Hidup,
Puisi, dan Katarsisme
Oleh:
Emil E. Elip
Benar
kiranya, hidup itu adalah “puisi”. Oleh karenanya sebagian besar puisi
merupakan hasil refleksi sang penulisnya atas perjalanan dan laku kehidupannya. Pada
penggalan-penggalan kehidupan yang penuh warna penderitaan dan kegetiran, maka
produk-produk puisi sang penulisnya kemungkinan besar akan bernuansa reflektif
diri, berwarna pecarian atas Tuhan-nya, mungkin juga puisi-puisi penyesalan,
atau bahkan semacam keinginan pemberontakan diri.
Sebaliknya,
pada periode-periode kehidupan sang penulis yang penuh warna kesuksesan atau
keberhasilan meraih sesuatu, maka puisi-puisi yang ditulispun sangat mungkin
akan bernuansa terima kasih kepada sang Khalik, atau bait-bait yang sangat
menggugah dan menganjurkan bahwa kehidupan itu penuh kejutan, penuh hal-hal
tidak terduga dan mungkin ingin mengatakan juga bahwa mukzizat itu bukan isapan
jempol belaka.
Jadi,
sekali lagi (semoga sidang pembaca juga setuju), bahwa hidup itu puisi. Dan di
dalam puisi itu bisa kita lihat berbagai macam kejadian kehidupan. Dan luar
biasanya adalah, puisi bisa muncul tercipta bagaikan badai yang bisa terjadi
setiap saat seperti pasang surut datang dan perginya sang badai. Hari ini
muncul puisi-puisi yang menyayat-nyayat, skeptis, depresif…beberapa hari lagi
bisa muncul puisi bersemagat, menggugah, optimistik, dsb.
Puisi
Dan Sosialitas Masyarakat
Setiap
masyarakat memiliki cara mengungkapkan refleksi perjalanan kehidupan mereka.
Saya ingin menyinggung salah satu saja kelompok kehidupan masyarakat nomaden
yang tersebar di jazirah Arab, Timur Tengah lainnya, sampai Utara Mesir hingga
Spanyol Selatan tepatnya di Granada. Kelompok masyarakat ini adalah masyarakat
nomaden, berpindah-pindah, mencari tempat yang paling memungkinkan bagi mereka
untuk mencari makan, berburu, berdagang, dsb. Mereka sering disebut juga
kelompok “gipsi” (gipsy), yang
beberapa akar budaya gipsinya bersumber dari komunitas-komunitas nomaden di
India Utara sekitar Rajastan.
Kehidupan
masyarakat gipsi bagaikan “badai”. Keadaan bisa berubah sewaktu-waktu. Selalu
harus siap mengadapi rivalitas kelompok lain. Kekurangan makanan dan air
terjadi sepanjang perjalanan. Kematian anggota kelompok adalah hal biasa. Namun
rasa persaudaraan keluarga sangat tinggi. Pompa semangat kelompok, solidaritas,
ikatan batin, kekerabatan dan senioritas sangat dijaga. Maka…pada saat-saat
tertentu, mereka memerlukan sebuah suasana untuk mengungkapkan perasaan hati
yang paling dalam (beyond the reality).
Suasana itu adalah “musik dan puisi”, yang secara modern kita sebut seni dan
kesusastraan (karena dalam periode-periode selanjutnya musik, puisi, dan prosa
liris itu diungkapkan dalam media “aksara”).
Mengapa
mereka, dan juga masyarakat-masyarakat modern selanjutnya, membutuhkan
“suasana” itu? Pada prinsipnya adalah mirip dengan teori psikoanalisa, bahwa
refleksi-refleksi kehidupan yang terpendam jauh dibawah kesadaran manusia
(secara tradisional di sebut “jiwa”), itu harus diungkapkan secara bersama-sama
supaya muncul rasa saling meneguhkan, menguatkan, menyemangati, mengingat dan
menarik pelajaran dalam masa-masa sulit maupun ketika masa-masa jaya. Dalam
teori-teori modern Anropologi-Psikologi, suasana itu disebut “liminalitas”,
yaitu suasana kosong menyatu tanpa struktur, tidak ada perbedaan senioritas,
tidak ada kaya miskin, tidak juga tuan dan hamba, menepis semua rasa kekurangan,
dll. Dan di dalam suasana semacam itu adalah musik dan puisi yang paling tepat
menjadi media bersama satu dengan yang lain. Itulah kiranya yang sering disebut
suasana atau media “katarsis”, yang seyogyanya terjadi dari level individu
(pribadi) sampai level antar individu (komunal, masyarakat, sosial).
Di dalam musik
dan puisi gipsi, syair muncul spontan oleh setiap orang di dalam kelompok
masyarakatnya, dengan hak pengungkapan yang sama dan bebas. Bisa oleh prajurit,
tokoh spiritual, raja atau kepala suku, ibu rumah tangga, pedagang, dll. Tidak
perlu belenggu struktur sosial. Semua bisa menjadi pelantun syair menurut
intepretasi dan refleksinya atas kehidupan pribadi atau atas perjalanan
kelompok/masyarakatnya. Mari kita lihat dua contoh puisi dari dunia kehidupan
latar belakang kebudayaan gipsi berikut ini.
Penggalan dari puisi berjudul Gacela of the Dark Death, karya Garcia
Lorca (1898)[1] seorang penyair dan dramawan Spanyol (tepatnya
wilayah Granada), sungguh jelas meyiratkan kehidupan umum kaum gipsi masa
lampau yang nomaden, keras, penuh ketidakpastian.
…
Tak ingin aku mendengar lagi bahwasanya kematian
tidak menghilangkan darah mereka,
menjadikan
busuk mulut mereka menganga kepada
air untuk meminta-minta
…
Untuk sementara waktu
biarkan aku lelap,
Tapi semua harus
tahu bahwa aku
sudah terlampau mati;
namun ada tambang emas di belahan bibirku;
Akulah teman si kecil
dari pesisir barat
bayangan nyata dari
airmata yang memberat
…
Kaum gipsi
Spanyol Selatan merupakan migrasi dari kaum Moor nomaden di jazirah Arab dan
Afrika Utara, yang pernah mengalami masa jaya di daerah ini sepanjang lebih
dari 600 tahun. Seni, kesusasteraan, perdagangan, kehidupan agama Islam, ilmu
pengetahuan, pertanian dari bangsa Moor ini berkembangan sangat maju di Granada
dan sekitarnya. Sampai pada Abad Pertengahan masyarakat Granada didesak oleh
kerajaan-kerajaan Utara yang Kristen. Penyerbuan itu bahkan digambarkan
bagaikan culture genocide (pembunuhan
karakter budaya). Perubahan dan pemaksaan pola kebudayaan dan agama yang baru
ini tentu menumbuhkan kondisi kekacauan, keterasingan dan keputusasaan mendalam.
Namun dari
lubuk hati paling dalam, yang mungkin bisa kita sebut “jiwa”, jiwa gipsi Moor
tidak pernah hilang. Penyair-penyair musik Flamenco, yang anehnya sebagian
besar adalah kaum perempuan, sampai saat ini masih eksis menyampaikan nyanyian
syair-syair harapan, ketegaran jiwa, keputusasaan sekaligus juga harapan,
pentingnya ikatan sosial dan penghormatan kepada orang tua dan leluhur, dll.
Semuanya keluar dari jiwa, “secara spontan”. Semakin spontan dan luar biasa
maka semakin hebatlah sang Flamenco. Lihatlah contoh penggalan syair yang
berwarna harapan atas kehidupan baru berikut ini, oleh George Smith (2009)[2]
dari bukunya Gipsy Life: Being an
account of our Gipsies and their children.
"Bagaimana kalau kita berkumpul di sungai,
Dimana kaki malaikat terang 'telah menginjak,
Dengan pasang kristal untuk selama-lamanya
Mengalir dengan takhta Allah?
Ya, kita akan berkumpul di sungai,
Yang indah, sungai yang indah,
Yang mengalir dengan takhta Allah.
"Sebentar lagi kita akan mencapai sungai perak,
Segera ziarah kami akan berhenti,
Segera hati bahagia kami akan bergetar,
Dengan melodi perdamaian.
Ya, kita akan berkumpul di sungai,
Yang indah, sungai yang indah,
Yang mengalir dengan takhta Allah"
Dimana kaki malaikat terang 'telah menginjak,
Dengan pasang kristal untuk selama-lamanya
Mengalir dengan takhta Allah?
Ya, kita akan berkumpul di sungai,
Yang indah, sungai yang indah,
Yang mengalir dengan takhta Allah.
"Sebentar lagi kita akan mencapai sungai perak,
Segera ziarah kami akan berhenti,
Segera hati bahagia kami akan bergetar,
Dengan melodi perdamaian.
Ya, kita akan berkumpul di sungai,
Yang indah, sungai yang indah,
Yang mengalir dengan takhta Allah"
Secara umum,
karakter ekpresi kesenian khususnya musik dan puisi, dari suku-suku nomaden di
jazirah Arab, Mesir, Afrika Utara, Turki, Siria, sampai Granada, adalah
spontanitas dan berulang di beberapa baitnya sebagai upaya penekanan makna. Susunan
syair kata-kata dan makna terlahir secepat kilat. Begitu ritme (musik)
dimainkan setiap orang seakan tahu apa yang harus disampaikan, diungkapkan,
bahkan terkadang saling sahut menyahut satu sama lain, saling melengkapi,
saling memaknai setiap episod untuk semakin dalam menghujam dalam pengalaman
lubuk hati. Semua jiwa yang medegarkannya tersentuh, bergetar hanyut, dan oleh
karena itu menumbuhkan “katarsis” (bisa diterjemahkan penyembuhan,
pembaharuan). Pada suasana dan level kedalaman tertentu, suasana katarsis ini
mungkin menumbuhkan kondisi “trans”. Kondisi trans jangan diterjemahkan
negatif. Trans ini mungkin lebih tepat dipahami sebagai kondisi kosong magis,
tidak ada ruang dan waktu, tidak ada beban duniawi, jiwa terbawa hanyut menuju
perjalanan penyatuan dengan Sang Khalik[3].
Anehnya, tidak
ada yang menilai “ooo…syairmu kurang
medalam”, “syairmu tidak bermutu dan
dangkal”, “kau masih pemula”…dan
lain sebagainya. Setiap individu-pribadi adalah unik. Setiap orang punya
pengalaman pribadi, dan pengalaman pribadinya diakui dan dimaknai sebagai
pengalaman bersama sukunya, masyarakatnya. Maka setiap “uangkapan syair”, oleh
siapapun dia, adalah bagian ungkapan ekspresi kebudayaan dan pegalaman
kehidupan suku dan masyarakatnya. Sebab “katarsis” tidak bisa diwakili dan
dilakukan oleh beberapa orang saja. Suasana katarsis harus dirasakan dan
dilakukan bersama. Dengan kata lain “katarsis” tidak bisa diwakili hanya oleh
beberapa orang, yang katakanlah, diberi status “penyair”.
Masyarakat
Modern Melakukan “Lebeling”
Para penulis
bangsa Moor, biasanya juga fasih menulis syair dan juga berfilsafat. Para ahli
bangunan bangsa Moor, biasaya paham betul matematika dan astronomi, bahkan juga
filsafat. Tidak sedikit para saudagar, yang urusannya ekonomi dan uang, juga
pengungkap bahasa turur (syair) yang cukup mumpuni. Semakin modern masyarakat nampaknya
semakin terkotak-kotak. Masyarakat modern menuntut segmentasi yang jelas. Ahli
matematikakah, ahli bangunankah, ahli politikkah, akademisikah, dsb termasuk
dalam hal ranah seni dan kesusastraan. Anda penyairkah, noveliskah,
cerpeniskah, atau pemusik. Dalam hal penyair, penyair seniorkah, penyair
pemulakah, atau baru setingkat peminat syair-syair.
Ada banyak
profesor yang tidak menghasilkan produk ilmiah yang signifikan yang bermanfaat
bagi kemajuan bangsa. Namun tulisan-tulisannya, yang kerap biasa-biasa saja,
oleh karena mendapat labeling “profesor” laku dijual dimana-mana. Labeling
adalah “status-quo”. Di dalam politik
status-quo adalah kekuasaan yang diberikan. Di dalam seni dan kesusastraan,
status-quo itu bisa jadi semacam previlese,
semacam status gengsi yang disandangkan kepada seseorang. Anda adalah penyair.
Dia juga penyair, penyair besar lagi. Dan oleh karena status-quo, previlese
penyair itu, Anda atau Dia (bisa jadi) laris dimana-mana.
Sebagian besar
yang diberikan status “penyair”, selalu menolak merasa diuntungkan dengan
previlese itu. Tetapi saya yakin mereka sesungguhnya menikmatinya. Mengapa
begitu? Karena setiap penyair itu sesungguhnya juga manusia biasa, seorang
individu pribadi yang ambigu seperti juga individu-individu lain di dalam
masyarakat. Dan dengan kondisi ambiguitas itulah maka perasaan mendecak-decak
itu muncul dan tertuang dalam penciptaan syair-syair, senandung, dan
semacamnya. Tidak peduli apapun betuk dan jenis syairnya.
Mengapa lantas
ada previlese status “penyair”? Sebab media kian terbatas atau tidak memadai
lagi, untuk menampung semua potensi syair-syair kehidupan dari setiap
individu-pribadi masyarakat. Maka dibutuhkan cara “mengorganisir” tertentu,
sehingga hanya mereka yang berlebel penyair yang laku mengekspresikan syairnya
dalam media-media konvensional mainstreaming. Dan, pengorganisiran selalu tidak
mungkin sempurna. Mengorganisir negara saja banyak jeblok dan bolongnya.
Apalagi mengorganisir ungkapan perasaan katarsis individu yang amat subyektif
sifatnya.
Jikalau memang
demikian, bukankah katarsis itu tidak bisa hanya ditipkan kepada beberapa orang
yang diberikan previlese sebagai “penyair”? Bagaimana dia bisa
mempertanggungjawabkan katarsis masyarakat di dalam dirinya, yang tidak bisa
tidak juga mengalami ambiguitas. Itu sebabnya, menurut analisa saya, seorang
Nietze, mengalami keresahan batin sepanjang hidupnya dan memilih jalan bunuh
diri.
Penutup
Setiap orang (anggota masyarakat) adalah unik dengan pengalaman hidupnya
masing-masing, dan membutuhkan media “liminalitas” bersama-sama. Media katarsis bersama-sama
seluruh anggota masyarakat, semakin banyak anggotanya maka kita akan semakin luas
membawa katarsisme bersama. Setiap orang bertanggungjawab atas pengalaman hidupnya,
dan bertanggungjawab meningkatkan kualitas penulisan syair masing-masing. Tidak
perlu kita masing-masing terbebani oleh struktur masyarakat kesenian: entah
penyair kek, novelis kek, kaya kek, miskin kek, pemalu kek, pinter ngomong kek,
sudah menerbitkan buku atau belum kek, pernah tulisannya diterima dikoran atau
tidak kek….tidak peduli.
Sekali lagi,
puisi itu adalah gambar mosaik kehidupan. Kehidupan setiap individu [e.e]
Jakarta,
Maret 2015.
[Diadaptasi dan dialih ubah dari tulisan yang pernah dimuat di Jendela Sastra]
[1] Gacela
of the Dark Death, Federico Garcia Lorca, 1898 (dalam http://duniadibalikjendela.
blogspot.com /2013/07/terjemahan-bebas-sajak-federico-garcia.html)
[2] Part V. The
sad Condition of the Gipsies, with Suggestions for their Improvement. Title: Gipsy
Life, being an account of our Gipsies and their children. Author: George
Smith, April 9, 2009; (dalam http://www.gutenberg.org/files/28548/28548-h/28548-h.htm)
[3] Ingat tarian-tarian kaum sufi yang berputar-putar yang dilakukan
oleh kaum Levi di sekitar Turki. Diiringi dengan syair-syair spiritual
keagamaan dan musik, menghantarkan para penari menuju suasana “trans” untuk
menyatu dengan Allah.