioksida,
plankton, hewan, tumbuh-tumbuhan, gas, dan bermacam-macam lain. Mungkin saja
materi-materi semacam itu ada pula di galaxi-galaxi lain. Tidak mampu kita
bayangkan bagaimana semua itu bekerja dengan kemampuan kapasitas otak kita.
Ilmu pengetahuan membagi
alam semesta (kosmos) ini menjadi dua, makro-kosmos dan mikro-kosmos. Orang Jawa
mengkategorikannya menjadi Jagad Gedhe
(makro kosmos) dan Jagad Cilik
(mikro-kosmos). Alam semesta diluar diri kita yang tak mampu kita bayangkan
luasnya itu disebut Jagad Gedhe, alam semesta di dalam diri kita sendiri (manusia)
disebut Jagad Cilik. Benarkah diri kita sendiri ini bagaikan alam
semesta/kosmos/jagad? Memang benar, manusia adalah suatu materi yang
kompleksitasnya bagaikan makro-kosmos yang maha luas dan sangat sulit diselami
atau dipahami. Menurut ilmu biologi dan anatomi, manusia terdiri atas jutaan
syaraf dan otot, air dan daging. Dia memiliki enzim-enzim dan hormon yang
memicu dinamisasi amarah, rasa iba, kegembiraan, kesusahan, segala jenis nafsu,
dsb. Dia bernapas secara otomatis, dikaruniai otak untuk mengontrol semua
syaraf itu secara otomatis. Keinginan, harapan, kesedihan, kesenangan, rasa dengki,
amarah, kejujuran, ketulusan, rasa lapar dan haus, tipu-daya, dll milik manusia
sangat luas, yang belum tuntas dipelajari oleh manusia sendiri hingga saat ini.
Manusia bagaikan makro-kosmos. Manusia adalah bagian dari dan alam itu sendiri.
Manusia mahkluk paradoksal!
Kondisi dan situasi tak
terukur, tak terkendali, tak terprediksi, tak terpahami dengan demikian adalah
bagian dari alam semesta, serta bagian dari diri manusia sendiri, entah yang
berada dan berasal dari makro kosmos maupun mikro kosmos. Manusia adalah bagian
dari ketidakpastian di satu sisi, begitu pula dia adalah bagian dari kondisi kebetulan
di sisi yang lain. Selama hidupnya dan selama proses sejarah manusia, dia
menjadi bulan-bulanan kondisi “ketidakpastian” dan “kebetulan”.
Ketidakpastian Hidup
Panen yang gagal total oleh karena kekeringan panjang, atau oleh karena
hama tertentu, pasti merupakan hal-hal yang tidak terduga, atau tidak mampu
diprediksi secara tepat sempurna sebelumnya oleh para petani atau
masyarakat-masyarakat yang berbasis agraris. Menghilangnya atau biasa disebut
langkanya hewan-hewan perburuan, atau tangkapan ikan-ikan, tentu juga menjadi
kegelisahan yang berekepanjangan para kaum pemburu dan penangkap ikan sebagai
tulang punggung kehidupan mereka. Manusia pada awal-awal peradaban mungkin
mampu mengidentifikasi gejala-gejala itu, namun tidak mampu menerka seutuhnya
apa yang terjadi di dalam alam ini sehingga membawa petaka dan bencana.
Ketidakmampuan ini menyebabkan menumbuhkan “ketidakpastian”.
Datangnya hama,
kekeringan panjang, kelangkaan air, munculnya predator-predator baru atas hewan
makanan sehari-hari, hujan yang terus menerus dan banjir, kilat yang
menyambar-nyambar...dianggap sesuatu yang “mengganggu” dan mengancam kehidupan
masyarakat. Kehadiran pengganggu ini tentu tidak diharapkan, bahkan tidak
terduga akan berkepanjang atau sangat mematikan. Ia amat sangat ingin dihindari
manusia, dan oleh karena itu dianggap membawa kondisi dan situasi
ketidakpastian hidup. Ketidakpastian ini telah memicu frustasi dalam sejarah
kehidupan manusia.
Kaum papa dan miskin
kota yang hidup dari meminta-minta, mengumpulkan sampah untuk dijual, atau jual
beli barang-barang bekas dan rongsokan, mereka yang mengandalkan hidup dari
mengamen keliling, dan sebagainya...sebagian besar selalu mengatakan
“penghasilannya” tidak pasti. Dengan kata lain ketidakpastian atas besar
kecilnya uang atau pendapatan hari itu yang diperoleh, telah mengganggu atau
bahkan mengancam kemudahan untuk bertahan hidup. Frustasi atas ketidakpastian
semacam itu bukan hanya dirasakan oleh kaum miskin saja. Orang-orang kaya yang
tidak kekurangan uang untuk segala sesuatunya pun tetap merasakan adanya
“ketidakpastian”, meskipun mungkin kadarnya atau konteksnya tidak sedalam para
kaum miskin. Di dalam situasi yang tidak aman, banyak tawuran, perampok
merajalela, konflik sosial, dll, mereka yang tergolong kaya harta pun akan
mengalami situasi ketidakpastian apakah harta mereka akan aman dan apakah
proses mencari uang yang biasanya gampang akan tetap dapat berlanjut.
Jadi pendeknya, situasi
ketidakpastian telah mewarnai dan selalu membayangi ancaman terhadap umat
manusia sejak jaman kuno hingga saat ini dalam segala macam bentuk. Dan sejak
saat itu pula sejarah manusia selalu berusaha mencari solusi dengan jalan
mencoba untuk “berdamai” dengan ketidakpastian. Jika ketidakpastian itu
berlanjut terus hingga sejarah umat manusia saat ini, dengan demikian
ketidakpastian itu adalah hakiki yang tidak mungkin diselesaikan oleh manusia
melalui kapasitas otak, pemikiran, dan keilmuannya.
Kebetulan Dalam Kehidupan
Ketakutan-ketakutan dan
kekhawatiran manusia atas ancaman terhadap proses hidupnya, telah menumbuhkan
psikologis kejiwaan dimana manusia tidak bisa mempercayai seratus persen bahwa
keberhasilan panen, terhindar dari bencana, penghasilan ekonomi yang melimpah,
dan hal-hal positif lainnya sebagai upaya manusia sendiri. Mereka yang telah
dipersonifikasi oleh manusia sendiri sebagai dewa/dewi (entah pembawa petaka
maupun yang membawa kesejahteraan), dianggap dan dipandang sebagai pemberi --atau
yang memungkinkan adanya-- hal-hal positif seperti panen melimpah, tidak
terjadinya bencana, rahmat, kebahagiaan, kondisi aman tanpa konflik,
penghasilan ekonomi lancar, dsb.
Itulah yang menjadi akar
manusia mengembangkan konsep kondisi “kebetulan”, yang dalam bahasa Inggris
salah satunya diterjemahkan by the irony
of fate. Hal ini menandakan bahwa hal-hal positif yang digambarkan tadi
dianggap diluar kuasa manusia, sebagai hal tidak terduga (tetapi sesungguhnya
diharapkan), melampaui batas harapan manusia. Inilah makna situasi atau kondisi
“kebetulan” bagi manusia. Manusia hanya bisa atau menentukan posisi berperan
berharap, padahal dia melakukan segala upaya agar semuanya yang diharapkan itu
terjadi hanya waktunya tidak terduga. Namun sesuatu hal yang Ilahi yang
(dianggap) menentukan semua hal positif itu terjadi.
Sebagai ungkapan
penghormatan atas kondisi “kebetulan” yang baik yang sudah diberikan oleh
dewa/dewi (sang ilahiah) itu, manusia menghaturkan puja-puji mantra-doa,
wewangian dan nyanyian, sesembahan korban, memantapkan berjalannya ritual rutin
dan menentukan norma-norma. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, maka baik
untuk hal-hal “ketidakpastian” maupun yang “kebetulan”, posisi manusia
nampaknya selalu inferior. Kepada semuanya itu manusia menghaturkan korban dan
sesembahan.
Keilahian: “Mekanisme Untuk Berdamai”
Masyarakat-masyarakat kuno di Mesir, Inka, Indian, Mesopotamia, dll tidak
mampu menalar dengan kapasitas otak-pengetahuannya mengapa paceklik dan bencana
data dalam kehidupan mereka. Yang mereka tahu relatif (mungkin) pasti adalah
adanya materi-materi atau kondisi “pengganggu”. Siapakah mereka ini?
Sesungguhnya manusiapun tak mampu memahamai siapa dan apa materi dan kondisi
pengganggu ini. Dia adalah bagian dari alam semesta maha luas tak terjamah.
Agar mampu untuk
memahami dan mengidentifikasi materi-materi pengganggu dari alam semesta itu,
manusia mencoba untuk melakukan “personifikasi” agar dia mampu didekati dan
diajak berdamai dalam kapasitas otak-pengetahuan mereka. Maka muncullah
“dewa/dewi pembawa petaka”, pembawa sial, pembawa bencana, pembawa
kekeringan/kelaparan, pembawa penyakit, dll. Dan manusia kemudian memberi nama
kepada dewa-dewi pengganggu tersebut seuai sifat dan asalnya. Berlandaskan
identifikasi personifikasi itu maka kemudian manusia “mencoba berdamai” dengan
“menyogok” persembahan atau korban, baik berupa manusia (perempuan/lelaki
belia), kambing yang terbaik, ayam hitam, ayam putih, dll. Setiap kelompok
kebudayaan manusia memiliki cara tersendiri melakukan identifikasi tersebut, sekaligus
cara tersendiri melakukan sesajinya atau korbannya.
Tidak hanya berupa benda
yang disodorkan manusia untuk berdamai dengan ketidakpastian dalam bentuk
dewa-dewi atau sosok lain pembawa petaka dan bencana itu. Manusia mencoba
melakukan reintepretasi sikap dan periaku yang mungkin diharapkan para
dewa-dewi pembawa petaka itu atas manusia. Maka manusia mengembangkan
“norma-norma”, aturan, seperangkat tata niai-perilaku serta ritual agar
dewa-dewi pembawa petaka itu tidak murka. Timbullah tidak boleh kencing
disembarang tempat, menjaga lokasi-lokasi/pohon, batu, dsb agar tetap utuh asri
dan terjaga. Mengembangkan upacara-upara secara rutin, dll.
Disamping dewa-dewi
pembawa bencana dan petaka, manusia menandai adanya kejadian yang serba
kebetulan bagus. Misalnya saja panen yang melimpah, hewan buruan dan ikan yang
amat mudah diperoleh, suasana yang aman dan tenang tanpa bencana alam. Kepada
siapa manusia akan “menghormat” atas kebahagiaan yang diperoleh itu? Lagi
manusia melakukan personifikasi atas materi-materi dan kondisi alam semesta
yang membawa kebahagiaan dan keuntungan itu. Maka ada dewa-dewi suci pemberi
kesejahteraan. Misalnya saja Dewi Sri (di Jawa) atau Dewi Kuan In (di Cina).
Kepada mereka manusia juga menghaturkan sesaji dan kurban, serta norma
perialaku dalam bentuk ritual-ritual yang mungkin diharapkan para dewa-dewi
tersebut.
Dewa/dewi pencaga petaka
dan dewa/dewi pembawa berkah, oleh manusia tidak saling dipertentangkan. Kedua
dianggap ada di dalam alam semesta. Jika panen melimpah tidak berarti dewa/dewi
pembawa petaka kalah. Begitu pula bila terjadi paceklik tidak berarti dewa/dewi
pembawa berkah terkalahkan. Kedua materi alam itu adalah berimbang, saling
mengisi dalam peran masing-masing seiring pergulatan waktu, kondisi, dan peristiwa.
Manusia bertugas menyeimbangkannya, sebagaimana manusia meinginkan kondisi yang
seimbang dan harmonis antara petaka, bencana, kebahagiaan, dan kesejahteraan.
Manusialah yang berperan penting atas apa yang dia harapkan melalui
ritual-ritual yang harus dilakukan kepada kedua sifat dewa/dewi itu.
Kepada dua jenis materi
dan kondisi alam yang dipersonifikasi oleh manusia sebagai dewa-dewi pembawa
petaka dan dewa-dewi pembawa kebahagiaan dan kesejahteraan itu, manusia
mempersepsikannya sebagai Yang Maha, maha pemurah, maha kejam, maha penjaga,
maha pengaman, dll....yang diberi sifat “keilahian”. Kepada Yang Ilahi hasil
personifikasi manusia atas alam semesta itu, manusia menggantungkan harapan
atas perjalanan hidupnya, kebahagiaannya, keberuntungannya, rasa aman
sosialnya, kehidupan ekonominya, kehidupan sosial kemasyarakatannya, dll.
Dengan kata lain, secara logika, manusia berdamai dengan ketidakpastian dan
kebetulan yang ada pada dirinya sendiri.
Mencermati perkembangan
historisitas hidup manusia mensikapi alam semesta beserta kondisi kebetulan dan
ketidakpastian itu, memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa manusia sangat
sadar dia merupakan alam semesta (mikro-kosmos/jagad cilik) dan bagian dari
alam semesta yang lebih luas (makro-kosmos/jagad gedhe). Melalui kemampuan
otak-pengetahuan yang dimilikinya, manusia mengembangkan mekanisme adaptasi
yang luar biasa terhadap ketidakpastian dan segala kebetulan di dalam proses
kehidupannya. Semua relasi-relasi itu jelas tergambar secara logis dan tidak
dimulai dari cerita mitos atau legenda. Mitos dan legenda muncul kemudian
setelah manusia mengkreasi adanya dewa/dewi. Mitos sengaja dirancang oleh sang
kreator (manusia) untuk mengukuhkan dan menguatkan sifat keilahian dewa/dewi
kreasinya.
Adaptasi tersebut
menyangkut dua ranah baik segi fisik maupun psikologis. Berdampak pada fisik
karena manusia menjadi lebih sehat, mampu memanage ketersediaan makanan, mampu
menciptakan ruang berteduh dari cuaca alam, menciptakan api untuk kehangatan,
dll. Berdampak pada segi psikologis karena merasa menjadi bersahabat dan
dilindungi oleh dewa/dewi, merasa tenang, memiliki pelindung yang kepadanya dia
bisa berharap/minta tolong, merasa sejahtera, dsb.
Agama: “Intepretasi Untuk Berdamai”
Segala sesembahan,
kurban, puja-puji musik-nyanyian-dan mantra, ritual-ritual yang dikembangkan
berikut dengan tata nilai yang disusun di awal-awal kebudayaan manusia seperti
sudah dijelaskan sebelumnya, menurut saya adalah sebuah sistem berpikir dan
mekanisme yang sudah sempurna. Semuanya berupa kerangka berpikir yang
dikembangkan manusia demi keharmonisannya dengan alam semesta (di dalam dirinya
dan diluar dirinya) melalui media personifikasi (beserta simbol-simbolnya) yang
disanjung sebagai “Sang Ilahi”, “Sang Maha kuasa”.
Sesuatu yang menarik
untuk digaris bahwahi adalah bahwa yang “Ilahi” (beserta sifat keilahiannya)
datang kemudian setelah manusia mempersonifikasikan sifat-sifat alam yang penuh
ketidakpastian dan unsur kebetulan tersebut. Manusia menjadi “pusat”-nya.
Manusia kreatornya. Manusialah yang menyusun perangkat-perangkat yang
dibutuhkan untuk mensikapi ketidakpastian dan unsur kebetulan, yang
ujung-ujungnya adalah demi kenyamanan kehidupannya. Namun oleh karena sifat
hakiki manusia yang inferior atas alam semesta (yang muncul dalam bentuk ketidakpastian
dan kebetulan terhadap manusia), manusia meletakkan posisi tidak jumowo-kementhus (tidak sombong,
congkak, merasa paling hebat). Manusia membentuk dirinya sendiri sebagai
humanis penuh atas sikapnya terhadap alam semesta.
Setelah beratus abad
sesudah awal-awal abad kebudayaan manusia itu, muncul fenomena baru dalam
mensikapi ketidakpastian dan unsur kebetulan. Fenomena baru itu ditandai dengan
perubahan yang amat mendasar, yaitu bahwa “keilahian” itu tiba-tiba ada, hadir
bersama adanya alam semesta. Sifat-sifat keilahian itu, yang dipersonifikasi
sebagai “Sang Ilahi” datang duluan sebelum manusia. Manusia tinggal menerima,
mengamininya, dan dituntut percaya saja seratus persen. Manusia menjadi bukan
kreator lagi. Manusia digambarkan lebih inferior bahkan kotor, penuh “dosa-dosa
asal”. Fenomena baru mengenai relasi antara manusia dengan “Sang Ilahi” itu
dimulai sejak munculnya apa yang disebut agama samawi.
Jika jauh sebelumnya
manusia mengenali dan memahami Sang Ilahi dalam rupa beberapa bentuk dewa/dewi
sebagaimana beragamnya sifat hakiki alam semesta, kini mengenalinya hanya dalam
satu bentuk yaitu Tuhan Allah (kadang disebut Tuhan saja, kadang disebut Allah
saja) dengan satu sifat yaitu “keilahian” (satu sifat Ilahi). Berbagi sifat
turunannya seperti Sang Maha Kuasa, Sang Khalik, Allah Bapa, Yang Maha Esa,
Sang Pemurah, dsb. Dengan demikian peradaban relasi manusia dengan Sang Ilahi
terputus ditengah jalan dengan munculnya ajaran Kristiani melalui tokoh Yesus,
sebagai agama samawi awal yang kemudian diikuti dengan agama-agama samawi
lainnya dengan tokoh panutan dan ajaran yang saling berbeda.
Dari mana semua ini
berawal? Mengapa, katakanlah, agama awal manusia dengan beberapa sifat
keilahian itu seakan dimunafikkan dan ditinggalkan? Bagaimana agama dengan satu
Tuhan itu bisa dijelaskan? Lantas bagaimana fenomena agama baru tersebut
menjelaskan ketidakpastian dan unsur kebetulan yang sejak awal dipandang
sebagai sifat hakiki dari alam semesta?
Bapa (nabi) Abraham sang pencetus samawi. Penelusuran mengenai keperayaan atau penyembahan terhadap satu Tuhan
(sebelumnya disebut dewa/dewi) dimulai dari Abraham. Diceritakan dalam kitab
samawi bahwa pada suatu hari (entah siang atau malam) Abraham mendapat “mimpi”
(agama samawi sering memakai istilah “wahyu”), bahwa dia akan menjadi “Bapa”
(pemimpin suku, kaum) yang besar untuk seluruh bangsa jika dia menyembah hanya
kepada “satu Tuhan”. Mimpi itu menyuruh Abraham untuk bermigrasi ke lokasi lain
keluar dari kawasan Sumeria yang dia tinggali. Maka Abraham bersama keluarga
besarnya eksodus ke tanah Yudea, dengan memegang janji Tuhan itu.
Abraham kemudian
mempraktikkan ritus, yang sesungguhnya masih mirip dengan ritual dewa/dewi,
hanya saja dilakukan terhadap satu bentuk relasi yang dia anggap Ilahi (Tuhan)
melalui satu ritus korban (berupa dombang/kambing). Begitu konsistennya dia
melakukan ritus tunggal itu sampai-sampai ketika Tuhan memerintahkan agar
Abraham harus melakukan ritus korban anaknya sendiri, dia pun sanggup. Ini
terjadi jauh sebelum Yesus lahir. Jadi jelas Tuhan atau Sang Ilahi yang
dipersonifikasikan oleh Abaraham, tidak jauh beda dengan Sang Ilahi yang
dikreasikan oleh manusia dalam awal-awal kebudayaan puluhan atau mungkin
ratusan abad sebelumnya.
Kepercayaan terhadap satu Tuhan (monoteisme)
yang dikembangkan Abraham itu tidak cukup kuat dipegang oleh anak turun
Abraham. Praktik-praktik menyembah banyak Tuhan (dewa/dewi) masih marak
terjadi. Lantas diceritakan bahwa sebagai hukumannya Sangak Ilahi (Tuhan)
membuang bangsa keturunan Abraham itu ke Mesir. Saya agak” sulit mempercayai cerita tentang “dibuang
ini. Saya menduga kaum keturunan Abraham ini diserbu oleh bangsa-banga lain di
sekitar Timur Tengah, apalagi mereka memiliki cara ritual yang jauh berbeda
dengan bangsa penyerang.
Di dalam pengasingan di
Mesir sebagai bangsa budak, kaum keturunan Abraham ini nampaknya membangun
konsolidasi yang lebih mantab sebagai satu bangsa yang mengidentifikasi diri
sebagai bangsa Yahudi. Singkatnya setelah sekian lama, bangsa ini berhasil
melakukan eksodus kembali ke tanah Yudea tempat mereka berasal. Dalam
perjalanan eksodus ke tanah Yudea tersebut tentu bukan perkara mudah. Pasti
penuh tantangan, serangan, cobaan, kematian, kepedihan, pengkhianatan, dsb.
Kondisi “ketidakpastian” selalu membayangi para eksodus bangsa pengungsi ini. Dalam
perjalanan eksodus yang memakan waktu puluhan tahun itu, kembali bangsa ini
mengukuhkan kepercayaannya terhadap satu Tuhan dengan membuat pakta yang
disebut “Sepuluh Perintah Allah”. Pengukuhan sepuluh perintah itu serta
pemantapan sistem ritus kepercayaan terhadap satu Tuhan, boleh jadi merupakan
mekanisme adaptif terhadap kondisi ketidakpastian yang amat sangat menekan dan
membuat penderitaan. Manusia (bangsa Yahudi) ingin mensiasati sekaligus
berdamai dalam dirinya sendiri (mikro kosmos/jagad cilik) dan dengan alam semesta
atau alam sekitar (makro kosmos/jagad gedhe) yang selalu memicu ketidakpastian
dan membawa penderitaan.
Amat menarik untuk
mengkritisi Sepuluh Perintah Allah ini. Dia bisa dipandang sebagai “perintah”
Allah untuk mengukuhkan norma ritual satu Tuhan. Tetapi dia bisa juga dilihat
dari sisi konsolidasi sosial bangsa Yahudi sebagai satu kesatuan sosial dan
hukum yang saat eksodus dipimpin oleh Musa. Secara psikologis bangsa yang
tercerai berai semacam itu membutuhkan konsolidasi sosial yang mantab, dan sangat
mungkin sepuluh perintah itu merupakan abstraksi manusia Yahudi jaman itu untuk
menjadi satu bangsa. Pakta itu kemudian dilekatkan sifat keilahian sebagai
Perintah Allah, dengan harapan akan selalu dipatuhi oleh setiap individu
Yahudi. Saya ambil contoh perintah “Jangan
mencuri milik sesamamu” dan “Jangan
berzinah terhadap istri orang lain”, sangatlah bersifat aturan
sosial-horisontal agar kaum ini tidak menjadi kacau dan chaos di masa datang.
Sampai saat perintah itu diciptakan, tata cara ritus bangsa Yahudi masih mirip
dengan yang dilakukan oleh Abraham.
Ketika bangsa Yahudi
dari pengasingan itu berhasil kembali masuk ke tanah Yudea, beranak pinak dan
menjadi besar dengan kebudayaan yang tinggi, maka ritual atas satu Tuhan Ilahi
itu semakin besar. Apa yang sering disebut di dalam kitab-kita suci Kristen
dengan Kuil Raja Salomon (Sulaeman) dan dilanjutkan dengan Raja Daud, adalah
kreasi yang lebih spektakuler, besar, dan megah dari bentuk tempat ritus-nya
Abraham. Tetapi struktur dan ritualnya sama, yaitu pemujaan serta penyembahan
terhadap satu relasi keilahian (Tuhan). Pada era kejayaan Salomon dan Daud ini
ritual itu sudah dilengkapi dengan kitab-kitab sebagai penuntut atau panduam
karena memang kebudayaan manusia sudah mengenal baca tulis serta media tulis.
Sistem ritual terhadap satu relasi ilahiah yang disebut Tuhan ini semakin luas
dianut seiring semakin besanya anak turun Abraham yang disebut bangsa Yahudi.
Sistem kepercayaan dan ritual tersebut kemudian diberinama Yudaisme.
Sampai pada posisi ini
ritus kepercayaan Yudaisme, meski hanya dengan satu relasi Ilahi (Tuhan), tidak
jauh beda strukturnya dengan bangsa-bangsa atau suku-suku dibelahan dunia yang
lain yang masih menyembah banyak dewa/dewi dengan berbagai ritualnya.
Era Mesianik dan Yesus. Era munculnya
mesianik dan lahirnya Yesus merupakan era dimana bangsa Yahudi mengalami chaos
dan gunjangan mendalam dalam pemikiran mendasar tentang siapa sesungguhnya Sang
Ilahi (Tuhan) itu. Bangsa Yahudi yang historisitasnya “jatuh-bangun” mulai dari
pengasingannya di Mesir, kemudian kembali ke tanah Yudea dan menjadi besar,
ternyata diwarnai dengan peperangan yang tak kunjung berhenti dari bangsa-banga
lain di sekitarnya. Invasi atau tepatnya penjajahan dari kekaisaran roma yang
menguasai hampir seluruh wilayah Timur Tengah dan Mediteranian yang berlangsung
berabad-abad, termasuk wilayah Yudea, menjadi moment sejarah yang paling
menyedihkan dan menyakitkan.
Di tengah-tengah banagsa
Yahudi muncul sebuah pemikiran dan harapan yang sangat kuat tentang sosok
Mesias. Sosok pahlawan pembebasan dari penindasan penjajahan. Mesias dalam
pemikiran bangsa Yahudi sesungguhnya adalah tokoh perlawanan sosial yang bisa
dianut untuk membebaskan bangsa mereka. Ini tidak ubahnya seperti spikologi
bangsa terjajah lainnya yang menginginkan tokoh kepahlawanan. Dia diharapkan
bagaikan sosok “nabi” tetapi nabi pembebasan dari penjajahan. Menariknya,
mungkin sebuah kebetulan, didalam situasi bangsa yang mendambakan nabi
pembebasan (Mesias) itu, muncul sosok lain yang disebut Yesus. Yesus pun
diprediksi oleh bangsa Yahudi sebagai mesias, yang kemungkinan kemunculannya
telah diperhitungkan melalui wangsit dan nujum bangsa Yahudi.
Era mesianik sampai
munculnya Yesus sekaligus, membuktikan bahwa sedang terjadi krisi sosial dan
krisis ketidakpastian yang sangat mencekam di dalam bangsa Yahudi. Kelompok
tertentu ingin kebebasan dari penjajahan Roma. Kelompok yang lain telah sangat
muak terhadap kondisi krisis sosial yang amat meluas, termasuk krisis moral,
kemiskinan dan krisis pengharapan, perampokan, pelacuran, dll tentu saja
termasuk krisis kepercayaan atas nilai keilahian monoteisme yang dianut.
Kelompok ini mengharapkan perubahan yang amat lebih mendasar sehingga
mengharapkan munculnya “nabi baru” yang mampu menegakkan kembali sistem
kepercayaan Yahudi atas hal-hal yang ilahiah. Kelompok yang pertama nampaknya
jauh lebih banyak karena sesungguhnya semua pranata tatanan sosial dan
kepercayaan (agama Yudaisme) sudah lengkah dan sempurna. Mereka hanya butuh
nabi yang dapat mengusir Roma secara mendasar.
Yesus, Ajaran Sosial, dan Samawi. Yesus bisa jadi memang merupakan sosok real. Bukti-bukti arkeologis ilmiah
menunjukkan ciri identifikasi keberadaannya baik dari sudut nama dia, nama
keluarga-keluarganya, sosok peninggalan kuburannya dan kubur keluarganya. Yesus
yang muncul memanglah sosok yang memberikan ajaran-ajaran baru tentang relasi
antar manusia yang setara dan penuh cinta kasih. Dia bisa jadi juga mengajarkan
tentang reintepretasi baru relasi antara manusia (umat) dengan Tuhan (yang
sering disebut Sang Bapa). Apakah semua ajaran Yesus itu revolusioner dalam
konteks masyarakat Yahudi kala itu? Ya...memang revolusioner jika dikaitkan
dengan kondisi krisis sosial dan krisis kepercayaan bangsa Yahudi yang
mendambakan mesias sang pembebas.
Bagi kaum miskin dan
termarginalkan di tengah-tengah bangsa Yahudi yang dilanda segala bentuk
ketidakpastian dan buramnya harapan, ajaran Yesus menjadi oase yang amat menyegarkan
dan membahagiakan. Bukankah sejarah manusia menginginkan untuk menekan
ketidakpastian melalui jalan berdamai dengannya melalui makna-makna dan simbol
baru? Itu sebabnya para pengikut Yesus mula-mula yang setia adalah kaum miskin.
Inilah letaknya bahwa Yesus bisa juga disebut sang pembaharu sosial. Bukankah
hal seperti ini tidak jauh beda dengan Gandhi dan pahlawan-pahlawan lain yang
sepadan dengannya?
Inti ajaran samawi yang
disebarkan oleh Yesus akhirnya yaitu hanya Allah Bapa-lah yang Ilahi (Tuhan).
Hanya kepadnya kita pasrahkan hidup dan percaya seratus persen kepadanya. Kita
manusia ini terlahir dengan membawa dosa asal, dan oleh karena itu harus
disebuhkan agar kita manusia mendapat rahmat dan keselamatan dari Allah Bapa.
Saya (Yesus) adalah “jalan” menuju Allah Bapa karena saya dan Bapa adalah satu.
Manusia tidak boleh mengkreasi sendiri relasinya dengan Allah Bapa. Semua sudah
diberikan bahkan termasuk doa utama yang harus diucapkan yaitu Doa Bapa Kami.
Tentu ajaran seperti ini
tidak diharapkan oleh kelompok Yahudi yang hanya menginginkan mesias sang
pembebas penjajahan. Bagi mereka yang diinginkan adalah usir Romawi supaya
mereka dapat mengembangkan kebudayaan, sosial ekonomi, kesejahteraan dan
kehidupan religiusitas mereka tanpa tekanan dan ancaman. Mereka amat yakin atas
kemampuan bangsa Yahudi (yang dalam banyak kitabnya disebut “bangsa terpilih)
untuk maju dan sejahtera. Itu sebabnya ajaran-ajaran Yesus dan pengikutnya
ditentang karena dianggap mashab lain yang menyesatkan, atau dianggap hendak
membentuk kekuatan baru diantara kondisi bangsa yang sedang kacau dan chaos.
Jangan lupa pada zaman
Yesus hidup ajaran-ajaran atau pemikiran-pemikiran lain dibelahan dunia lain
juga sudah amat berkembang. Wilayah Timur Tengah, Mesir, Turki, dan Yunani
telah lebih dulu memunculkan pemikiran-pemikiran sosial melalui filsuf-filsuf
besar seperti Plato, Aristoteles, dll. Mari kita cermati bahwa di dalam
kitab-kitab Kejadian, Kitab Taurat, dll, yang ditulis pula dalam kitab suci
Kristen dan Islam ada lintasan dokumen sejarah yang sama. Simbol dan ajaran
dalam kitab-kitab agama Kristen banyak simbol dari dewa-dewi Mesir dan dewa-dewi
Soroastran (sistem kepercayaan kuno bangsa Sumeria di Siria). Sementara
ajaran-ajaran yang terkait untuk mengatur hubungan antar individu tidak jauh
berbeda dengan yang sudah diajarkan oleh Plato dan Aristoteles.
Pertanyaan kunci yang
harus kita jawab adalah apakah manusia yang menganut kepercayaan keilahian
melalui dewa-dewi sebagaimana dikembangkan kebudayaan-kebudayaan awal manusia,
mereka tidak masuk “surga” sebagaimana menurut ajaran agama samawi? Tidakkah
kita curiga, jangan-jangan semuanya ini hanyalah sempalan mashab seperti
teori-teori sosial yang selalu diperbaharui oleh pemikir-pemikir baru? Jika
memang begitu maka manakah yang benar dan yang sungguh menyelamatkan manusia?
Mungkinkah semua ini hanyalah cara manusia “mencari jalan keselamatan” untuk
mensiasati dan mensikapi akan ketidakpastian dan unsur kebetulan terhadap alam
semesta? Semakin pandai manusia dan semakin tinggi kadar kebudayaannya, semakin
membutuhkan hal-hal baru berkompromi dengan ketidakpastian dan unsur kebetulan
yang hakiki. Bukankah agama (samawi) itu kini penuh relung, penuh sempalan,
penuh mashab intepretasi, penuh sekte ajaran? Lantas dimanakah manusia sebagai
bagian dari alam semesta itu sendiri? Masihkah dia memiliki kebebasan untuk
menentukan apa yang diyakininya dalam mensikapi ketidakpastian dan unsur
kebetulan?
Penutup:
“Mencari Agama Yang Manusiawi
(Humanis)”
Sifat religiusitas
adalah sifat dasar yang sudah ada di dalam diri manusia. Sifat dan sikap itu
adalah sifat yang mempercayai ada kekuatan di luar diri manusia yang tidak
mampu dinalar dan diprediksi oleh otak-pengetahuannya. Kekuatan di luar manusia
itu adalah kekuatan hakiki alam semesta, yang kemudian muncul dan memicu
ketidakpastian bagi manusia. Oleh sebab itu manusia mencoba mengakali atau
lebih halusnya berdamai, melalui media kapasitas otak-pengatahuannya juga,
dengan menciptakan sistem pengetahuan, nilai, aturan serta norma untuk
menghormati gejala-gejala alam dan ketidakpastian yang diakibatkannya. Sistem
pengatahuan ini kemudian disebut sistem kepercayaan terhadap keilahian dan
mekanisme ritual yang dibutuhkannya. Dalam bahasa modern itu disebut agama.
Agama yang dimulai atau
dilandasi melalui upaya manusia untuk “menghormati” alam semesta berserta
gejala-gejala positif maupun negatif yang diakibatkannya, nampaknya lebih
humanis dari agama-agama samawi yang dimulai dari seperangkat nilai mengenai
kekuatan dan keilahian Allah Bapa. Agama-agama “kuno” itu justru lebih mampu
membawa manusia lebih arif dan bermartabat dalam mensikapi ketidakpastian yang
memilukan dan unsur kebetulan yang pasti membahagiakan manusia. Mengapa begitu?
Karena perangkat nilai religiusitas dan ritualnya cocok, sepadan, sesuai dengan
kapasitas kehendak otak-pengetahuan manusia.
Agama samawi,
belum-belum sudah menempatkan manusia berkubang dalam “dosa asal”, dosa yang
secara konseptual religiusitas diwariskan manusia dari generasi ke generasi di
dalam dogma-dogmanya. Tentu konsep ini dengan mudah dicerna juga oleh manusia
karena pada prinsipnya manusia adalah mahkluk lemah secara psikologis dan
inferior. Dosa asal ini bisa muncul karena adanya gejala “oposisi biner” dalam
psikologis kejiwaan manusia. Ada ketidakpastian ada kebetulan, ada senang ada
susah, ada kebahagiaan panen ada kesusahan karena gagal panen, ada lahir ada
mati, ada perempuan ada laki-laki, ada posisi kiri ada posisi kanan, ada atas
ada bawah, dst. Maka jika Allah Bapa dikonsepsi sebagai Yang Maha Kuasa dan
Suci, maka manusia adalah pasti harus dalam posisi paling lemah dan tidak suci
(berdosa).
Dari mana sebutan Allah
Bapa itu muncul? Dari cerita-cerita penampakan dan mimpi yang ditulis dalam
kitab-kitab samawi dimana penampakan/mimpi para nabi mengatakan bahwa sosok
dalam mimpi itu menyebut diri “Allah”. Mengapa Allah kemudian disimbolkan
sebagai “laki-laki”? Itulah kapasitas personifikasi oleh otak-pengetahuan
manusia jaman munculnya nabi-nabi samawi. Sebab jika tidak disimbolkan secara
personifikatif maka akan amat sulit mengajarkan agama-agama samawi itu kepada
para umat manusia. Dan pada jaman munculnya nabi-nabi samawi kebudayaan manusia
sangat bersifat patriarkis. Khusus tentang simbolisasi sexis ini, menurut saya
agama kuno lebih demokratis karena ada dewa laki-laki ada dewi perempuan, ada dewa/dewi yang jahat ada dewa/dewi yang
baik. Dunia keilahian amat mirip dengan dunia kita, dunia manusia.
Sifat relasi kita
manusia dalam sistem kepercayaan atas keilahian samawi adalah hubungan “tidak
seimbang”, tidak sepadan, binary oppressed relationship, Allah Bapa suci
manusia dosa, Allah Bapa maha kuasa kita lemah, Allah Bapa memerintahkan dengan
dogma kita penurut/melaksanakan, Allah Bapa pemilik surga kita adalah neraka, ...dst..dst.
Dalam sistem kepercayaan atas keilahian agama-agama kuno, manusia berada dalam
posisi “berdialog” dengan sang alam semesta pembawa ketidakpastian. Manusia
bisa memiliki kesempatan untuk “bernegosiasi” sejauh yang mampu dia pahami. Di
sini manusia bukanlah insan “pendosa” sejak lahir. Seperangkat nilai dalam
sistem agama kuno sangat menyadarkan manusia, bahwa ketika lahir dia adalah
bagian dari alam semesta dan kepadanya manusia harus mengabdikan hidup dan
segala kemampuan otak-pengetahuannya.
Ketidakpastian dan
unsur-unsur kebetulan adalah kehakikian alam semesta yang ada di dalam diri
manusia sendiri serta di alam semesta ini. Kegagalan manusia (kita) untuk
berdialog dan menyeimbangkannya, maka manusia akan dilindas oleh jaman... (666)