Kopi: Konteks Kultur dan Sosialitas Aceh
Oleh: Emil E. Elip
Beberapa
gambaran dilematis kopi
dan petani kopi adalah sebuah kenyataan yang mungkin terasa sangat tidak adil bagi
Anda. Ketidak adilan ini serasa
semakin tajam jika Anda meminum kopi dari tanah Gayo di wilayah masyarakat
Gayo-Aceh, merasakan nikmatnya[1] ditemani
landscape yang indah atau hangatnya api unggun di sore hari, atau melihat
bagaimana para petani menunggui dan menghidupi keluarganya dari kopi, maka
sungguh terasa ketidak adilan itu hadir tidak
hanya mengusik ”dikepala” namun meremas tepat diulu hati kita.

Tetapi
sudahlah, kita tidak
hendak membahas kopi dari sudut ekonomi semata dan tatakelola perdagangannya yang timpang,
yang
memang nampaknya sangat ruwet. Yang perlu kita hargai sebagai energi
kebudayaan adalah, bahwa kopi telah menjadi media sosialitas masyarakat Gayo dan masyarakat Aceh umumnya. Lebih
dari itu, apapun pahit getirnya dalam konteks
ekonomi, kopi telah menjadi alat bertahan
hidup (strugling of
life) orang Gayo menjaga
keluarganya bertumbuh dari jaman ke
jaman, entah bagaimanapun sulitnya hidup dan beratnya merawat kebun-kebun kopi.
Marilah kita sedikit meninjau kopi ini dari sudut sosio-kultural yang agak luas, tidak dalam komunitas Gayo saja tetapi juga komunitas Aceh pada umumnya (lihat terbitan dari Aceh sampai Loknga).
Apakah kopi di kedai-kedai kopi di wilayah Aceh Nangroe Darussalam sama saja?
Kalau Anda minum kopi di kedai-kedai kopi di kota-kota
pesisir seperti Banda Aceh, Biereun, Lhokseumawe, Langsa, Meulaboh, dll
maka rasa kopinya
dikenal oleh khalayak umum sebagai cita rasa
kopi Ule Kareng yang juga kesohor di sana. Namun
kalau Anda minum kopi
dikedai-kedai di Bener
Meriah, Takengon, dan
Kutacane maka bukan cita rasa Ule Kareng yang Anda temui, tetapi cita rasa kopi Gayo yang hitam dan lebih
keras. Di tiga kota tersebut terakhir cita rasa kopi Ule Kareng bisa juga
Anda temui khususnya di kedai-kedai kopi yang dibuka oleh orang Aceh pesisiran.
Kopi
dan kedai kopi
di Aceh
memang kontekstual. Tergantung dari wilayah dan kebudayaan mana cita
rasa, mulut dan perut Anda dibentuk.
Bagi mereka yang dibesarkan
dalam kebudayaan Gayo maka rindu rasanya kalau seharian belum
minum kopi Gayo. Begitu pula
sebaliknya, yang dibesarkan dalam kebudayaan Aceh pesisiran rindu untuk minum kopi
cita rasa Ule Kareng. Tetapi
konon bahan dasar
bijih kopi cita rasa Ule Kareng pun berasal dari kopi Gayo, hanya diproses dengan cara, tehnik, dan tambahan bumbu yang berbeda.
Kedai Kopi, Cafe Kopi ”Plus”
Kapankah tepatnya nongkrong di warung kopi, atau kalau di wilayah Eropa disebut
”cafe”,
mulai merebak. Kopi dihadirkan pertama kali ke
khalayak publik sebagai jasa warung kopi, atau disebut kiva han atau ada juga
yang menyebut qahveh khaneh (artinya pencegah kantuk), adalah di Konstatinopel (Istambul) Turki pada tahun 1475[2] . Waktu
itu
hanya
ada
satu
warung kopi. Tujuh puluh sembilan tahun kemudian, tepatnya tahun 1554 dua warung kopi dibuka lagi di Istambul. Di Turki
kala itu warung kopi dikenal juga dengan sebutan
”school of wise”. Dengan
datang ke warung dan minum kopi orang semakin
pintar, karena di sana bisa mendengarkan musik, berbincang-bincang tentang berbagai hal, atau sekadar mendengar diskusi- diskusi yang berkembang.
Seiring semakin kuatnya kesultanan Ottoman
di Turki melalui penahklukkan
kerajaan-kerajaan di wilayah mediteranian, maka dari Turki kopi merambah masuk ke kota Venice (Italia) sekitar tahun
1615[3] . Namun
tersebar
issu
bahwa
minuman ini
disebut
”minuman setan” sehingga menumbuhkan berbagai kontroversi sampai-sampai membutuhkan keterlibatan Paus Clement
ke-VIII untuk memberikan ijin bahwa kopi boleh diminum dan dijual di warung-
warung kopi.
Masih di awal-awal abad XVI itu warung kopi pertama di buka di London. Pada
awal abad XVII warung kopi yang kemudian
sangat kesohor Edward Lloyd’s Coffee dibuka di kota yang sama. Dari Inggris
kopi dibawa ke
”dunia Baru” (Amerika)
pada abad XVI. Kopi
begitu
pesat
berkembang
sehingga
di
London pada akhir abad ke-XVII tercatat sudah 300 warung kopi beroperasi. Dari
Inggris kopi masuk ke Belanda, dan
cafe kopi persia dibuka pertama kali di negara initahun 1713. Belanda kemudian
menyebarkan kopi ke India dan
Indonesia sekitar pertengahan abad
XVII. Begitulah sekilas perkembangan minum kopi di warung kopi,
yang
disinyalir sebagai ”the most consumed baverage in the planet”.
Menurut penelaahan banyak kawan bahwa
perkembangan binis kopi di Aceh sangat signifikan pasca Tsunami dan MoU Helsinki. Dunia dan atmosfir
nongkrong minum kopi telah berkembang
bermacam- macam, mulai dari yang bernuansa
tradisional- konvensional sampai ke nuansa modern-metropolis, lengkap dengan berbagai
fasilitas serta asesoris pelengkap promosi. Ada Kedai
Kopi, ada Cafe Kopi, dua nama yang
sebetulnya maknanya sama saja
sebagaimana ”warung kopi”. Jaman dahulu bayangan mengenai ”kedai”
atau ”warung” kopi adalah tempat minum kopi
dengan perabot bermeja
papan, kursi kayu, rumah warung dari papan,
tanpa AC atau kipas angin. Inilah gambaran konvensional-tradisional.
Sekarang ”kedai” atau ”warung” kopi mengambil tempat dan design
ruang yang lebih mewah persis seperti kita
lihat ”cafe-cafe” di film-film luar
negeri, bahkan dilengkapi dengan
akses internet.

Itulah
letak ”plus”-nya, bahwa kedai kopi di
Aceh (khususnya di kota Banda Aceh) dewasa ini dikelola dengan desain yang modern dalam manajemennya,
setting ruang yang enak dan mewah, meubelair yang
menunjukkan wajah ”wah”, dengan
setting lampu yang romantis, dilengkapi dengan akses internet, dan di beberapa kedai atau cafe pelayannya adalah perempuan- perempuan
muda.
Di
kedai-kedai kopi
”pinggiran”, maksudnya yaitu kedai
kopi yang letakknya di
perkampungan, para pelanggan
memang didominasi kaum laki-laki.
Namun kondisi ini sudah jauh berbeda
dengan kedai atau face kopi yang ada
di kota. Pelanggannya sudah hampir sebanding antara
laki-laki dan perempuan.
Para tamu ini datang dari bermacam kalangan entah anak SMA, mahasiswa, para pegawai negeri maupun swata, para pebisnis, para
pengangguran, seniman, aktivis LSM,
dan berbagai macam lainnya. Nampanya topik-topik yang dibicarakanpun bermacam
rupa entah cuma berkelakar biasa, tapi
ada pula yang membicarakan perkembangan politik
lokal dan nasional, bisnis,
diskui kemahasiswaan, atau sekedar menggosip, dan tentu saja ada pula yang
berkencan.
Warung kopi, dimana sekarang sering memakai
istilah cafe, bukanlah
sekedar institusi sosial
yang terkait dengan pedagangan dan jasa saja. Warung kopi cenderung menjelma menjadi institusi
sosial yang menjadi arena
dimana hampir tidak ada sekat-sekat batas
sosial. Jika
Anda
hendak bernegosiasi ”pekerjaan” dengan para fungsionaris birokrat, akan sangat
berbeda nuansanya jika
dimulai di cafe
kopi. Jika mitra bisnis yang
sedang Anda dekati dibawa terlebih dahulu ke cafe-cafe kopi, mungkin naunsa- nuansa negosiasi berikutnya
akan menjadi lebih mulus.
Antara pukul 17:00 sampai sebelum mahrib
sudah merupakan pemandangan yang biasa di cafe-cafe kopi cukup padat
dengan anak-anak muda masih berpakaian rapi ala kantor, bercanda melepas ketegangan pekerjaan
dengan rekan-rekan mereka. Saat
mahrib cafe-cafe ini sepi
karena ditutup sementara, dan
setelah mahrib kembali ramai. Kondisi ini mungkin mirip dengan para eksekutif muda di
Jakarta yang setelah jam-jam kantor selesai mereka datang ke cafe-cafe,
karaoke, atau diskotik untuk melepas lelah dan ketegangan pekerjaan
kantor.
Kedai dan cafe kopi
(khususnya di kota besar Banda Aceh) telah
menjadi arena ”non-formal”, sekat-
sekat struktur sosial yang membelenggu hilang sementara meski masih dalam batas koridor kesopanan. Orang khususnya kaum muda, ingin mencari arena yang lebih ”longgar”
dimana untuk sementara terhindar dari beban-beban
ekonomi, struktur-sosial, himpitan
kekuasaan, atau mungkin (bercampur) bayangan tekanan psikologis masa lalu
oleh karena konflik panjang.
Pertanyaan yang menarik diajukan, ”ngopi”
merupakan koteks kekinian masyarakat
Aceh, atau ngopi sudah merupakan ”oase” kehidupan dalam
historisitas masyarakat Aceh. Jika memang ya, sejak kapan keudai kopi dan ngopi ini kira-kira telah mewarnai fenomena
perkembangan masyarakat Aceh.
Kopi dan Historisitas Aceh
(Sekedar reintepretasi historis)
Sekarang mari kita pertanyakan lebih
dalam, apakah kedai-kedai kopi
di Aceh
dalam lintasan sejarah
Aceh menyumbangkan
alternatif-alternatif kritis untuk
tatanan “dunia
baru”? Ambil misalnya saja, apakah
kedai-kedai kopi di
era kolonial dulu punya peran sebagai arena kritalisasi
gagasan-gagasan kepahlawanan dan
praktik-praktik strategi perlawanan
demi bangsa yang berdaulat dan terhormat? Entahlah, secara historiografi mungkin tidak ada catatan-catatan
sejarah tentang hal itu, dan penulis
juga belum pernah menemukan artikel yang mengintepretasi
mengenai hal tersebut.
Namun mungkin bisa dilakukan rekonstruksi antara sejarah perkembangan persebaran
kopi, sejarah masuknya pengaruh-pengaruh Islam (terutama Turki dan Arab) dan di sisi lain sejarah kepahlawanan pejuang-pejuang Aceh.
Dari rekonstruksi itu mungkin
barang sedikit kita
bisa mengintepretasi apakah kehidupan “warung
kopi” telah mewarnai “Aceh tempo doeloe”.
Mitos awal mengenai kopi ada di daerah
Etiopia dengan legenda penggembala kambing
bernama Kaldi pada awal abad 8[4] . Dari sini kemudian kopi menyebar ke Mesir, Yaman, dan Arab. Namun bangsa
Arab-lah yang berhasil
mengembangbiakkan tanaman kopi ini, bahkan memproduksi
dan memperdagangkannya di sekitar abad 11[5] . Di negara-negara jazirah
Arab kopi yang biasa disebut qahweh ini menjadi sangat populer,
namun secara formal kopi menjadi jasa perdagangan
dalam bentuk ”kedai kopi” terjadi tahun 1475 (tulisan lain menyebutkan abad 16) di Konstantinopel
(Istanbul- Turki) dikenal dengan istilah Kiv Han (artikel lain menyebutkan kahve)
pada era kejayaan Khalifah Turki Usmani. Dari negeri para khalifah ini kopi kemudian menyebar ke Italia, Inggris, dan Belanda antara
abad 16 sampai 17. Namun
ngopi di ”warung
kopi” waktu itu
masih menjadi dominasi
kaum elite karena harganya yang selangit.
Belanda akhirnya mendapat bibit-bibit biji
kopi tersebut pada sekitar abad 17, dalam upayanya untuk memotong mata rantai monopoli pedagangan kopi oleh bangsa
Arab. Pada tahun 1610, Belanda mencoba mengembanbiakkan tanaman kopi ini di India namun kurang begitu berhasil.
Pada tahun 1699 Belanda mencoba kembali
mengembangbiakkan tanaman kopi
di perkebunan kopi
di
Srilanka dan
tanah Jawa (Indonesia) pada tahun 1699[6] . Akhirnya melalui
institusi dagang VOC, Belanda
berhasil mengeksport
kopi tahun 1711 . Indonesia adalah tempat perkebunan pertama diluar
Arabia dan Ethiopia dan VOC memonopoli perdagangan
kopi
ini dari tahun 1725
sampai 1780. VOC kemudian melebarkan
sayap dengan menanam kopi diluar Jawa seperti di Sumatra, Bali, Sulawesi
dan Timor. Tanaman kopi tersebut akhirnya masuk ke dataran tinggi Gayo (Aceh)
sekitar tahun 1924[7] .
Menilik
perkembangan sejarah tanaman kopi, maka dia baru masuk ke Indonesia pada sekitar abad 17, bahkan penanamannya secara perkebunan baru masuk ke Aceh (Takengon) sekitar tahun 1924. Dalam sudut
pandang sejarah yang lain, yaitu sejarah Islam masuk ke Aceh, maka kemungkinan sejarah orang Melayu (termasuk Aceh) minum kopi bisa menunjukkan cerita yang berbeda.
Hubungan komunitas-komunitas masyarakat di Aceh
dengan pedagang-pedagang Islam,
secara lebih konstruktif dan terorganisir
dalam bentuk perdagangan, perkawinan silang maupun kerja sama resmi dua
institusi kesultanan, dimulai sejak kesultanan Islam Perlak pada sekitar abad VIII. Kemudian juga dengan kesultanan Samudra Pasai sekitar abad
X, dan dilanjutkan dengan hubungan yang lebih kuat melalui kesultnan
Aceh Darussalam yang dimulai pada abad XII.
Pada
masa
kejayaan kesultanan
di Aceh itu, terjalin hubungan yang paling kuat dengan Turki
yakni pada tahun 1567 dalam bentuk
pengiriman armada- armada Angkatan
Laut ke Aceh di bawah perintah
keluarga kesultatan terkuat saat itu yaitu keluarga Usmaniah yang bernama
Sultan Selim II. Bantuan ini bertujuan memperkuat armada laut Aceh dalam memerangi Portugis, dan juga membangun semacam
”akademi angkatan laut”
yang
kuat
di
Aceh[8] .
Dikisahkan utusan itu terdiri atas
beberapa armada angkatan laut, ulama, ahli kapal, ahli altileri, beserta
tukang-tukang. Oleh Sultan Selim mereka diminta
tinggal di Aceh selama sultan Aceh masih membutuhkannya. Dikisahkan bahwa
akhirnya para utusan tersebut banyak yang kawin dengan penduduk setempat. Relasi
yang kuat ini
terjadi sekitar satu
abad setelah budaya ngopi kahve
sudah sangat membudaya di Turki (Tahun 1475-an), dimana kopi juga sudah mulai diperdagangkan
oleh
bangsa
Turki
ke
Italia,
Jerman, Perancis, Inggris, dan Belanda. Sementara tanaman kopi baru masuk Indonesia
sekitar 1725 oleh Belanda. Relasi orang-orang Aceh yang cukup intens dengan pedagang-pedagang,
para ulama, maupun para spesilist (ahli)
dari
Arab
dan Turki
tersebut, bukan tidak mungkin
telah memperkenal orang-orang Aceh
dengan minuman yang disebut ”kopi”.
Ada beberapa
intepretasi tentang ”ngopi” yang terjadi pada masa kesultanan Aceh tersebut. Pertama, kopi masih di minum dalam
kalangan elite-elite kesultanan dan
bara bangsawan sebagagai
jamuan minum bersama. Sebabnya yaitu bahwa kopi belum menjadi barang perdagangan umum, kopi
diperoleh
sebagai
”cinderamata” mata saja dari para utusan dari dunia Arab dan Turki. Intepretasi Kedua, kalaupun sudah dipasarkan di
Aceh[9], kuantitasnya masih
sangat langka atau harganya sangat
mahal, sehingga saudagar kaya, para penyair-pujangga,
para bangsawan atau sanak saudara kesultanan saja yang mampu nongkrong
di ”keudai kopi”. Intepretasi kedua
ini pun cukup logis, sebab para pedagang luar dari Arab dan Turki tentu saja
bukan pedagang biasa tetapi setingkat
saudagar. Merekapun kiranya ingin memasarkan atau membuat kedai kopi,
seperti yang telah terjadi
di negara-negara eropa.
Bagaimana dengan lintas sejarah para
sastrawan- budayawan dan pahlawan? Hamzah
Fansuri, seorang ulama, pujangga dn penyair, namun juga bisa disebut pengelana
hidup sekitar abad 16,
seangkatan dengan Syekh
Syamsuddin bin Abdullah Al Sumatrani, Syekh Ibrahim Al Syami dan Syekh Nurruddin Al Raniri dari
Gujarat. Tiga ulama terakhir telah lebih dulu menjadi ulama sekaligus pujangga
kesultanan, baru kemudian
Hamzah Fansuri menyusul. Cik Di Tiro hidup tahun 1836-1891, Teuku Umar
hidup pada 1854 – 1899, Cut Nyak Dien antara 1850-
1908, Cut
Meutia
1870-1910, dll.
Jika
pada
masa kedekatan sultan-sultan di Aceh dengan orang-orang Turki yaitu
sekitar abad 15,
dimana kemungkinan besar ”ngopi” bersama sudah ada meski di kalangan
terbatas, maka penulis kira hal yang
sama sudah ada pulan pada masa para
pujangga-ulama, penyair dan
pengelana, dan kemudian diikuti masa
hidup
para ”pahlawan”.
Jadi ”ngopi” (bersama) sejak
zaman
kesultanan (besar) Aceh
penulis
kira sudah menjadi
arena ”dialog”,
dimana orang saling membagi
energi penyegaran dan pembaharuan pemikiran[10]. Bukan tidak mungkin keunggulan-keunggulan Aceh sejak zaman itu, disumbangkan
oleh peran ”tempat ngopi”. Strategi ketatanageraan yang hebat zaman Iskandar
Muda, qanun-qanun yang sahih, syair-syair pujangga ternama, strategi-strategi
perang samudera, majunya mazhab-mazhab pemikiran Islam, dll kiranya satu dan lain hal ditopang oleh
”hidupnya” perbincangan di
arena-arena kedai kopi.
Peran ”ngopi” dalam perkembangan sejarah
masyarakat Aceh ini tentu saja terus berlanjut
sampai pada masa pra-kemerdekaan
Indonesia dan masa konflik panjang antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan Pemerintah
Pusat (Indonesia). Pada
era-era tersebut pasti warung kopi di
Aceh kuantitasnya sudah jauh lebih banyak dibanding masa kesultanan dan penjajahan. Kopi sudah
merakyat dimana-mana sebagai komoditi merakyat
(publik). Dan tentu saja, peran
warung kopi sebagai arena ”ngopi” bersama, pada intinya mirip dengan
jaman-jaman sebelumnya, bahwa dia menjadi arena mencari ”energi
baru”: menganalisi kondisi kekinian—memperbincangkan secara
kritis, setara dan lintas individu—format ulang gagasan-gagasan baru. (369)
[1] Citra rasa kopi masyarakat Gayo ini, menurut para ahli kopi, nikmatnya
mencapai tiga tingkatan. Ketika di dalam mulut dan kemudian mengalir ke dalam
kerongkongan, kopi ini menyentuh kenikmatan
khas indera-indera
pencecap. Ketika sudah ditelan
dan masuk di dalam perut, ia
tidak menumbuhkan kejenuhan
atau sakit
perut namun justru
yang muncul adalah
kelegaan.
Setelahnya, sementara masih terasa lega di dalam perut kenikmatan
yang ada di dalam mulut
dan kerongkongan aroma khas
kopi tersebut masih
dapat dirasakan
bersama- sama. Bagi para pecandu kopi, mungkin, saat itulah saat yang tepat untuk memulai sharing, berdiskusi, atau sekedar memulai
obrolan dengan kawan,
berangkat dari obrolan yang enteng-enteng saja sampai soal politik, mungkin
juga bahkan yang berbau filsafat.
[2] Lihat artikel ”Coffee,
The
Drink
of
Choice” oleh
Hilda Maria
Sigurdardotir (http://ezinearticles.com).
[4] Lihat artikel Azma Putra dalam http://id.ecehinstitute.org, 12 Mei 2009;
dan artikel Radinan Maruddany dalam http://www.acehblog.com,
12 April 2010. Di kisahkan si Kildi suatu
ketika
menemukan
kambing-kambingnya
dalam keadaan sehat bugar
dan lebih lincah setelah memakan suatu
biji-bijian. Sang pemuda membawa pulang biji-bijian tersebut, merebus dan meminumnya. Sejak
itu biji-bijian yang disebut kopi menjadi minuman tradisional di masyarakat Etiopia.
[5] Lihat artikel
Hilda Maria Siguldardottir
dalam ”Coffee The Drink of
Choice” (http://www.ezienearticle.com)
[9] Mungkin ini merupakan keterbatasan penulis dalam mengumpulkan fakta dan
artikel sejarah, dimana dari
sekian banyak artikel sejarah
yang terkait
dengan komoditi-komoditi perdagangan
belum tercatat nama ”kopi”. Yang dicari para pedagang luar itu antara lain emas, kapur barus,
dan rempah-rempah, dan tidak
ada catatan komoditi apa yang didagangkan kepada penduduk
lokal. Namun perlu diingat bahwa banyak penulis
yang
menyoroti sejarah masa lalu
menulis bahwa Kutaraja (Banda Aceh) waktu itu adalah kota yang kosmopolitan. Di
kota ini merupakan perjumpaan
berbagai orang
dan bangsa mulai dari
Arab,
Turki, Yaman, India, Malaysia, Eropa, Thailand, Khemer, Cina, Jawa, dll dengan
berbagai profesi dan kepentingan seperti para ulama, penyair-pujangga, para pengelana, pedagang besar antar negara (saudagar), bangsawan-bangsawan kesultanan, atau mungkin juga para bala-tentara,
dll.
[10] Banyak artikel
yang
mengupas mengenai budaya ”ngopi” di Aceh
menyebutkan bahwa
ngopi ”sudah membudaya sejak
lama di Aceh”. Namun dari berbagai artikel-artikel tersebut kurang jelas
dapat dirunut ”sudah lama membudaya” tersebut
kira-kira kapan periodesasinya.
Lebih dari itu tidak ada gambaran bagaimana ”ngopi”
tersebut berperan
dalam konteks masyarakat dari waktu
ke waktu.