Monday, March 13, 2017

Hard Way Stepping on Democratization



KRONIKA

Beratnya Menapaki Demokratisasi
Oleh: Emil. E. Elip


Alhamdullilah, Puji Syukur Kepada Tuhan, Pemilu 2014 kita lalui dengan “aman”. Lepas dari benar atau tidak sengketa suara dalam proses Pemilu 2014 ini, diantara siatuasi rivalitas kedua kubu calon presiden yang sangat panas dan menegangkan, masyarakat awan dan wong cilik nampaknya hanya berharap: “semoga tidak terjadi chaos kerusuhan politik”!

Saya bekerja hanya beberapa jengkal saja dari gedung MK (Mahkamah Konstitusi). Selama proses persidangan sengketa Pemilu, di depan gedung MK dan kantor saya, ribuan orang berdemo dan ratusan polisi serta mobil barakuda berjaga-jaga. Suasana mungkin persis seperti jaman pra-kemerdekaan. Setiap hari orasi-orasi dan teriakan para pendemo terdengar jelas dari ruang kerja saya dari pagi sekitar pukul 10.00 sampai sekitar 15.00. Dan mohon maaf harus saya sampaikan, lima puluh persen isi orasi cenderung black-oration dan tak terarah secara substansi. Mungkin persiapannya sangat minimal.

Pada saat hari terakhir dibacakan putusan MK, suasana lebih mencekam. Sepi! Karena sebagin besar staff kantor-kantor disekitar MK tidak berani masuk kerja. Saya kira sangat beralasan mereka ngendon di rumah saja sambil nonton siatuasi di depan TV, sebab tidak ada yang bisa menjamin seratus persen bahwa kerusuhan pasti tidak terjadi. Orang sudah terbawa suasana pemberitaan di media massa jauh hari sebelumnya. Panglima ABRI berencana melakukan konsentrasi kekuatan ke Jakarta khususnya di dekat MK untuk mengamankan putusan MK. Kita terbawa (maaf) “sangarnya” pernyataan salah satu kubu calon presiden yang kira-kira berbunyi “akan melakukan pengawalan sampai titik darah terakhir” terhadap sidang MK. Apalagi kita tahu salah satu kubu calon presiden ini adalah bekas petinggi ABRI yang mumpuni disegani dari sudut kepangkatan dan karirnya.

Jika kita mencoba menilik ke belakang, sudah beberapa kali pesta demokrasi Pemilu suasna bangsa menjadi mencekam. Lebih tepatnya seperti “perang”! Masyarakat terpecah-pecah saling berhadapan. Para elite politik bahkan tokoh agama yang sebelumnya penuh silahturahmi, berbalik saling tuduh, saling mengintimidasi, sama-sama mencela satu sama lain. Semuanya bagai sandiwara demokrasi: “sandiwara Pemilu”! Mengapa suasana seperti ini selalu muncul setiap kali Pemilu tiba?!

***

Ada sebuah kajian statistik yang melibatkan sebagian besar negara-negara di dunia --termasuk Indonesia-- tentang perubahan model pemerintahan sejak 1811 sampai 1980. Kajian itu ingin menjawab apakah proses demokratisasi di era millenium terakhir ini punya kaitan memicu tumbuhnya perang, baik perang di internal negara maupun antar negara. Kajian ini disajikan dalam paper “Democratization and The Danger of War” karangan Edward D. Manfield dan Jack Snyder (1995, International Security, Vol. 20, No. 1-MIT Press), yang memilah serta mengamati tiga model kondisi pemerintahan, yaitu negara-negara yang demokrasinya maju/stabil, negara-negara demokrasi sedang berkembang (democratizing-state dari autokrasi ke demokrasi), dan negara-negara yang tidak mengalami perubahan regim.

Di negara-negara demokrasi maju/stabil, proses demokrasi umumnya tidak memicu munculnya perang apalagi perang antar pemangku kepentingan di internal negara. Masyarakat sebagian besar “muak” terhadap bentuk peperangan apalagi chaos politik di dalam negeri, karena dianggap pemborosan dan menghabiskan uang negara yang berasal dari pajak rakyat. Kajian tersebut menganalisis bahwa, institusi demokratisasi yang sudah kuat dan pembelajaran demokrasi yang matang memungkinkan terjadinya konsolidasi politik diatas kepentingan kelompok.

Yang menarik disajikan oleh kajian ini, bahwa di negara-negara yang tidak mengalami perubahan regime (atau mereka sebut autokrasi) memiliki tingkat kemungkinan perang yang lebih kecil. Negara-negara autokrasi tingkat probabilitas perangnya adalah 1:6 sementara di negara-negara demokrasi berkembang mencapai 1:4. Tingkat komposit indeks kajian statistik tersebut juga menunjukkan bahwa di negara-negara demokrasi sedang berkembang probabilitas terpicu peperangan mencapai 60%.

Negara tanpa perubahan regim (autokrasi) mungkin mirip dengan era regim Orde Baru Soeharto. Cengkeraman sistem dan leadership yang begitu kuat di segala lini justru memungkin terjadinya ruang konsilidasi bagi kelompok-kelompok dan rival politik meski (mungkin) dibawah represi. Kajian itu juga menyimpulkan, di negara-negara demokrasi sedang berkembang sangat subur muncul kelompok-kelompok interest, faksi-faksi yang mempunyai kepentingan tertentu, apalagi para bekas elite politik yang di masa autokrasi memiliki kedudukan tertentu pasti tidak tinggal diam mempertahakan prefelese-nya di era proses demokratisasi berlangsung.

Itulah kondisi pemicu terjadinya konflik yang bisa berujung pada chaos dan peperangan di democratizing-state (negarademokrasi sedang berkembang). Apalagi jika pemerintahan yang sedang berkuasa tidak mampu melakukan penataan institusi demokrasi dan birokrasi yang tepat dan kuat, serta leadership yang lemah.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa negara tanpa perubahan regim (autokrasi) lebih baik dari pada proses demokratisasi yang sedang kita lalui dan menyarankan kembali ke era Soeharto. Di sisi lain kajian ini memperingatkan bahwa perubahan dari demokrasi sedang berkembang ke model pemerintahan autokrasi memungkinkan tumbuhnya konflik dan peperangan yang jauh lebih besar. Komposit indeks probabilitas terjadinya perang mencapai 67%.

 

 

***

Alhamdullilah, Puji Syukur Kepada Tuhan sekali lagi, setelah detik-detik pembacaan putusan MK mengenai perkara sengketa Pemilu 2014 pada Kamis 21 Agustus 2014, suasana aman-aman saja. Negara tetap tenang. Bus Trans Jakarta dan angkot di jalan-jalan sekitar gedung MK lalu lalang bagai biasanya. Dan saya kembali bertemu dengan teman-teman saya sekantor pada hari Jum’at dalam suasana seperti biasanya pula.

Masih lima tahun lagi pesta demokrasi Pemilu akan terulang. Juga lima tahun lagi setelah itu. Dan tentu akan terus berlangsung setiap 5 tahun di masa depan, karena sudah kita putuskan bahwa bangsa kita mau menuju demokratisasi yang lebih baik. Tentu kita semua berharap pesta demokrasi Pemilu di masa datang secara proses dan sistem berjalan lebih baik.

 Bentuk-bentuk protes jikapun terjadi “kekuarangan” sudah tidak perlu lagi dipresentasikan dengan penggalangan masa, konsentrasi kekuatan, persiapan-persiapan tempur, apalagi beteriak-teriak atas nama demokrasi juga, serta caci-maki. Bentuk-bentuk unjuka rasa ataupun protes semacam ini membuktikan secara bawah sadar, atau dalam istilah lain disebut realitas ontologis, bahwa kita “berbaju demokrasi” namun badan dan jiwa kita yang kita tutupi sesungguhnya masih mirip “primitive-civilization”.

Kajian tersebut di atas juga menyadari: “Demokratisasi tidak semudah membalikkan telapak tangan dan hanya dalam semalam kita bisa menjadi bangsa dengan demokrasi yang benar!” [666]