KRONIKA
WILAYAH TERTINGGAL:
Ibu Hamil….
Terpaksa Ditandu
Oleh:
Emil E. Elip
“Kalau ada ibu hamil mau melahirkan
terpaksa kami bawa naik kuda pela-pelan ke Puskesmas… Ojek tidak berani naik ke
dusun-dusun”, cerita ibu Yumarni (24) seorang pengumpul Damar,
penduduk Pekon (Desa) Malaya, Kecamatan Lemong, Kabupaten Lampung Barat, yang
mengisahkan betapa susahnya akses jalan menuju Puskesmas, pasar, sekolahan,
atau sekadar mengurus keperluan tertentu di kecamatan. Sampai sekitar tahun
2010, lanjut Yumarni, masih ada ibu hamil terpaksa naik kuda untuk memeriksakan
kehamilannya di Puskesmas. Paramedis Puskesmas tidak berani naik ke dusun-dusun
di atas memberikan pelayanan karena jalanan dan medannya sangat berat.
Bukan
hanya Yumarni yang mengisahkan kisah sedih heroik semacam itu. Sapran (32) seorang
tokoh masyarakat di Desa Endikat Ilir,
Kecamatan Gumay Talang, Kabupaten Lahat juga menceritakan hal serupa: “Sebelum tahun 2011 penduduk Desa Darmo dan
Endikat Ilir terpaksa harus memikul memakai tandu ibu-ibu yang akan melahirkan
ke Puskesmas, padahal jaraknya hanya sekitar 10 Km dari desa kami”. Jalur
jalan desa Darmo dan Endikat Ilir waktu itu hanya berupa jalan setapak,
kondisinya parah, dan naik-turun. “Ojek
memang sudah ada, tetapi sangat berbahaya untuk ibu hamil mau melahirkan.
Bahkan malam pun harus kita tandu beramai-ramai…amat berbahaya dari binatang
buas”, imbuh Sapran.
Jangankan
di kedua wilayah di Sumatera tersebut, di Jawa pun masih ada juga kondisi
serupa dijumpai. Di salah satu wilayah tertinggal di Kabupaten Sukabumi, yaitu
di Desa Bantarsari dan Sirnasari, Kecamatan Pabuaran kondisinya persis seperti
dikisahkan Sapran. “Melihat kondisi jalan
yang kecil, naik turun berbukit-bukit di wilayah kami, tidak ada cara paling
aman bagi ibu hamil atau mereka yang sakit parah kecuali ditandu menuju
Puskesmas”, begitu ungkap Pak Narman (58) tokoh masyarakat Desa Bantarsari,
mengisahkan kondisi di desanya sebelum tahun 2011.
Sungguh
memprihatinkan kisah-kisah mereka yang berdomisili di wilayah-wilayah tertinggal.
Sudah lebih dari setengah abad negara kita menapaki kemerdekaan dan
pembangunan, namun masih ada warga masyarakat yang teramat kesulitan menuju
tempat pelayanan publik misalnya saja ke Puskesmas.
***
Kabupaten
Lahat, Lampung Barat, dan Sukabumi hanyalah 3 contoh dari sekitar 183 kabupaten
tertinggal di Indonesia yang ditetapkan oleh Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal (KPDT) pada tahun 2009. Di dalam kabupaten tertinggal tersebut
terdapat sekitar 32 ribu desa tertinggal. Ada 6 kriteria yang dipakai untuk
mengkategorikan sebuah kabupaten adalah kabupaten tertinggal, yaitu: (1)
Tingkat perekonomian masyarakat; (2) Kapasitas SDM; (3) Ketersediaan fasilitas
infrastruktur; (4) Kemampuan keuangan daerah; (5) Tingkat aksesibilitas ke
pelayanan pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya; dan (6)
Karakteristik kondisi daerah.
Bagaimana
persebarannya di Indonesia. Di Kawasan Barat Indonesia terdapat 55 kabupaten
tertinggal (30%) sementara di Kawasan Timur sebanyak 128 kabupaten tertinggal
(70%). Sumatera terdapat 46 kabupaten tertinggal, Jawa dan Bali 9 kabupaten,
Kalimantan 16 kabupaten, Sulawesi 34 kabupaten, Nusa Tenggara 28 kabupaten,
Maluku 15 kabupaten, dan Papua adalah yang terbanyak 35 kabupaten tertinggal.
Sampai akhir Tahun 2014 diperkirakan sebanyak 70 kabupaten tertinggal
terentaskan menjadi kabupaten tidak tertinggal (kabupaten maju). Tentu prestasi
ini bukan hanya akibat dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh KPDT (Sekarang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi)
Jadi
di awal tahun 2015 ada 113 kabupaten yang masih dikategorikan tertinggal yang
notabene menjadi “pekerjaan rumah” kabinet kerja Jokowi-JK. Bukan tidak mungkin
jumlah tersebut akan bertambah karena terjadinya pemekaran kabupaten di
kabupaten-kabupaten tertinggal. Contohnya saja yaitu Kabupaten Lampung Barat
yang pada tahun 2012 (UU No. 12 Tahun 2012) mengalami pemekaran mejadi
Kabupaten Pesisir Selatan. Dan isu yang cukup santer dewasa ini di Kabupaten Garut
adalah bahwa kabupaten ini akan dimekarkan menjadi dua, Kabupaten Garut dan Garut
Selatan. Dan, ada pula kabupaten tertinggal yang sudah dikategorikan mejadi
kabupaten tidak tertinggal (maju), bersikeras ingin tetap dikategorikan sebagai
kabupaten tertinggal saja!
***
“Kami sangat berterima kasih kepada KPDT yang
mau memperhatikan masyarakat kami di ujung-ujung wilayah terpencil dan
tertinggal… Masyarakat kini lebih mudah memasarkan hasil bumi kopi, karet, dan
jagung. Dulu harus jalan kaki sekitar 5 jam untuk sampai di pasar terdekat di
kecamatan. Kini hanya 1 jam naik motor… Lebih mudah juga kini masyarakat berobat
ke Puskesmas. Petugas Puskesmas juga semakin mudah secara rutin berkunjung ke
desa-desa…”, jelas Ibu Lenny (31) salah seorang staff perencanaa di Bappeda
Kabupaten Lahat yang sudah 3 tahun (2011 sampai 2013) mendampingi P2KPT (Percepatan
Pembangunan Kawasan Perdesaan Tertinggal)-KPDT di kabupaten tersebut.
P2KPT
hanyalah salah satu kegiatan yang dikembangkan oleh KPDT untuk kabupaten
tertinggal sejak 2010. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan pembangunan
kawasan. Pendekatan kawasan sangat berbeda dengan pendekatan pembangunan desa
per desa. Pendekatan kawasan menekankan pada prioritas bersama antar desa di
dalam suatu kawasan. Kerja sama dan dialog antar desa mejadi kata kunci.
Sementara pendekatan desa per desa hanya menyelesai persoalan yang ada di dalam
desa. Tiga tahun pertama kawasan tertinggal akan difasilitasi melalui kegiatan-kegiatan
infrastruktur kebutuhan antar desa di dalam kawasan, khususnya infrastruktur
pendukung pengembangan akses ekonomi seperti jalan, jembatan, dermaga kecil,
pasar, dll. Tahun-tahun tahap selanjutnya akan difokuskan pada
kegiatan-kegiatan pengembangan ekonomi yang terkait dengan potensi kawasan.
“Panjang jalan poros utama antar desa-desa di
kawasan Gumay Talang sepanjang 13 Km. Aslinya dulu lebarnya badan jalan hanya 1
M dengan kondisi permukaan amat parah…naik turun bukit. Apalagi musim hujan,
sama sekali tidak bisa dilalui”, jelas Khairrulah (45) staff Dinas PU Kab.
Lahat yang menjadi mitra Bappeda dalam implementasi pembangunan infratruktur. “Selama
3 tahun KPDT hanya mampu melakukan pembukaan dan pengerasan badan jalan
sepanjang kurang lebih 12,1 Km… Memang dirasakan dananya sedikit-sekit, tetapi
saya melihat sendiri manfaatnya sangat nyata bagi masyarakat Gumay Talang!’,
tambah Khairrullah.
Apa
yang dikisahkan oleh Yumarni dan Sapran, juga anggota masyarakat lain hampir di
seluruh wilayah-wilayah tertinggal di Indonesia tentang kondisi-kondisi memprihatinkan
di desa-desa di kawasan tertinggal mereka, sungguh tidak mengada-ada. Itu
sebabnya kawasan-kawasan tertinggal yang difasilitasi oleh KPDT sesuai keutuhan mereka, mengatakan bagaikan
baru saja merasa “merdeka” padahal sudah 69 tahun negara kita mengenyam
kemerdekaan.
Dana
yang terbatas dan lemahnya kemampuan perencanaan serta konsoilidasi pembangunan
antar sektor di daerah/kabupaten, membuat program-program pembangunan yang
dirancang amat sedikit yang bisa dirasakan oleh penduduk di wilayah tertinggal
yang sebagian besar di lokasi terpencil atau terisolasi. Misalnya saja
pembangunan jalan, hanya menjangkau di wilayah ibu kota kabupaten dan sekitarnya.
Sekedar pembukaan jalan atau pengerasan jalan, membangun pelabuhan kecil, atau
jembatan gantung antar desa, sudah merupakan barang “teramat mewah” bagi
masyarakat di wilayah-wilayah terpencil tersebut.
Dan saya
yakin masih ada ribuan kilometer jalan dan jembatan, ratusan dermaga kecil, dan
banyak sekali pasar, jaringan irigasi pertanian, jaringan listrik, sumur bor,
kapal/perahu niaga penghubung antar pulau, dll. serta setumpuk perhatian dari
para pelaku pembangunan yang fokus untuk
wilayah-wilayah tertinggal. Semuanya itu adalah “kebutuhan” yang paling riil di
depan mata jika kita berharap terjadi “revolusi mental” dalam bentuknya yang
paling sederhana bagi masyarakat di wilayah-wilayah tertinggal.
Bukankah
itu hak mereka juga yang harus kita hormati? [666]