Monday, August 7, 2017

Exploring Uncertainty of Life



Mempertanyakan Ketidakpastian Hidup Manusia
Oleh: Emil E. Elip

Hidup itu penuh kebetulan (by chance/by irony of fate). Begitu pula di sisi lain, hidup itu sarat dengan ketidakpastian (uncertainty). Banyak hal yang tidak kita harapkan atau tidak kita duga, terjadi, baik pada sisi yang merugikan dan membuat sengsara atau pada sisi yang membuat kita gembira atau menguntungkan hidup kita. Bagaimana umat manusia mensikapi kebetulan dan ketidakpastian telah mendorong pencarian manusia atas apa yang disebut “keilahian”, Sang Maha Agung dan Kuasa, Allah, Tuhan, Dewa....yang (mungkin) tidak pernah tuntas hingga kini....

Alam Semesta Yang Tak Terlampaui
Anda pasti pernah memandang ke langit malam yang gelap berbintang, bulan, berkeli-kelip nan amat luas. Seluas apa alam semesta ini mampukah Anda bayangkan garis batasnya? Kita higup di planet bumi, yang merupakan bagian dari suatu gugus galaxi. Menurut ilmu pengetahuan alam di alam semesta ini, tidak hanya ada satu galaxi saja yang kita tinggali ini. Ada ratusan gugus galaxi bahkan mungkin ribuan. Di dalam galaxi itu ada udara, karbon dioksida, plankton, hewan, tumbuh-tumbuhan, gas, dan bermacam-macam lain. Mungkin saja materi-materi semacam itu ada pula di galaxi-galaxi lain. Tidak mampu kita bayangkan bagaimana semua itu bekerja dengan kemampuan kapasitas otak kita.

Ilmu pengetahuan membagi alam semesta (kosmos) ini menjadi dua, makro-kosmos dan mikro-kosmos. Orang Jawa mengkategorikannya menjadi Jagad Gedhe (makro kosmos) dan Jagad Cilik (mikro-kosmos). Alam semesta diluar diri kita yang tak mampu kita bayangkan luasnya itu disebut Jagad Gedhe, alam semesta di dalam diri kita sendiri (manusia) disebut Jagad Cilik. Benarkah diri kita sendiri ini bagaikan alam semesta/kosmos/jagad? Memang benar, manusia adalah suatu materi yang kompleksitasnya bagaikan makro-kosmos yang maha luas dan sangat sulit diselami atau dipahami. Menurut ilmu biologi dan anatomi, manusia terdiri atas jutaan syaraf dan otot, air dan daging. Dia memiliki enzim-enzim dan hormon yang memicu dinamisasi amarah, rasa iba, kegembiraan, kesusahan, segala jenis nafsu, dsb. Dia bernapas secara otomatis, dikaruniai otak untuk mengontrol semua syaraf itu secara otomatis. Keinginan, harapan, kesedihan, kesenangan, rasa dengki, amarah, kejujuran, ketulusan, rasa lapar dan haus, tipu-daya, dll milik manusia sangat luas, yang belum tuntas dipelajari oleh manusia sendiri hingga saat ini. Manusia bagaikan makro-kosmos. Manusia adalah bagian dari dan alam itu sendiri. Manusia mahkluk paradoksal!

Kondisi dan situasi tak terukur, tak terkendali, tak terprediksi, tak terpahami dengan demikian adalah bagian dari alam semesta, serta bagian dari diri manusia sendiri, entah yang berada dan berasal dari makro kosmos maupun mikro kosmos. Manusia adalah bagian dari ketidakpastian di satu sisi, begitu pula dia adalah bagian dari kondisi kebetulan di sisi yang lain. Selama hidupnya dan selama proses sejarah manusia, dia menjadi bulan-bulanan kondisi “ketidakpastian” dan “kebetulan”.

Ketidakpastian Hidup
Panen yang gagal total oleh karena kekeringan panjang, atau oleh karena hama tertentu, pasti merupakan hal-hal yang tidak terduga, atau tidak mampu diprediksi secara tepat sempurna sebelumnya oleh para petani atau masyarakat-masyarakat yang berbasis agraris. Menghilangnya atau biasa disebut langkanya hewan-hewan perburuan, atau tangkapan ikan-ikan, tentu juga menjadi kegelisahan yang berekepanjangan para kaum pemburu dan penangkap ikan sebagai tulang punggung kehidupan mereka. Manusia pada awal-awal peradaban mungkin mampu mengidentifikasi gejala-gejala itu, namun tidak mampu menerka seutuhnya apa yang terjadi di dalam alam ini sehingga membawa petaka dan bencana. Ketidakmampuan ini menyebabkan menumbuhkan “ketidakpastian”.

Datangnya hama, kekeringan panjang, kelangkaan air, munculnya predator-predator baru atas hewan makanan sehari-hari, hujan yang terus menerus dan banjir, kilat yang menyambar-nyambar...dianggap sesuatu yang “mengganggu” dan mengancam kehidupan masyarakat. Kehadiran pengganggu ini tentu tidak diharapkan, bahkan tidak terduga akan berkepanjang atau sangat mematikan. Ia amat sangat ingin dihindari manusia, dan oleh karena itu dianggap membawa kondisi dan situasi ketidakpastian hidup. Ketidakpastian ini telah memicu frustasi dalam sejarah kehidupan manusia.

Kaum papa dan miskin kota yang hidup dari meminta-minta, mengumpulkan sampah untuk dijual, atau jual beli barang-barang bekas dan rongsokan, mereka yang mengandalkan hidup dari mengamen keliling, dan sebagainya...sebagian besar selalu mengatakan “penghasilannya” tidak pasti. Dengan kata lain ketidakpastian atas besar kecilnya uang atau pendapatan hari itu yang diperoleh, telah mengganggu atau bahkan mengancam kemudahan untuk bertahan hidup. Frustasi atas ketidakpastian semacam itu bukan hanya dirasakan oleh kaum miskin saja. Orang-orang kaya yang tidak kekurangan uang untuk segala sesuatunya pun tetap merasakan adanya “ketidakpastian”, meskipun mungkin kadarnya atau konteksnya tidak sedalam para kaum miskin. Di dalam situasi yang tidak aman, banyak tawuran, perampok merajalela, konflik sosial, dll, mereka yang tergolong kaya harta pun akan mengalami situasi ketidakpastian apakah harta mereka akan aman dan apakah proses mencari uang yang biasanya gampang akan tetap dapat berlanjut.

Jadi pendeknya, situasi ketidakpastian telah mewarnai dan selalu membayangi ancaman terhadap umat manusia sejak jaman kuno hingga saat ini dalam segala macam bentuk. Dan sejak saat itu pula sejarah manusia selalu berusaha mencari solusi dengan jalan mencoba untuk “berdamai” dengan ketidakpastian. Jika ketidakpastian itu berlanjut terus hingga sejarah umat manusia saat ini, dengan demikian ketidakpastian itu adalah hakiki yang tidak mungkin diselesaikan oleh manusia melalui kapasitas otak, pemikiran, dan keilmuannya.

Kebetulan Dalam Kehidupan
Ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran manusia atas ancaman terhadap proses hidupnya, telah menumbuhkan psikologis kejiwaan dimana manusia tidak bisa mempercayai seratus persen bahwa keberhasilan panen, terhindar dari bencana, penghasilan ekonomi yang melimpah, dan hal-hal positif lainnya sebagai upaya manusia sendiri. Mereka yang telah dipersonifikasi oleh manusia sendiri sebagai dewa/dewi (entah pembawa petaka maupun yang membawa kesejahteraan), dianggap dan dipandang sebagai pemberi --atau yang memungkinkan adanya-- hal-hal positif seperti panen melimpah, tidak terjadinya bencana, rahmat, kebahagiaan, kondisi aman tanpa konflik, penghasilan ekonomi lancar, dsb.

Itulah yang menjadi akar manusia mengembangkan konsep kondisi “kebetulan”, yang dalam bahasa Inggris salah satunya diterjemahkan by the irony of fate. Hal ini menandakan bahwa hal-hal positif yang digambarkan tadi dianggap diluar kuasa manusia, sebagai hal tidak terduga (tetapi sesungguhnya diharapkan), melampaui batas harapan manusia. Inilah makna situasi atau kondisi “kebetulan” bagi manusia. Manusia hanya bisa atau menentukan posisi berperan berharap, padahal dia melakukan segala upaya agar semuanya yang diharapkan itu terjadi hanya waktunya tidak terduga. Namun sesuatu hal yang Ilahi yang (dianggap) menentukan semua hal positif itu terjadi.

Sebagai ungkapan penghormatan atas kondisi “kebetulan” yang baik yang sudah diberikan oleh dewa/dewi (sang ilahiah) itu, manusia menghaturkan puja-puji mantra-doa, wewangian dan nyanyian, sesembahan korban, memantapkan berjalannya ritual rutin dan menentukan norma-norma. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, maka baik untuk hal-hal “ketidakpastian” maupun yang “kebetulan”, posisi manusia nampaknya selalu inferior. Kepada semuanya itu manusia menghaturkan korban dan sesembahan.

Keilahian: “Mekanisme Untuk Berdamai”
Masyarakat-masyarakat kuno di Mesir, Inka, Indian, Mesopotamia, dll tidak mampu menalar dengan kapasitas otak-pengetahuannya mengapa paceklik dan bencana data dalam kehidupan mereka. Yang mereka tahu relatif (mungkin) pasti adalah adanya materi-materi atau kondisi “pengganggu”. Siapakah mereka ini? Sesungguhnya manusiapun tak mampu memahamai siapa dan apa materi dan kondisi pengganggu ini. Dia adalah bagian dari alam semesta maha luas tak terjamah.

Agar mampu untuk memahami dan mengidentifikasi materi-materi pengganggu dari alam semesta itu, manusia mencoba untuk melakukan “personifikasi” agar dia mampu didekati dan diajak berdamai dalam kapasitas otak-pengetahuan mereka. Maka muncullah “dewa/dewi pembawa petaka”, pembawa sial, pembawa bencana, pembawa kekeringan/kelaparan, pembawa penyakit, dll. Dan manusia kemudian memberi nama kepada dewa-dewi pengganggu tersebut seuai sifat dan asalnya. Berlandaskan identifikasi personifikasi itu maka kemudian manusia “mencoba berdamai” dengan “menyogok” persembahan atau korban, baik berupa manusia (perempuan/lelaki belia), kambing yang terbaik, ayam hitam, ayam putih, dll. Setiap kelompok kebudayaan manusia memiliki cara tersendiri melakukan identifikasi tersebut, sekaligus cara tersendiri melakukan sesajinya atau korbannya.

Tidak hanya berupa benda yang disodorkan manusia untuk berdamai dengan ketidakpastian dalam bentuk dewa-dewi atau sosok lain pembawa petaka dan bencana itu. Manusia mencoba melakukan reintepretasi sikap dan periaku yang mungkin diharapkan para dewa-dewi pembawa petaka itu atas manusia. Maka manusia mengembangkan “norma-norma”, aturan, seperangkat tata niai-perilaku serta ritual agar dewa-dewi pembawa petaka itu tidak murka. Timbullah tidak boleh kencing disembarang tempat, menjaga lokasi-lokasi/pohon, batu, dsb agar tetap utuh asri dan terjaga. Mengembangkan upacara-upara secara rutin, dll.

Disamping dewa-dewi pembawa bencana dan petaka, manusia menandai adanya kejadian yang serba kebetulan bagus. Misalnya saja panen yang melimpah, hewan buruan dan ikan yang amat mudah diperoleh, suasana yang aman dan tenang tanpa bencana alam. Kepada siapa manusia akan “menghormat” atas kebahagiaan yang diperoleh itu? Lagi manusia melakukan personifikasi atas materi-materi dan kondisi alam semesta yang membawa kebahagiaan dan keuntungan itu. Maka ada dewa-dewi suci pemberi kesejahteraan. Misalnya saja Dewi Sri (di Jawa) atau Dewi Kuan In (di Cina). Kepada mereka manusia juga menghaturkan sesaji dan kurban, serta norma perialaku dalam bentuk ritual-ritual yang mungkin diharapkan para dewa-dewi tersebut.

Dewa/dewi pencaga petaka dan dewa/dewi pembawa berkah, oleh manusia tidak saling dipertentangkan. Kedua dianggap ada di dalam alam semesta. Jika panen melimpah tidak berarti dewa/dewi pembawa petaka kalah. Begitu pula bila terjadi paceklik tidak berarti dewa/dewi pembawa berkah terkalahkan. Kedua materi alam itu adalah berimbang, saling mengisi dalam peran masing-masing seiring pergulatan waktu, kondisi, dan peristiwa. Manusia bertugas menyeimbangkannya, sebagaimana manusia meinginkan kondisi yang seimbang dan harmonis antara petaka, bencana, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Manusialah yang berperan penting atas apa yang dia harapkan melalui ritual-ritual yang harus dilakukan kepada kedua sifat dewa/dewi itu.

Kepada dua jenis materi dan kondisi alam yang dipersonifikasi oleh manusia sebagai dewa-dewi pembawa petaka dan dewa-dewi pembawa kebahagiaan dan kesejahteraan itu, manusia mempersepsikannya sebagai Yang Maha, maha pemurah, maha kejam, maha penjaga, maha pengaman, dll....yang diberi sifat “keilahian”. Kepada Yang Ilahi hasil personifikasi manusia atas alam semesta itu, manusia menggantungkan harapan atas perjalanan hidupnya, kebahagiaannya, keberuntungannya, rasa aman sosialnya, kehidupan ekonominya, kehidupan sosial kemasyarakatannya, dll. Dengan kata lain, secara logika, manusia berdamai dengan ketidakpastian dan kebetulan yang ada pada dirinya sendiri.

Mencermati perkembangan historisitas hidup manusia mensikapi alam semesta beserta kondisi kebetulan dan ketidakpastian itu, memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa manusia sangat sadar dia merupakan alam semesta (mikro-kosmos/jagad cilik) dan bagian dari alam semesta yang lebih luas (makro-kosmos/jagad gedhe). Melalui kemampuan otak-pengetahuan yang dimilikinya, manusia mengembangkan mekanisme adaptasi yang luar biasa terhadap ketidakpastian dan segala kebetulan di dalam proses kehidupannya. Semua relasi-relasi itu jelas tergambar secara logis dan tidak dimulai dari cerita mitos atau legenda. Mitos dan legenda muncul kemudian setelah manusia mengkreasi adanya dewa/dewi. Mitos sengaja dirancang oleh sang kreator (manusia) untuk mengukuhkan dan menguatkan sifat keilahian dewa/dewi kreasinya.

Adaptasi tersebut menyangkut dua ranah baik segi fisik maupun psikologis. Berdampak pada fisik karena manusia menjadi lebih sehat, mampu memanage ketersediaan makanan, mampu menciptakan ruang berteduh dari cuaca alam, menciptakan api untuk kehangatan, dll. Berdampak pada segi psikologis karena merasa menjadi bersahabat dan dilindungi oleh dewa/dewi, merasa tenang, memiliki pelindung yang kepadanya dia bisa berharap/minta tolong, merasa sejahtera, dsb.

Agama: “Intepretasi Untuk Berdamai”
Segala sesembahan, kurban, puja-puji musik-nyanyian-dan mantra, ritual-ritual yang dikembangkan berikut dengan tata nilai yang disusun di awal-awal kebudayaan manusia seperti sudah dijelaskan sebelumnya, menurut saya adalah sebuah sistem berpikir dan mekanisme yang sudah sempurna. Semuanya berupa kerangka berpikir yang dikembangkan manusia demi keharmonisannya dengan alam semesta (di dalam dirinya dan diluar dirinya) melalui media personifikasi (beserta simbol-simbolnya) yang disanjung sebagai “Sang Ilahi”, “Sang Maha kuasa”.

Sesuatu yang menarik untuk digaris bahwahi adalah bahwa yang “Ilahi” (beserta sifat keilahiannya) datang kemudian setelah manusia mempersonifikasikan sifat-sifat alam yang penuh ketidakpastian dan unsur kebetulan tersebut. Manusia menjadi “pusat”-nya. Manusia kreatornya. Manusialah yang menyusun perangkat-perangkat yang dibutuhkan untuk mensikapi ketidakpastian dan unsur kebetulan, yang ujung-ujungnya adalah demi kenyamanan kehidupannya. Namun oleh karena sifat hakiki manusia yang inferior atas alam semesta (yang muncul dalam bentuk ketidakpastian dan kebetulan terhadap manusia), manusia meletakkan posisi tidak jumowo-kementhus (tidak sombong, congkak, merasa paling hebat). Manusia membentuk dirinya sendiri sebagai humanis penuh atas sikapnya terhadap alam semesta.

Setelah beratus abad sesudah awal-awal abad kebudayaan manusia itu, muncul fenomena baru dalam mensikapi ketidakpastian dan unsur kebetulan. Fenomena baru itu ditandai dengan perubahan yang amat mendasar, yaitu bahwa “keilahian” itu tiba-tiba ada, hadir bersama adanya alam semesta. Sifat-sifat keilahian itu, yang dipersonifikasi sebagai “Sang Ilahi” datang duluan sebelum manusia. Manusia tinggal menerima, mengamininya, dan dituntut percaya saja seratus persen. Manusia menjadi bukan kreator lagi. Manusia digambarkan lebih inferior bahkan kotor, penuh “dosa-dosa asal”. Fenomena baru mengenai relasi antara manusia dengan “Sang Ilahi” itu dimulai sejak munculnya apa yang disebut agama samawi.

Jika jauh sebelumnya manusia mengenali dan memahami Sang Ilahi dalam rupa beberapa bentuk dewa/dewi sebagaimana beragamnya sifat hakiki alam semesta, kini mengenalinya hanya dalam satu bentuk yaitu Tuhan Allah (kadang disebut Tuhan saja, kadang disebut Allah saja) dengan satu sifat yaitu “keilahian” (satu sifat Ilahi). Berbagi sifat turunannya seperti Sang Maha Kuasa, Sang Khalik, Allah Bapa, Yang Maha Esa, Sang Pemurah, dsb. Dengan demikian peradaban relasi manusia dengan Sang Ilahi terputus ditengah jalan dengan munculnya ajaran Kristiani melalui tokoh Yesus, sebagai agama samawi awal yang kemudian diikuti dengan agama-agama samawi lainnya dengan tokoh panutan dan ajaran yang saling berbeda.

Dari mana semua ini berawal? Mengapa, katakanlah, agama awal manusia dengan beberapa sifat keilahian itu seakan dimunafikkan dan ditinggalkan? Bagaimana agama dengan satu Tuhan itu bisa dijelaskan? Lantas bagaimana fenomena agama baru tersebut menjelaskan ketidakpastian dan unsur kebetulan yang sejak awal dipandang sebagai sifat hakiki dari alam semesta?

Bapa (nabi) Abraham sang pencetus samawi. Penelusuran mengenai keperayaan atau penyembahan terhadap satu Tuhan (sebelumnya disebut dewa/dewi) dimulai dari Abraham. Diceritakan dalam kitab samawi bahwa pada suatu hari (entah siang atau malam) Abraham mendapat “mimpi” (agama samawi sering memakai istilah “wahyu”), bahwa dia akan menjadi “Bapa” (pemimpin suku, kaum) yang besar untuk seluruh bangsa jika dia menyembah hanya kepada “satu Tuhan”. Mimpi itu menyuruh Abraham untuk bermigrasi ke lokasi lain keluar dari kawasan Sumeria yang dia tinggali. Maka Abraham bersama keluarga besarnya eksodus ke tanah Yudea, dengan memegang janji Tuhan itu.

Abraham kemudian mempraktikkan ritus, yang sesungguhnya masih mirip dengan ritual dewa/dewi, hanya saja dilakukan terhadap satu bentuk relasi yang dia anggap Ilahi (Tuhan) melalui satu ritus korban (berupa dombang/kambing). Begitu konsistennya dia melakukan ritus tunggal itu sampai-sampai ketika Tuhan memerintahkan agar Abraham harus melakukan ritus korban anaknya sendiri, dia pun sanggup. Ini terjadi jauh sebelum Yesus lahir. Jadi jelas Tuhan atau Sang Ilahi yang dipersonifikasikan oleh Abaraham, tidak jauh beda dengan Sang Ilahi yang dikreasikan oleh manusia dalam awal-awal kebudayaan puluhan atau mungkin ratusan abad sebelumnya.

 Kepercayaan terhadap satu Tuhan (monoteisme) yang dikembangkan Abraham itu tidak cukup kuat dipegang oleh anak turun Abraham. Praktik-praktik menyembah banyak Tuhan (dewa/dewi) masih marak terjadi. Lantas diceritakan bahwa sebagai hukumannya Sangak Ilahi (Tuhan) membuang bangsa keturunan Abraham itu ke Mesir. Saya agak”  sulit mempercayai cerita tentang “dibuang ini. Saya menduga kaum keturunan Abraham ini diserbu oleh bangsa-banga lain di sekitar Timur Tengah, apalagi mereka memiliki cara ritual yang jauh berbeda dengan bangsa penyerang.

Di dalam pengasingan di Mesir sebagai bangsa budak, kaum keturunan Abraham ini nampaknya membangun konsolidasi yang lebih mantab sebagai satu bangsa yang mengidentifikasi diri sebagai bangsa Yahudi. Singkatnya setelah sekian lama, bangsa ini berhasil melakukan eksodus kembali ke tanah Yudea tempat mereka berasal. Dalam perjalanan eksodus ke tanah Yudea tersebut tentu bukan perkara mudah. Pasti penuh tantangan, serangan, cobaan, kematian, kepedihan, pengkhianatan, dsb. Kondisi “ketidakpastian” selalu membayangi para eksodus bangsa pengungsi ini. Dalam perjalanan eksodus yang memakan waktu puluhan tahun itu, kembali bangsa ini mengukuhkan kepercayaannya terhadap satu Tuhan dengan membuat pakta yang disebut “Sepuluh Perintah Allah”. Pengukuhan sepuluh perintah itu serta pemantapan sistem ritus kepercayaan terhadap satu Tuhan, boleh jadi merupakan mekanisme adaptif terhadap kondisi ketidakpastian yang amat sangat menekan dan membuat penderitaan. Manusia (bangsa Yahudi) ingin mensiasati sekaligus berdamai dalam dirinya sendiri (mikro kosmos/jagad cilik) dan dengan alam semesta atau alam sekitar (makro kosmos/jagad gedhe) yang selalu memicu ketidakpastian dan membawa penderitaan.

Amat menarik untuk mengkritisi Sepuluh Perintah Allah ini. Dia bisa dipandang sebagai “perintah” Allah untuk mengukuhkan norma ritual satu Tuhan. Tetapi dia bisa juga dilihat dari sisi konsolidasi sosial bangsa Yahudi sebagai satu kesatuan sosial dan hukum yang saat eksodus dipimpin oleh Musa. Secara psikologis bangsa yang tercerai berai semacam itu membutuhkan konsolidasi sosial yang mantab, dan sangat mungkin sepuluh perintah itu merupakan abstraksi manusia Yahudi jaman itu untuk menjadi satu bangsa. Pakta itu kemudian dilekatkan sifat keilahian sebagai Perintah Allah, dengan harapan akan selalu dipatuhi oleh setiap individu Yahudi. Saya ambil contoh perintah “Jangan mencuri milik sesamamu” dan “Jangan berzinah terhadap istri orang lain”, sangatlah bersifat aturan sosial-horisontal agar kaum ini tidak menjadi kacau dan chaos di masa datang. Sampai saat perintah itu diciptakan, tata cara ritus bangsa Yahudi masih mirip dengan yang dilakukan oleh Abraham.

Ketika bangsa Yahudi dari pengasingan itu berhasil kembali masuk ke tanah Yudea, beranak pinak dan menjadi besar dengan kebudayaan yang tinggi, maka ritual atas satu Tuhan Ilahi itu semakin besar. Apa yang sering disebut di dalam kitab-kita suci Kristen dengan Kuil Raja Salomon (Sulaeman) dan dilanjutkan dengan Raja Daud, adalah kreasi yang lebih spektakuler, besar, dan megah dari bentuk tempat ritus-nya Abraham. Tetapi struktur dan ritualnya sama, yaitu pemujaan serta penyembahan terhadap satu relasi keilahian (Tuhan). Pada era kejayaan Salomon dan Daud ini ritual itu sudah dilengkapi dengan kitab-kitab sebagai penuntut atau panduam karena memang kebudayaan manusia sudah mengenal baca tulis serta media tulis. Sistem ritual terhadap satu relasi ilahiah yang disebut Tuhan ini semakin luas dianut seiring semakin besanya anak turun Abraham yang disebut bangsa Yahudi. Sistem kepercayaan dan ritual tersebut kemudian diberinama Yudaisme.

Sampai pada posisi ini ritus kepercayaan Yudaisme, meski hanya dengan satu relasi Ilahi (Tuhan), tidak jauh beda strukturnya dengan bangsa-bangsa atau suku-suku dibelahan dunia yang lain yang masih menyembah banyak dewa/dewi dengan berbagai ritualnya.

Era Mesianik dan Yesus. Era munculnya mesianik dan lahirnya Yesus merupakan era dimana bangsa Yahudi mengalami chaos dan gunjangan mendalam dalam pemikiran mendasar tentang siapa sesungguhnya Sang Ilahi (Tuhan) itu. Bangsa Yahudi yang historisitasnya “jatuh-bangun” mulai dari pengasingannya di Mesir, kemudian kembali ke tanah Yudea dan menjadi besar, ternyata diwarnai dengan peperangan yang tak kunjung berhenti dari bangsa-banga lain di sekitarnya. Invasi atau tepatnya penjajahan dari kekaisaran roma yang menguasai hampir seluruh wilayah Timur Tengah dan Mediteranian yang berlangsung berabad-abad, termasuk wilayah Yudea, menjadi moment sejarah yang paling menyedihkan dan menyakitkan.

Di tengah-tengah banagsa Yahudi muncul sebuah pemikiran dan harapan yang sangat kuat tentang sosok Mesias. Sosok pahlawan pembebasan dari penindasan penjajahan. Mesias dalam pemikiran bangsa Yahudi sesungguhnya adalah tokoh perlawanan sosial yang bisa dianut untuk membebaskan bangsa mereka. Ini tidak ubahnya seperti spikologi bangsa terjajah lainnya yang menginginkan tokoh kepahlawanan. Dia diharapkan bagaikan sosok “nabi” tetapi nabi pembebasan dari penjajahan. Menariknya, mungkin sebuah kebetulan, didalam situasi bangsa yang mendambakan nabi pembebasan (Mesias) itu, muncul sosok lain yang disebut Yesus. Yesus pun diprediksi oleh bangsa Yahudi sebagai mesias, yang kemungkinan kemunculannya telah diperhitungkan melalui wangsit dan nujum bangsa Yahudi.

Era mesianik sampai munculnya Yesus sekaligus, membuktikan bahwa sedang terjadi krisi sosial dan krisis ketidakpastian yang sangat mencekam di dalam bangsa Yahudi. Kelompok tertentu ingin kebebasan dari penjajahan Roma. Kelompok yang lain telah sangat muak terhadap kondisi krisis sosial yang amat meluas, termasuk krisis moral, kemiskinan dan krisis pengharapan, perampokan, pelacuran, dll tentu saja termasuk krisis kepercayaan atas nilai keilahian monoteisme yang dianut. Kelompok ini mengharapkan perubahan yang amat lebih mendasar sehingga mengharapkan munculnya “nabi baru” yang mampu menegakkan kembali sistem kepercayaan Yahudi atas hal-hal yang ilahiah. Kelompok yang pertama nampaknya jauh lebih banyak karena sesungguhnya semua pranata tatanan sosial dan kepercayaan (agama Yudaisme) sudah lengkah dan sempurna. Mereka hanya butuh nabi yang dapat mengusir Roma secara mendasar.

Yesus, Ajaran Sosial, dan Samawi. Yesus bisa jadi memang merupakan sosok real. Bukti-bukti arkeologis ilmiah menunjukkan ciri identifikasi keberadaannya baik dari sudut nama dia, nama keluarga-keluarganya, sosok peninggalan kuburannya dan kubur keluarganya. Yesus yang muncul memanglah sosok yang memberikan ajaran-ajaran baru tentang relasi antar manusia yang setara dan penuh cinta kasih. Dia bisa jadi juga mengajarkan tentang reintepretasi baru relasi antara manusia (umat) dengan Tuhan (yang sering disebut Sang Bapa). Apakah semua ajaran Yesus itu revolusioner dalam konteks masyarakat Yahudi kala itu? Ya...memang revolusioner jika dikaitkan dengan kondisi krisis sosial dan krisis kepercayaan bangsa Yahudi yang mendambakan mesias sang pembebas.

Bagi kaum miskin dan termarginalkan di tengah-tengah bangsa Yahudi yang dilanda segala bentuk ketidakpastian dan buramnya harapan, ajaran Yesus menjadi oase yang amat menyegarkan dan membahagiakan. Bukankah sejarah manusia menginginkan untuk menekan ketidakpastian melalui jalan berdamai dengannya melalui makna-makna dan simbol baru? Itu sebabnya para pengikut Yesus mula-mula yang setia adalah kaum miskin. Inilah letaknya bahwa Yesus bisa juga disebut sang pembaharu sosial. Bukankah hal seperti ini tidak jauh beda dengan Gandhi dan pahlawan-pahlawan lain yang sepadan dengannya?

Inti ajaran samawi yang disebarkan oleh Yesus akhirnya yaitu hanya Allah Bapa-lah yang Ilahi (Tuhan). Hanya kepadnya kita pasrahkan hidup dan percaya seratus persen kepadanya. Kita manusia ini terlahir dengan membawa dosa asal, dan oleh karena itu harus disebuhkan agar kita manusia mendapat rahmat dan keselamatan dari Allah Bapa. Saya (Yesus) adalah “jalan” menuju Allah Bapa karena saya dan Bapa adalah satu. Manusia tidak boleh mengkreasi sendiri relasinya dengan Allah Bapa. Semua sudah diberikan bahkan termasuk doa utama yang harus diucapkan yaitu Doa Bapa Kami.

Tentu ajaran seperti ini tidak diharapkan oleh kelompok Yahudi yang hanya menginginkan mesias sang pembebas penjajahan. Bagi mereka yang diinginkan adalah usir Romawi supaya mereka dapat mengembangkan kebudayaan, sosial ekonomi, kesejahteraan dan kehidupan religiusitas mereka tanpa tekanan dan ancaman. Mereka amat yakin atas kemampuan bangsa Yahudi (yang dalam banyak kitabnya disebut “bangsa terpilih) untuk maju dan sejahtera. Itu sebabnya ajaran-ajaran Yesus dan pengikutnya ditentang karena dianggap mashab lain yang menyesatkan, atau dianggap hendak membentuk kekuatan baru diantara kondisi bangsa yang sedang kacau dan chaos.

Jangan lupa pada zaman Yesus hidup ajaran-ajaran atau pemikiran-pemikiran lain dibelahan dunia lain juga sudah amat berkembang. Wilayah Timur Tengah, Mesir, Turki, dan Yunani telah lebih dulu memunculkan pemikiran-pemikiran sosial melalui filsuf-filsuf besar seperti Plato, Aristoteles, dll. Mari kita cermati bahwa di dalam kitab-kitab Kejadian, Kitab Taurat, dll, yang ditulis pula dalam kitab suci Kristen dan Islam ada lintasan dokumen sejarah yang sama. Simbol dan ajaran dalam kitab-kitab agama Kristen banyak simbol dari dewa-dewi Mesir dan dewa-dewi Soroastran (sistem kepercayaan kuno bangsa Sumeria di Siria). Sementara ajaran-ajaran yang terkait untuk mengatur hubungan antar individu tidak jauh berbeda dengan yang sudah diajarkan oleh Plato dan Aristoteles.

Pertanyaan kunci yang harus kita jawab adalah apakah manusia yang menganut kepercayaan keilahian melalui dewa-dewi sebagaimana dikembangkan kebudayaan-kebudayaan awal manusia, mereka tidak masuk “surga” sebagaimana menurut ajaran agama samawi? Tidakkah kita curiga, jangan-jangan semuanya ini hanyalah sempalan mashab seperti teori-teori sosial yang selalu diperbaharui oleh pemikir-pemikir baru? Jika memang begitu maka manakah yang benar dan yang sungguh menyelamatkan manusia? Mungkinkah semua ini hanyalah cara manusia “mencari jalan keselamatan” untuk mensiasati dan mensikapi akan ketidakpastian dan unsur kebetulan terhadap alam semesta? Semakin pandai manusia dan semakin tinggi kadar kebudayaannya, semakin membutuhkan hal-hal baru berkompromi dengan ketidakpastian dan unsur kebetulan yang hakiki. Bukankah agama (samawi) itu kini penuh relung, penuh sempalan, penuh mashab intepretasi, penuh sekte ajaran? Lantas dimanakah manusia sebagai bagian dari alam semesta itu sendiri? Masihkah dia memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang diyakininya dalam mensikapi ketidakpastian dan unsur kebetulan?

Penutup:
“Mencari Agama Yang Manusiawi (Humanis)”
Sifat religiusitas adalah sifat dasar yang sudah ada di dalam diri manusia. Sifat dan sikap itu adalah sifat yang mempercayai ada kekuatan di luar diri manusia yang tidak mampu dinalar dan diprediksi oleh otak-pengetahuannya. Kekuatan di luar manusia itu adalah kekuatan hakiki alam semesta, yang kemudian muncul dan memicu ketidakpastian bagi manusia. Oleh sebab itu manusia mencoba mengakali atau lebih halusnya berdamai, melalui media kapasitas otak-pengatahuannya juga, dengan menciptakan sistem pengetahuan, nilai, aturan serta norma untuk menghormati gejala-gejala alam dan ketidakpastian yang diakibatkannya. Sistem pengatahuan ini kemudian disebut sistem kepercayaan terhadap keilahian dan mekanisme ritual yang dibutuhkannya. Dalam bahasa modern itu disebut agama.

Agama yang dimulai atau dilandasi melalui upaya manusia untuk “menghormati” alam semesta berserta gejala-gejala positif maupun negatif yang diakibatkannya, nampaknya lebih humanis dari agama-agama samawi yang dimulai dari seperangkat nilai mengenai kekuatan dan keilahian Allah Bapa. Agama-agama “kuno” itu justru lebih mampu membawa manusia lebih arif dan bermartabat dalam mensikapi ketidakpastian yang memilukan dan unsur kebetulan yang pasti membahagiakan manusia. Mengapa begitu? Karena perangkat nilai religiusitas dan ritualnya cocok, sepadan, sesuai dengan kapasitas kehendak otak-pengetahuan manusia.

Agama samawi, belum-belum sudah menempatkan manusia berkubang dalam “dosa asal”, dosa yang secara konseptual religiusitas diwariskan manusia dari generasi ke generasi di dalam dogma-dogmanya. Tentu konsep ini dengan mudah dicerna juga oleh manusia karena pada prinsipnya manusia adalah mahkluk lemah secara psikologis dan inferior. Dosa asal ini bisa muncul karena adanya gejala “oposisi biner” dalam psikologis kejiwaan manusia. Ada ketidakpastian ada kebetulan, ada senang ada susah, ada kebahagiaan panen ada kesusahan karena gagal panen, ada lahir ada mati, ada perempuan ada laki-laki, ada posisi kiri ada posisi kanan, ada atas ada bawah, dst. Maka jika Allah Bapa dikonsepsi sebagai Yang Maha Kuasa dan Suci, maka manusia adalah pasti harus dalam posisi paling lemah dan tidak suci (berdosa).

Dari mana sebutan Allah Bapa itu muncul? Dari cerita-cerita penampakan dan mimpi yang ditulis dalam kitab-kitab samawi dimana penampakan/mimpi para nabi mengatakan bahwa sosok dalam mimpi itu menyebut diri “Allah”. Mengapa Allah kemudian disimbolkan sebagai “laki-laki”? Itulah kapasitas personifikasi oleh otak-pengetahuan manusia jaman munculnya nabi-nabi samawi. Sebab jika tidak disimbolkan secara personifikatif maka akan amat sulit mengajarkan agama-agama samawi itu kepada para umat manusia. Dan pada jaman munculnya nabi-nabi samawi kebudayaan manusia sangat bersifat patriarkis. Khusus tentang simbolisasi sexis ini, menurut saya agama kuno lebih demokratis karena ada dewa laki-laki ada dewi perempuan,  ada dewa/dewi yang jahat ada dewa/dewi yang baik. Dunia keilahian amat mirip dengan dunia kita, dunia manusia.

Sifat relasi kita manusia dalam sistem kepercayaan atas keilahian samawi adalah hubungan “tidak seimbang”, tidak sepadan, binary oppressed relationship, Allah Bapa suci manusia dosa, Allah Bapa maha kuasa kita lemah, Allah Bapa memerintahkan dengan dogma kita penurut/melaksanakan, Allah Bapa pemilik surga kita adalah neraka, ...dst..dst. Dalam sistem kepercayaan atas keilahian agama-agama kuno, manusia berada dalam posisi “berdialog” dengan sang alam semesta pembawa ketidakpastian. Manusia bisa memiliki kesempatan untuk “bernegosiasi” sejauh yang mampu dia pahami. Di sini manusia bukanlah insan “pendosa” sejak lahir. Seperangkat nilai dalam sistem agama kuno sangat menyadarkan manusia, bahwa ketika lahir dia adalah bagian dari alam semesta dan kepadanya manusia harus mengabdikan hidup dan segala kemampuan otak-pengetahuannya.

Ketidakpastian dan unsur-unsur kebetulan adalah kehakikian alam semesta yang ada di dalam diri manusia sendiri serta di alam semesta ini. Kegagalan manusia (kita) untuk berdialog dan menyeimbangkannya, maka manusia akan dilindas oleh jaman... (666)