Friday, March 2, 2018

A Culture of Alor Island-Indonesia

Berkumpul dan Kebersamaan
(Tidak Mengenal Mati atau Hidup)
Oleh: Emil E. Elip


Pulau Alor terletak di Bagian Timur Indonesia, tepatnya di wilayah Provinsi NTT (East Indonesia Province). Saya beberapa kali berkesempatan berkunjung ke Alor, yang ibu kotanya di Kota Kalabahi, dalam rangka beberapa kegiatan penanganan bencana yang pernah terjadi di pulau ini.
 Image result for lokasi pulau alor
Sebagai seseorang yang suka menelisik atau mengamati budaya dan kebiasaan lokal di lokasi-lokasi yang saya kunjungi di seantero Indonesia, tentu saya mencari-cari kesempatan untuk bertandang dan bergaul dengan komunitas lain di luar kebiasaan rutin kegiatan kebencanaan. Saya tertarik dan mulai 'tergelitik" melihat banyak sekali pemakaman keluarga yang ada di pekarangan-pekarangan rumah di Alor.


Bertanya langsung mengenai "pemakaman" mungkin akan mengungkap kembali rasa kesedihan. Hati saya menjadi tidak enak. Untunglah ada sebuah moment yang cukup menarik yang memungkinkan saya berdiskusi dengan masyarakat dalam suasana yang lebih santai. Waktu itu saya menemukan sebuah kelompok keluarga yang sedang membuat "lopo", semacam rumah gubuk untuk berteduh di ruang yang lapang (biasanya pekarangan) dari panasnya hawa di Alor.
Rumah/gubuk Lopo, rata-rata selalu dimiliki oleh beberapa rumah sebagai tempat istirahat, sekedar berteduh, mencari hawa dingin dan angin semilir, berdiskusi atau berbincang santai, bahkan di malam hari pun tidak jarang untuk berkumpul dan tiduran sambil membuat api unggun. Jangan lupa, jika siang hari di Alor hawanya sangat panas, tetapi di malam hari terutama menjelang tengah malam, dinginnya minta ampun.

Rutinitas berkumpul itu ternyata menjadi kebiasaan, atau katakanlah budaya berkumpul, di masyarakat Alor secara sangat mendalam. Keputusan-keputusan adat, keputusan pembangunan desa, dan kesepakatan-kesepakatan lain yang perlu disepakati oleh masyarakat secara lebih luas (tingkat desa atau tingkat komunitas adat), tidak jarang bermula dari diskusi-diskusi kecil di rumah "lopo" ini. Lopo menjadi salah satu nafas berkebudayaan, bersosialitas, dan membangun komunitas.

Ketika saya mulai menyinggung "mengapa pemakaman/pekuburan banyak di pekarangan-pekarangan rumah", mereka secara sepontan menceritakan dengan hati terbuka. "Karena mereka yang sudah mati sesungguhnya tidak pergi menghilang meninggalkan kita", itu jawaban inti pertama-tama yang saya dengar. Mereka yang sudah mati (roh-roh), masih berada di sekitar kita, mendengarkan kita, mungkin juga ikut duduk-duduk bersama kita di lopo, ikut membimbing kita, masih ingin berkontribusi dalam kehidupan kita yang masih hidup. Itu sebabnya kita sering bermimpi tentang dia, bahkan dia mungkin memberikan saran, petunjuk, atau apa dengan simbolisasi.

Saya memang tidak begitu kaget dengan penjelsan-penjelasan itu sebab banyak hal yang sama terjadi bula di berbagai komunitas adat di Indonesia, seperti di Batak, Minahasa, bahkan sebagian di Jawa. Tetapi dari cara mereka mengungkapkan pandangannya itu saya merasakan suatu relasi yang amat mendalam antara dunia kehidupan dan dunia kematian, antara yang masih hidup dan yang sudah mati. Mereka yang sudah mati masih ada, eksistensinya bersama kita, dan oleh karena itu sebagian kebutuhannya mungkin masih sama seperti kita. Mereka butuh "rumah".
Itu sebabnya pemakaman di pekarangan oleh orang Alor dibuat sebegitu bagus, begitu indah, cenderung mewah dibanding material-material di rumah sendiri. Tidak jarang yang dibuat atap bagus dari seng. Pemakamannya dibuat dari keramik yang dingin. Berbagai ornamen bunga hias, barang-barang yang disukai oleh saudara yang sudah meninggal dipajang, foto-foto, dan bermacam-macam lain. Oleh karena bentuk makam yang relatif cukup mewah, misalnya yang dibuat dari keramik, maka lokasi pemakaman ini menjadi salah satu tempat yang nyaman untuk duduk-duduk siang hari yang memang begitu panas. 

Mereka (yang sudah mati) memang mungkin tidak "menghilang" meninggalkan kita yang masih hidup. Mereka pun, mungkin, masih tetap kangen kepada kita. Kita memang selalu ingin dekat dengan sanak-saudara kita, entah dia masih hidup atau sudah meninggal. (Emil369).