Monday, March 13, 2017

Pregnant women ...has to be stretchered



KRONIKA WILAYAH TERTINGGAL:

Ibu Hamil…. Terpaksa Ditandu
Oleh: Emil E. Elip


“Kalau ada ibu hamil mau melahirkan terpaksa kami bawa naik kuda pela-pelan ke Puskesmas… Ojek tidak berani naik ke dusun-dusun”, cerita ibu Yumarni (24) seorang pengumpul Damar, penduduk Pekon (Desa) Malaya, Kecamatan Lemong, Kabupaten Lampung Barat, yang mengisahkan betapa susahnya akses jalan menuju Puskesmas, pasar, sekolahan, atau sekadar mengurus keperluan tertentu di kecamatan. Sampai sekitar tahun 2010, lanjut Yumarni, masih ada ibu hamil terpaksa naik kuda untuk memeriksakan kehamilannya di Puskesmas. Paramedis Puskesmas tidak berani naik ke dusun-dusun di atas memberikan pelayanan karena jalanan dan medannya sangat berat.

Bukan hanya Yumarni yang mengisahkan kisah sedih heroik semacam itu. Sapran (32) seorang tokoh masyarakat di  Desa Endikat Ilir, Kecamatan Gumay Talang, Kabupaten Lahat juga menceritakan hal serupa: “Sebelum tahun 2011 penduduk Desa Darmo dan Endikat Ilir terpaksa harus memikul memakai tandu ibu-ibu yang akan melahirkan ke Puskesmas, padahal jaraknya hanya sekitar 10 Km dari desa kami”. Jalur jalan desa Darmo dan Endikat Ilir waktu itu hanya berupa jalan setapak, kondisinya parah, dan naik-turun. “Ojek memang sudah ada, tetapi sangat berbahaya untuk ibu hamil mau melahirkan. Bahkan malam pun harus kita tandu beramai-ramai…amat berbahaya dari binatang buas”, imbuh Sapran.

Jangankan di kedua wilayah di Sumatera tersebut, di Jawa pun masih ada juga kondisi serupa dijumpai. Di salah satu wilayah tertinggal di Kabupaten Sukabumi, yaitu di Desa Bantarsari dan Sirnasari, Kecamatan Pabuaran kondisinya persis seperti dikisahkan Sapran. “Melihat kondisi jalan yang kecil, naik turun berbukit-bukit di wilayah kami, tidak ada cara paling aman bagi ibu hamil atau mereka yang sakit parah kecuali ditandu menuju Puskesmas”, begitu ungkap Pak Narman (58) tokoh masyarakat Desa Bantarsari, mengisahkan kondisi di desanya sebelum tahun 2011.

Sungguh memprihatinkan kisah-kisah mereka yang berdomisili di wilayah-wilayah tertinggal. Sudah lebih dari setengah abad negara kita menapaki kemerdekaan dan pembangunan, namun masih ada warga masyarakat yang teramat kesulitan menuju tempat pelayanan publik misalnya saja ke Puskesmas.

***
Kabupaten Lahat, Lampung Barat, dan Sukabumi hanyalah 3 contoh dari sekitar 183 kabupaten tertinggal di Indonesia yang ditetapkan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) pada tahun 2009. Di dalam kabupaten tertinggal tersebut terdapat sekitar 32 ribu desa tertinggal. Ada 6 kriteria yang dipakai untuk mengkategorikan sebuah kabupaten adalah kabupaten tertinggal, yaitu: (1) Tingkat perekonomian masyarakat; (2) Kapasitas SDM; (3) Ketersediaan fasilitas infrastruktur; (4) Kemampuan keuangan daerah; (5) Tingkat aksesibilitas ke pelayanan pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya; dan (6) Karakteristik kondisi daerah.

Bagaimana persebarannya di Indonesia. Di Kawasan Barat Indonesia terdapat 55 kabupaten tertinggal (30%) sementara di Kawasan Timur sebanyak 128 kabupaten tertinggal (70%). Sumatera terdapat 46 kabupaten tertinggal, Jawa dan Bali 9 kabupaten, Kalimantan 16 kabupaten, Sulawesi 34 kabupaten, Nusa Tenggara 28 kabupaten, Maluku 15 kabupaten, dan Papua adalah yang terbanyak 35 kabupaten tertinggal. Sampai akhir Tahun 2014 diperkirakan sebanyak 70 kabupaten tertinggal terentaskan menjadi kabupaten tidak tertinggal (kabupaten maju). Tentu prestasi ini bukan hanya akibat dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh KPDT (Sekarang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi)

Jadi di awal tahun 2015 ada 113 kabupaten yang masih dikategorikan tertinggal yang notabene menjadi “pekerjaan rumah” kabinet kerja Jokowi-JK. Bukan tidak mungkin jumlah tersebut akan bertambah karena terjadinya pemekaran kabupaten di kabupaten-kabupaten tertinggal. Contohnya saja yaitu Kabupaten Lampung Barat yang pada tahun 2012 (UU No. 12 Tahun 2012) mengalami pemekaran mejadi Kabupaten Pesisir Selatan. Dan isu yang cukup santer dewasa ini di Kabupaten Garut adalah bahwa kabupaten ini akan dimekarkan menjadi dua, Kabupaten Garut dan Garut Selatan. Dan, ada pula kabupaten tertinggal yang sudah dikategorikan mejadi kabupaten tidak tertinggal (maju), bersikeras ingin tetap dikategorikan sebagai kabupaten tertinggal saja!

***
Kami sangat berterima kasih kepada KPDT yang mau memperhatikan masyarakat kami di ujung-ujung wilayah terpencil dan tertinggal… Masyarakat kini lebih mudah memasarkan hasil bumi kopi, karet, dan jagung. Dulu harus jalan kaki sekitar 5 jam untuk sampai di pasar terdekat di kecamatan. Kini hanya 1 jam naik motor… Lebih mudah juga kini masyarakat berobat ke Puskesmas. Petugas Puskesmas juga semakin mudah secara rutin berkunjung ke desa-desa…”, jelas Ibu Lenny (31) salah seorang staff perencanaa di Bappeda Kabupaten Lahat yang sudah 3 tahun (2011 sampai 2013) mendampingi P2KPT (Percepatan Pembangunan Kawasan Perdesaan Tertinggal)-KPDT di kabupaten tersebut.

P2KPT hanyalah salah satu kegiatan yang dikembangkan oleh KPDT untuk kabupaten tertinggal sejak 2010. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan pembangunan kawasan. Pendekatan kawasan sangat berbeda dengan pendekatan pembangunan desa per desa. Pendekatan kawasan menekankan pada prioritas bersama antar desa di dalam suatu kawasan. Kerja sama dan dialog antar desa mejadi kata kunci. Sementara pendekatan desa per desa hanya menyelesai persoalan yang ada di dalam desa. Tiga tahun pertama kawasan tertinggal akan difasilitasi melalui kegiatan-kegiatan infrastruktur kebutuhan antar desa di dalam kawasan, khususnya infrastruktur pendukung pengembangan akses ekonomi seperti jalan, jembatan, dermaga kecil, pasar, dll. Tahun-tahun tahap selanjutnya akan difokuskan pada kegiatan-kegiatan pengembangan ekonomi yang terkait dengan potensi kawasan.

Panjang jalan poros utama antar desa-desa di kawasan Gumay Talang sepanjang 13 Km. Aslinya dulu lebarnya badan jalan hanya 1 M dengan kondisi permukaan amat parah…naik turun bukit. Apalagi musim hujan, sama sekali tidak bisa dilalui”, jelas Khairrulah (45) staff Dinas PU Kab. Lahat yang menjadi mitra Bappeda dalam implementasi pembangunan infratruktur.  Selama 3 tahun KPDT hanya mampu melakukan pembukaan dan pengerasan badan jalan sepanjang kurang lebih 12,1 Km… Memang dirasakan dananya sedikit-sekit, tetapi saya melihat sendiri manfaatnya sangat nyata bagi masyarakat Gumay Talang!’, tambah Khairrullah.

Apa yang dikisahkan oleh Yumarni dan Sapran, juga anggota masyarakat lain hampir di seluruh wilayah-wilayah tertinggal di Indonesia tentang kondisi-kondisi memprihatinkan di desa-desa di kawasan tertinggal mereka, sungguh tidak mengada-ada. Itu sebabnya kawasan-kawasan tertinggal yang difasilitasi oleh KPDT  sesuai keutuhan mereka, mengatakan bagaikan baru saja merasa “merdeka” padahal sudah 69 tahun negara kita mengenyam kemerdekaan.

Dana yang terbatas dan lemahnya kemampuan perencanaan serta konsoilidasi pembangunan antar sektor di daerah/kabupaten, membuat program-program pembangunan yang dirancang amat sedikit yang bisa dirasakan oleh penduduk di wilayah tertinggal yang sebagian besar di lokasi terpencil atau terisolasi. Misalnya saja pembangunan jalan, hanya menjangkau di wilayah ibu kota kabupaten dan sekitarnya. Sekedar pembukaan jalan atau pengerasan jalan, membangun pelabuhan kecil, atau jembatan gantung antar desa, sudah merupakan barang “teramat mewah” bagi masyarakat di wilayah-wilayah terpencil tersebut.

Dan saya yakin masih ada ribuan kilometer jalan dan jembatan, ratusan dermaga kecil, dan banyak sekali pasar, jaringan irigasi pertanian, jaringan listrik, sumur bor, kapal/perahu niaga penghubung antar pulau, dll. serta setumpuk perhatian dari para pelaku pembangunan  yang fokus untuk wilayah-wilayah tertinggal. Semuanya itu adalah “kebutuhan” yang paling riil di depan mata jika kita berharap terjadi “revolusi mental” dalam bentuknya yang paling sederhana bagi masyarakat di wilayah-wilayah tertinggal.

Bukankah itu hak mereka juga yang harus kita hormati? [666]