KRONIKA
Beratnya
Menapaki Demokratisasi
Oleh:
Emil. E. Elip
Alhamdullilah,
Puji Syukur Kepada Tuhan, Pemilu 2014 kita lalui dengan “aman”. Lepas dari
benar atau tidak sengketa suara dalam proses Pemilu 2014 ini, diantara siatuasi
rivalitas kedua kubu calon presiden yang sangat panas dan menegangkan,
masyarakat awan dan wong cilik
nampaknya hanya berharap: “semoga tidak terjadi chaos kerusuhan politik”!
Saya
bekerja hanya beberapa jengkal saja dari gedung MK (Mahkamah Konstitusi).
Selama proses persidangan sengketa Pemilu, di depan gedung MK dan kantor saya,
ribuan orang berdemo dan ratusan polisi serta mobil barakuda berjaga-jaga.
Suasana mungkin persis seperti jaman pra-kemerdekaan. Setiap hari orasi-orasi
dan teriakan para pendemo terdengar jelas dari ruang kerja saya dari pagi
sekitar pukul 10.00 sampai sekitar 15.00. Dan mohon maaf harus saya sampaikan,
lima puluh persen isi orasi cenderung black-oration
dan tak terarah secara substansi. Mungkin persiapannya sangat minimal.
Pada
saat hari terakhir dibacakan putusan MK, suasana lebih mencekam. Sepi! Karena
sebagin besar staff kantor-kantor disekitar MK tidak berani masuk kerja. Saya
kira sangat beralasan mereka ngendon di rumah saja sambil nonton siatuasi di
depan TV, sebab tidak ada yang bisa menjamin seratus persen bahwa kerusuhan
pasti tidak terjadi. Orang sudah terbawa suasana pemberitaan di media massa
jauh hari sebelumnya. Panglima ABRI berencana melakukan konsentrasi kekuatan ke
Jakarta khususnya di dekat MK untuk mengamankan putusan MK. Kita terbawa (maaf)
“sangarnya” pernyataan salah satu kubu calon presiden yang kira-kira berbunyi
“akan melakukan pengawalan sampai titik darah terakhir” terhadap sidang MK.
Apalagi kita tahu salah satu kubu calon presiden ini adalah bekas petinggi ABRI
yang mumpuni disegani dari sudut kepangkatan dan karirnya.
Jika
kita mencoba menilik ke belakang, sudah beberapa kali pesta demokrasi Pemilu
suasna bangsa menjadi mencekam. Lebih tepatnya seperti “perang”! Masyarakat
terpecah-pecah saling berhadapan. Para elite politik bahkan tokoh agama yang
sebelumnya penuh silahturahmi, berbalik saling tuduh, saling mengintimidasi,
sama-sama mencela satu sama lain. Semuanya bagai sandiwara demokrasi:
“sandiwara Pemilu”! Mengapa suasana seperti ini selalu muncul setiap kali
Pemilu tiba?!
***
Ada sebuah kajian statistik yang
melibatkan sebagian besar negara-negara di dunia --termasuk Indonesia-- tentang
perubahan model pemerintahan sejak 1811 sampai 1980. Kajian itu ingin menjawab
apakah proses demokratisasi di era millenium terakhir ini punya kaitan memicu
tumbuhnya perang, baik perang di internal negara maupun antar negara. Kajian ini
disajikan dalam paper “Democratization
and The Danger of War” karangan Edward D. Manfield dan Jack Snyder (1995, International Security, Vol. 20, No. 1-MIT
Press), yang memilah serta mengamati tiga model kondisi pemerintahan, yaitu
negara-negara yang demokrasinya maju/stabil, negara-negara demokrasi sedang
berkembang (democratizing-state dari
autokrasi ke demokrasi), dan negara-negara yang tidak mengalami perubahan
regim.
Di negara-negara demokrasi
maju/stabil, proses demokrasi umumnya tidak memicu munculnya perang apalagi
perang antar pemangku kepentingan di internal negara. Masyarakat sebagian besar
“muak” terhadap bentuk peperangan apalagi chaos politik di dalam negeri, karena
dianggap pemborosan dan menghabiskan uang negara yang berasal dari pajak
rakyat. Kajian tersebut menganalisis bahwa, institusi demokratisasi yang sudah
kuat dan pembelajaran demokrasi yang matang memungkinkan terjadinya konsolidasi
politik diatas kepentingan kelompok.
Yang menarik disajikan oleh
kajian ini, bahwa di negara-negara yang tidak mengalami perubahan regime (atau
mereka sebut autokrasi) memiliki tingkat kemungkinan perang yang lebih kecil.
Negara-negara autokrasi tingkat probabilitas perangnya adalah 1:6 sementara di
negara-negara demokrasi berkembang mencapai 1:4. Tingkat komposit indeks kajian
statistik tersebut juga menunjukkan bahwa di negara-negara demokrasi sedang
berkembang probabilitas terpicu peperangan mencapai 60%.
Negara tanpa perubahan regim (autokrasi)
mungkin mirip dengan era regim Orde Baru Soeharto. Cengkeraman sistem dan leadership yang begitu kuat di segala
lini justru memungkin terjadinya ruang konsilidasi bagi kelompok-kelompok dan
rival politik meski (mungkin) dibawah represi. Kajian itu juga menyimpulkan, di
negara-negara demokrasi sedang berkembang sangat subur muncul kelompok-kelompok
interest, faksi-faksi yang mempunyai kepentingan tertentu, apalagi para bekas
elite politik yang di masa autokrasi memiliki kedudukan tertentu pasti tidak
tinggal diam mempertahakan prefelese-nya
di era proses demokratisasi berlangsung.
Itulah kondisi pemicu terjadinya
konflik yang bisa berujung pada chaos dan peperangan di democratizing-state (negarademokrasi sedang berkembang). Apalagi
jika pemerintahan yang sedang berkuasa tidak mampu melakukan penataan institusi
demokrasi dan birokrasi yang tepat dan kuat, serta leadership yang lemah.
Saya tidak bermaksud mengatakan
bahwa negara tanpa perubahan regim (autokrasi) lebih baik dari pada proses demokratisasi
yang sedang kita lalui dan menyarankan kembali ke era Soeharto. Di sisi lain
kajian ini memperingatkan bahwa perubahan dari demokrasi sedang berkembang ke model
pemerintahan autokrasi memungkinkan tumbuhnya konflik dan peperangan yang jauh lebih
besar. Komposit indeks probabilitas terjadinya perang mencapai 67%.
***
Alhamdullilah, Puji Syukur Kepada
Tuhan sekali lagi, setelah detik-detik pembacaan putusan MK mengenai perkara
sengketa Pemilu 2014 pada Kamis 21 Agustus 2014, suasana aman-aman saja. Negara
tetap tenang. Bus Trans Jakarta dan angkot di jalan-jalan sekitar gedung MK
lalu lalang bagai biasanya. Dan saya kembali bertemu dengan teman-teman saya
sekantor pada hari Jum’at dalam suasana seperti biasanya pula.
Masih lima tahun lagi pesta
demokrasi Pemilu akan terulang. Juga lima tahun lagi setelah itu. Dan tentu
akan terus berlangsung setiap 5 tahun di masa depan, karena sudah kita putuskan
bahwa bangsa kita mau menuju demokratisasi yang lebih baik. Tentu kita semua
berharap pesta demokrasi Pemilu di masa datang secara proses dan sistem
berjalan lebih baik.
Bentuk-bentuk protes jikapun terjadi
“kekuarangan” sudah tidak perlu lagi dipresentasikan dengan penggalangan masa,
konsentrasi kekuatan, persiapan-persiapan tempur, apalagi beteriak-teriak atas
nama demokrasi juga, serta caci-maki. Bentuk-bentuk unjuka rasa ataupun protes
semacam ini membuktikan secara bawah sadar, atau dalam istilah lain disebut
realitas ontologis, bahwa kita “berbaju demokrasi” namun badan dan jiwa kita
yang kita tutupi sesungguhnya masih mirip “primitive-civilization”.
Kajian tersebut di atas juga
menyadari: “Demokratisasi tidak semudah membalikkan telapak tangan dan hanya
dalam semalam kita bisa menjadi bangsa dengan demokrasi yang benar!” [666]