PNPM dan Pembaharuan
Desa:
“Sejauh Manakah?”[1]
Oleh:
Emil E. Elip[2]
Desaku yang ku cinta, pujaan hatiku
Tempat ayah dan
bunda, dan handai taulanku
Tak mudah ku
lupakan, tak mudah tercerai
Selalu ku rindukan,
desa ku yang permai.
Kemarin paman
datang
Pamanku dari
desa
Dibawakannya
rambutan pisang
dan sayur mayur
segala rupa
Bercrita paman,
tentang ternaknya
berkembang biak
semua …
Lagu-lagu yang saya kenal tentang desa --saya kira sidang pembaca juga mengenalnya-- dan sering saya nyanyikan di depan kelas sewaktu masih duduk dibangku SD, terasa sangat romantis. Masih banyak lagu-lagu semacam itu yang menggambarkan “desa nan permai”, damai, indah, harmonis, orangnya ramah, ringan bergotong-royong, saling suka membantu, yang semuanya itu melukiskan kondisi kehidupan desa yang sejahtera. Dalam bahasa Jawanya: ayem tentrem loh jinawi.
Sampai dengan ketika saya duduk di bangku SMA, informasi dari bahan ajar tentang dengan desa masih saja terasa menawarkan nuansa romantik tidak berbeda jauh dengan ketika di SD. Romantisme tentang desa itu, dari berbagai segi tentang desa, berguguran semenjak saya belajar lebih jauh tentang desa dari sudut sosiologis dan antropoligis di bangku kuliah. Keterlibatan saya dalam penelitian-penelitian lapangan tentang kehidupan masyarakat adat dan desa, baik dibidang ekonomi rumah tangga perdesaan, hak-hak lingkungan masyarakat, penguatan demokratisasi masyarakat, penguatan ekonomi (livelihood) desa, dll., membawa saya hampir pada titik “pesimis”: ada apa dengan desa!
Rupa-rupanya sejak saya di bangku SMP sampai masa perkuliahan, dimana waktu itu mulai berkiprah Orde Baru sampai lengsernya, kemudian memasuki pemerintahan Megawati, Habibie, Gus Dur, sampai naiknya Susilo Bambang Yudoyono, telah terjadi perubahan yang hiruk-pikuk terhadap desa baik dari ranah desa yang termarginalkan secara absolut, pemiskinan desa, pembaharuan-pembaharuan reformasi tata pemerintahan dan demokratisasi desa, bongkar pasang perundang-undangan tentang desa, sampai pada paket-paket program yang bagai “hujan di musim kering” bertubi-tubi masuk ke desa.
Dari pengamatan saya waktu ke waktu, tahun ke tahun, dari masa ke masa terhadap lingkungan sekitar saya, juga kunjungan lapangan ke berbagai tempat di Indonesia, pembacaan atas literatur, laporan penelitian, dan media massa, memanglah benar bahwa romantisme tentang desa kian tidak relevan. Pandangan romantik tentang desa “menyesatkan”, tidak saja sesat sebagai deseminasi pengetahuan terhadap generasi kini dan masa datang, tetapi juga menjadi materi yang absurd dalam membangun teori dan strategi implementasi untuk membawa desa menuju ke arah lebih baik dalam hal otonomi dan kesejahteraan masyarakatnya.
Perubahan Mendasar di Desa
Desa-desa di sekitar saya yang saya kenal, juga desa-desa lain diseputar wilayah Yogyakarta, serta saya kira banyak desa-desa lain di Indonesia, sudah sangat berbeda dengan desa-desa 20 sampai 30 tahun yang lalu. Ada banyak sekali (mungkin) aspek-aspek yang mempengaruhi terjadinya perubahan atas sosio-kultural di desa-desa tersebut, namun berikut ini ingin disampaikan beberapa aspek saja yang diperkirakan merupakan aspek paling mendasar yaitu reduksi kultural di desa, kooptasi terhadap tata pemerintahan desa, dan pemiskinan desa.
Reduksi kultural di desa
Orang rasa-rasanya malu jika disebut wong ndeso (Ind: orang desa, orang udik). Orang desa dikonotasikan dengan kuper (kurang pergaulan), gaptek (gagap teknologi), bodoh tidak tahu apa-apa. Namun sepertinya semacam itulah yang terjadi di desa dalam dekade 20 sampai 30 tahun terakhir. Tidak meratanya pembangunan yang condong menitikberatkan pembangunan diperkotaan serta arus modernisasi yang deras masuk desa, mengakibatkan banyak sendi-sendi bangunan sosio-kultural di desa terkikis. Reduksi kultural ini bukan perkara sepele, sebab menyakut bangunan-bangunan relasi sosial antar individu maupun antar kelompok, juga termasuk kepercayaan masyarakat desa sendiri atas energi sosial yang dimiliki untuk membangun kehidupan.
Melunturnya gotong-royong sering ditunjuk sebagai salah satu bangunan kultural di desa yang sudah sangat jauh berubah, dan modernitas dalam segala sudutnya dinilai sebagai salah satu penyebab paling tajam melunturnya gotong-royong tersebut. Gotong-royong mohon jangan dipahami hanya sebagai semangat bekerja sama tanpa pretensi imbalan apapun. Di dalam salah satu modal sosial (social capital) yang disebut gotong-royong ini terkandung tata-nilai trust (saling percaya), reciprocity (saling membantu/memberi), dan unity (kebersamaan dalam perbedaan). Nilai-nilai trust, reciprocity, dan unity jika didudukan di dalam kontek pembangunan, adalah nilai-nilai dasar untuk bergeraknya sebuah pembangunan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Desa kini semakin ”terbuka”. Keterbukaan itu tidak berarti hanya dalam pengertian geografis dimana desa sudah bisa di jangkau oleh sarana-sarana transportasi umum, tetapi pengertian “terbuka” itu termasuk pula bahwa keinginan dan imaginasi kehidupan masyarakat desa sudah jauh berubah dan mirip sekali dengan kehidupan budaya perkotaan. Yang paling gampang kita lihat misalnya dalam hal belanja konsumsi dimana semua bentuk dan jenis belanja konsumsi orang desa sudah serupa dengan orang kota seperti pakaian, barang elektronika, asesoris, bahkan pola makan, dll. Dengan kata lain ingin disampaikan bahwa beban pemenuhan ekonomi kehidupan masyarakat desa sudah menyerupai orang kota. Orang desa sendiri sudah malu jika tidak mampu “menyerupai” orang kota
Memudarnya nilai-nilai kultural di dalam gotong-royong yang kemudian ditimpali dengan kecenderungan perubahan pola kehidupan masyarakat desa ke arah pola kehidupan kota, menyebabkan apa yang sering kita dengar bahwa masyarakat desa sekarang lebih “individualis”. Mengapa bisa begitu? Karena model pemenuhan beban pola konsumsi perkotaan tidak bisa dipenuhi secara komunal (bersama-sama) dan tidak bisa pula dipenuhi melalui “pola musiman”. Konsepsi individualis ini harus kita kaitkan pula dengan hubungan negasinya terhadap nilai-nilai trust, reciprocity, dan unity. Artinya bahwa di kehidupan masyarakat kita di desa, trust relatif sudah menjadi barang langka, reciprocity telah menjadi sebuah relasi yang sangat sulit dicari realisasinya, dan unity tengah memudar. Culture individualism (budaya individual) telah melanda desa.
Kooptasi tata pemerintahan desa
Desa --dalam pengertian pemerintahan desa-- sudah menjadi keprihatinan yang panjang oleh berbagai pihak. Keprihatinan itu ringkasnya ingin mengatakan tiga hal mendasar, bahwa: (1) Desa sudah tidak lagi memiliki otonomi untuk mengurus dirinya sendiri baik dari sudut mengelola pemerintahannya, mengelola anggaran, serta mengatur pengelolaan pembangunan; (2) Desa tidak ubahnya hanyalah “perpanjangan tangan” negara sebagai jalur birokrasi pemerintah Pusat. Desa bukan lagi sebuah “negara kecil” yang merdeka atas dirinya sendiri meski masih di dalam koridor NKRI; (3) Desa tidak --atau katakanlah sudah sangat sedikit-- mempunyai kewenangan mengatur sumberdaya alam kewilayahannya (local resources community based management): hutan, tanah, potensi tambang dan jenis galian lain, dll. yang kini diatur oleh struktur di atas desa (supra desa).
Situasi-situasi yang menyudutkan desa tersebut nampaknya bukan terjadi begtu saja, namun memang disengaja oleh desain besar pengelola tata negara pada rezim yang sedang berjalan atau oleh desain politik yang dianut dalam model demokrasi politik di Indonesia. Pada zaman Orde Baru bisa kita ketahui dengan gamblang, bahwa desa hanyalah “sapi perah” pemerintah Pusat dalam segala macam urusan kenegaraan dan pembangunan. Orde Baru memang sangat sentralistik. Dari sudut demokrasi politik, maka politik multi-partai yang berkembangan di Indonesia serta demokrasi-representasi melalui ajang Pemilu, menyebabkan desa menjadi “arena” menjual janji-janji politik, janji pembangunan, bahkan jual-beli suara.
Desain kooptasi negara atas desa tersebut rupanya diperkuat pula oleh produk-produk perundangan yang diproduksi oleh rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Analisis historis tentang otonomi desa tersebut ternyata menunjukkan bahwa dari segi perundangan yang ada, desa ditempatkan secara formal konstitusional menjadi semakin tidak otonom. Pada zaman Belanda pernah keluar perundangan tentang desa yang bernama Inlandshe Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura serta Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Pada prinsipnya perundangan produk Belanda ini masih “menghormati” desa secara sosiologis sebagai bentuk “kesatuan hukum” masyarakat (volkgemeenschappen). Implikasinya adalah bahwa perbedaan adat istiadat, kebiasaan kultural, bahkan model tatapemerintahan antara desa yang satu dengan desa yang lain, masih diakui. Meskipun pada Tahun 1965 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Tentang Desa No. 19 Tahun 1965, prinsipnya perundangan tersebut masih mengakui eksistensi desa secara kultural maupun hukum serta tidak jauh berbeda dengan perundangan pada zaman Belanda[3].
Tahun 1979 dibawah era rezim Orde Baru, muncul udang-undang tentang desa yaitu UU No. 5 Tahun 1979. Pada prinsipnya perundangan tersebut merombak substansi UU No. 19 Tahun 1965 dalam hal bentuk dan corak pemerintahan desa yang diseragamkan secara nasional. Corak pemerintahan yang dimaksud adalah termasuk pengaturan administrasi dipisahkan dengan administrasi adat, kepala desa kemudian diletakkan di bawah Camat sebagai kepala pemerintahan kewilayahan, dll. Desa --baik sebagai komunitas maupun self governing community-- mulai tegerus otonominya baik secara kultural, sosiologis, maupun tata pemerintahan. Itulah perangkap sistemik, yang hendak dihembuskan oleh Orde Baru untuk memperkuat “cengkeramannya”.
Kira-kira 10 tahun kemudian setelah desa-desa di Indonesia hampir habis “tersobek-sobek” sebagai kesatuan masyarakat hukum, gelombang reformasi hadir begitu kuat[4]. Tepatnya Tahun 1999 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 22 tentang Tata Pemerintahan Daerah. Pada prinsipnya perundangan ini hendak mereposisi kembali “relasi” antara pemerintahan daerah dengan pemerintahan Pusat. Banyak Bupati dan Kepala Desa “sumpek” atas sistem pemerintahan sentralistik yang diterapkan Orde Baru. Melalui perundangan tersebut hak desa sebagai kesatuan masyarakat hukum serta kewenangan mengatur wilayah serta masyarakat diakui kembali.
Kembali lagi pengaturan mengenai desa mengalami perubahan dengan keluarga Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti dengan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Sepertinya desa mengalami “ujian” lagi. Ujiannya adalah desa mengalami reduksi makna kembali. Perundangan tersebut masih mengakomodir kewenangan desa seperti diakui di dalam perundangan sebelumnya, namun dalam hal pemerintahan desa mengalami perubahan. Ditegaskan bahwa pemerintahan desa terdiri atas Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan desa “wajib” melaporkan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada pemerintah di atasnya.
Dengan demikian berdasarkan paparan di atas, bisa kita ambil kesimpulan bahwa sejak awal era 80-an, atau katakanlah hampir 20 tahun belakangan ini, desa, baik dalam hal model tata pemerintahan, kapasitas aparaturnya, perannya sebagai inisiator pembangunan masyarakat, mengalami stagnasi yang luar biasa. Dalam aspek kultural desa mengalamai degradasi, dan dalam bidang kesejahteraan masyarakat, masyarakat desa mengalami kemajuan yang sangat lambat. Sementara itu sesungguhnya pemerintah “membaca” sangat penting untuk segera membangun kesejahteraan masyarakat, agar potensi-potensi konflik sosial dan kecemburuan yang mulai membara disana-sini tidak semakin membesar. Dalam latar belakang konteks situasi desa yang semacam itu program-program pemberdayaan pemerintah digenjot dan digelontorkan. Pertanyaan yang menarik, adakah program-program itu mendukung desa sebagai tata pemerintahan bisa “semakin dewasa”? Ataukah program-program itu bagaikan jalan tol bebas hambatan yang tidak menyinggung soal kapasitas desa sebagai “tata pemerintahan” terkecil atau negara kecil yang perlu kita hormati eksistensinya.
Pemiskinan di Desa
Apa yang terjadi di desa (masyarakat desa) bukan saja kondisi miskin tetapi cenderung sudah menjadi proses “pemiskinan”. Proses pemiskinan merupakan sebuah kondisi yang hampir-hampir tidak ada lagi peluang dari bermacam sudut untuk menyelesaikan atau mengurangi kondisi kemiskinan yang terjadi, baik dari masyarakatnya maupun inovasi yang bisa dilakukan pemerintah desa. Proses pemiskinan tersebut bisa digambarkan sebagai berikut.
Pertama, akses dan kapasitas masyarakat desa rata-rata rendah dalam inovasi teknologi, akses terhadap modal, kemampuan manajemen usaha, dll. Kedua, rendahnya akses dan kapasitas tersebut disebabkan oleh karena tidak tersedia modal (uang) yang disebabkan oleh penghasilan ekonominya sangat kecil. Bagaimana mungkin untuk mengembangkan kapasitas dalam kondisi untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar saja masih jauh dari yang diharapkan. Rendahnya pengasilan membuat masyarakat desa lebih mengutamakan “safety-first” (makan) dari pada mengeluarkan ivestasi untuk pendidikan yang tinggi dan (mungkin) juga kesehatan. Ketiga, agar mampu bertahan hidup dan menutup kebutuhan biaya hidup yang kian meningkat terpaksa menjual resource produksi seperti tanah yang dimiliki, atau merambah hutan di sekitar mereka, dll.
Proses terjadinya kemiskinan dan pemiskinan di desa ini terjadi dimulai sudah lama sejak jaman Belanda yang semakin parah di era Orde Baru, yang ditandai dengan terjadinya involusi pertanian seperti ditemukan oleh Cliford Geertzs (Geertzs, 1963). Involusi pertanian terjadi karena adanya gerakan modal, tenaga kerja, dan input pertanian yang masuk ke desa. Kondisi tersebut semakin ditekan dengan “revolusi hijau” yang diterapkan dalam kebijakan pertanian di Indonesia. Revolusi hijau adalah gerakan bidang pertanian untuk menggenjot swa-sembada pangan khsusnya beras, dengan menerapkan modernisasi pertanian melalui pengenalan jenis padi unggul dan pupuk kimia agar produkasi beras dalam luasan sawah tertentu dapat meningkat tajam. Dalam satu dekade pertama revolusi tersebut mampu menggenjot produksi padi meningkat tajam. Namun keuntungan yang diperoleh petani sesungguhnya tidak signifikan dengan produksi yang dihasilkan, karena mereka harus mengembalikan biaya-biaya saprodi pertanian tersebut. Pada dekade berikutnya, ketika tanah sama sekali menjadi “involutif” terhadap pupuk kimia, dan biaya pertanian semakin naik karena tanah kian lama kian meminta pupuk kimia yang lebih banyak untuk produksi, maka sama sekali petani “tercekik” tidak ada untung sama sekali. Sementara sistem penjualan didominasi dan dimainkan oleh para tengkulak dan pemodal besar. Sejak saat itu ekonomi pertanian pedesaan berhenti, terjadi involusi[5]. Revolusi hijau tidak hanya berlaku pada sistem pertanian sawah saja, tetapi juga pada sistem pertanian tegalan untuk palawija.
Jika kondisi suatu masyarakat mengalami kemiskinan maupun pemiskinan absolut, atau pada situasi yang sangat kritis, maka orang cenderung kembali mecoba bersandar pada kekuatan relasi-relasi kultural, misalnya saja: saling memberi bahan makanan, mengandalkan lumbung pangan, bergotong royong dalam hal apapun, dll. Tetapi di dalam kondisi masyarakat desa seperti digambarkan di atas, sendi-sendi kultural apa lagi yang bisa menjamin keberlanjutan kehidupan mereka.
Pertanyaan menarik berikutnya adalah dimana peran pemerintah desa sebagai pengayom masyarakat, sebagai local self governing community? Seiring dengan berjalannya revolusi hijau dan modernisasi pertanian itu, struktur pemerintah desa juga sudah terkooptasi oleh rezim Orde Baru dalam pengkebirian otominya. Desa telah menjadi semata-mata instrumen negara, sekedar menjalankan program yang sudah di-plot dari Pusat, bahkan desa yang sukses dan loyal akan mendapatkan promosi dan penghargaan memperoleh proyek-proyek berikutnya.
Isu Besar Pembaruan Desa
Sudah lama desa, khususnya otonomi model tata pemerintahan dan kewenagannya, disoroti oleh para akademisi, LSM, dan para pelaku pembangunan di tingkat pemerintah, mengalamai degrasi kemandirian yang semakin lemah. Banyak kajian dan agenda-agenda diskusi telah dikembangkan dalam upaya memperkuat kembali supremasi desa. Setidaknya ada tiga agenda besar upaya pembaruan desa tersebut, yaitu dalam hal tata kelola pemerintahan desa, desentralisasi pembangunan desa, dan penguatan pembangunan ekonomi masyarakat desa. Secara ringkas ketiga agenda besar tersebut akan dijelaskan seperti berikut.
Penguatan tatakelola pemerintahan desa
Ranah penguatan tata-kelola pemerintahan desa menyangkut tiga hal, yaitu (1) Penguatan BPD sebegai representasi masyarakat desa;(2) Penguatan terhadap kapasitas pemerintah desa menjalankan peran dan fungsinya; dan (3) Penguatan partisipasi masyarakat desa sebagai bagian dari sebauh pemerintahan desa. Ranah penguatan masing-masing bidang tersebut mensyarakatkan pula penguatan bentuk “relasi-relasi” yang terbangun antara ketiga pihak tersebut.
Relasi-relasi tersebut sangat beragaman kasusnya di desa-desa di Indonesia. Ada sebagian desa dimana Pemerintah Desa-nya sangat menonjol dan dominan bagaikan “panglima perang” dalam mengatur sistem pemerintahan desanya. Dalam kasus ini kepemimpinan (leadership) yang dibangun oleh kepala desa adalah otoriter, tidak ada partisipasi masyarakat, bahkan suara BPD dibungkam sedemikian rupa. Ada pula disebagian desa justru BPD-nya sangat mendominasi mekanisme pemerintahan desa, bahkan kepala desa merasa “takut” dengan BPD. BPD sangat arogan dan menekan kepala desa atas nama “suara rakyat”. Dalam kasus ini rakyat sedikit-sedikit menekan kepala desa dan melapor kepada BPD, kemudian BPD menekan kepala desa, dst.
Kuajiban pemerintah desa adalah menjalankan mekanisme pemerintah secara terlegitimasi melaui prinsip akuntabilita dan transparan. Akuntabilitas merujuk pada penguatan institusi pemerintah yang terbuka, informasinya bisa diakses oleh masyarakat, dan mempertanggungjawabkan segala sesuatunya dihadapan masyarakat atas tugas dan kewenangan yang sudah diberikan. Transparan, mirip dengan akuntabilitas dimana informasi tentang desa bisa diketahui oleh umum. Tidak ada hal yang ditutup-tutpi misalnya saja soal anggaran pembangunan desa, sehingga tidak memunculkan dugaan-dugaan penyimpangan dana, menjual tanah kas desa, dll.
Sebagai perwakilan dari rakyat, BPD memang memiliki kewenangan mengontrol terhadap mekanisme pelaksanaan pemerintah desa. Pada prinsipnya perannya adalah pada fungsi check and balances. Meski telah diberi mandat dan kewenangan oleh rakyat sebagai “pengawas” jalannya pemerintahan, BPD tidak bisa bekerja sewenang-wenang terhadap pemerintah desa. Begitu pula rakyat sebagai pemegang “mandat” tertinggi dalam bangunan tata pemerintahan desa, tidak bisa pula sewenang-wenang seenaknya sendiri mengeintervensi BPD maupun kepala desa (pemerintah desa). Kekecewaan tidak bisa dilampiaskan dengan “main hakim sendiri” di dalam demokrasi.
Membangun relasi antara BPD, pemerintah desa, dan rakyat (masyarakat) secara berimbang, berprinsip check and balance, berdasarkan tata aturan yang disepakati baik dalam proses berwarganegara (civilization), bernegara, maupun pembangunan, itulah proses demokratisasi. Pembangunan untuk masyarakat di bidang apapun, akan sangat sulit mencapai hasil yang bagi keberdayaan masyarakat, jika perangkat pemerintahan tidak bekerja baik dalam konteks demokrasi. Sementara itu bekerjanya tata-pemerintahan tidak akan maksimal bagi kepentingan masyarakat, jika kesejahteraan masyarakat tidak terberdayakan atau terbangun.
Desentralisasi pembangunan desa
Makna desentralisasi pada prinsipnya adalah upaya membangun otonomi melalui proses pemberian hak dan kewenangan. Desentralisasi desa berarti upaya membangun otonomi desa dengan memberikan hak dan kewenangan kepada desa dalam mengelola pemerintahan desa yang selama ini terjadi secara sentralistik “dari atas”, serta memberikan hak dan kewenangan kepada desa dalam mengelola segala resources untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya (desentralisasi pembangunan).
Desentralisasi pembangunan desa dengan kata lain, dalam konteks saat ini, ingin mengurangi atau melepas sebanyak mungkin kooptasi negara atas pemerintahan desa. Hendak memberikan kesempatan kepada desa (pemerintahan dan masyarakatnya) mengelola dan mengatur pembangunan bagi masyarakatnya yang selama ini terlalu top-down dari supra desa. Jadi desentralisasi pembangunan desa erat kaitannya dengan otonomi desa, penguatan demokratisasi di desa, menuju tata kelola pemerintahan desa (good-governance) yang lebih baik, serta penguatan pembangunan partisipatif. Harus diingat bahwa desentralisasi desa dengan seperangkat prasyarat yang mesti menyertainya, tidak berarti “melepaskan” desa dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejarah tata kelola sistem pemerintahan yang hirarkis-sentralistik selama ini, juga sejarah mekanisme pembangunan yang top-down, telah terbukti menghasilkan “pemiskinan” di desa dalam makna yang dalam dan luas. Pertama, desa hanya menjadi “sapi perahan” kekuatan-kekuatan birokratik supra desa serta menjadi arena politisasi para petualang politik. Pemerintahan desa terus menerus terdegradasi menjadi lemah, tidak mempunyai bargaining-position, lemah dalam kreativitas dan kapasitas untuk menghasilkan ide-ide kreatif membangun masyarakatnya. Kedua, desa dalam kontek bertatanegara dan berwarganegara, akibat hirarkis-sentralistik-top down itu, terpecah menjadi dua dimana pemerintah desa condong harus loyal ke supra desa, sementara masyarakat terus menerus kecewa atas hasil pembangunan yang ada. Pemerintah desa dan hirarki di atasnya semakin korup tidak terkendali lantaran tidak berjalannya kontrol dan check and balance dari rakyat. Sementara rakyat terus menerus didera kemiskinan dalam konteksnya yang luas dan semakin tajam. Ketiga, masih dari akibat hirarkis-sentralistik-top down tersebut, masyarakat tingkat bahwah menjadi “satu rupa” alias seragam. Desa dan sistem pemerintahannya seragam. Model pembangunan di akar rumput seragam, padahal mempunyai karakteristik alam, resources, kapasitas yang berbeda. Dibalik semua yang secara verbal tampak seragam itu, masyarakat masih memegang segenggam nilai-nilai kultural dan local wisdom yang boleh jadi diyakini mempersatukan dan (mungkin) menguatkan sendi kehidupan mereka.
Semua kontradiksi-kontradiksi di atas diam-diam menumbuhkan potensi konflik yang amat sulit diduga, dan sangat mudah dimanfaatkan oleh kekuatan politik aliran, kelompok fundamentalis, serta golongan kapitalis untuk “dibakar” bagai ilalang dimusim kering.
Penguatan ekonomi masyarakat (desa)
Ketertinggalan dan “pemiskinan” masyarakat desa seperti sudah digambarkan sebelumnya, mengundang banyak pihak untuk berkiprah membangun desa di segala bidang dan dengan berbagai cara (pendekatan). Strategi Pertama, yakni charity base (bantuan), atau hibah cuma-cuma dengan memberikan makanan, rumah, sekolah gratis, kesehatan gratis, dan lain-lain. Strategi ini dianggap tidak mendidik dan hanya membuat orang desa menunggu dan tergantung[6].
Strategi Kedua, community base development (pembangunan berbasis pengembangan masyarakat): “membantu dengan tidak langsung memberi ikan, tetapi memberi kail-nya dan kapasitas untuk memancing”. Banyak sekali program tersebut yang sudah dilakukan LSM maupun pemerintah melalui berbagai kegiatan dengan judul pemberdayaan masyarakat. Namun banyak kritik terhadap kekurangan --bukan kelemahan-- program berbasis community development ini. Kritik tersebut berawal dari alasan bahwa sangat penting untuk memampukan pemerintah dalam membuat kebijakan yang akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat, sekaligus memampukannya dalam kapasitas pengelolaan program yang partisipatif, transparan dan akuntabel. Sebab jika bisa demikian, maka apa yang sudah dilakukan melalui program-program community development (CD) akan dapat sustainable dan memberikan nilai yang berlipat ganda.
Strategi Ketiga, reformism strategy atau strategi yang reformis. Strategi ini biasanya dilancarkan untuk mereformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan dengan program-program seperti: (1) Anggaran pembangunan partisipatif; (2) Tata kelola pemerintahan (termasuk pemerintahan desa); (2) Transparansi anggaran dan pembangunan; (3) Penyusunan Perda dan Perdes yang pro-rakyat; dll. Asumsinya adalah bahwa hanya di dalam tata kelola pemerintahan yang baik lah maka semua investasi untuk pembangunan --yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah sendiri-- itu dapat berhasil dengan baik. Dalam birokrasi dan tata pemerintahan yang korup maka investasi terhadap pembangunan hanya sedikit sekali memberikan nilai tambah perbaikan kesejahteraan masyarakat. Partisipasi menjadi kata kunci baik dalam strategi CD maupun reformism. Namun “partisipasi” di antara kedua strategi tersebut memiliki makna dan kedalaman yang berbeda.
Strategi Keempat, yaitu tranformation. Strategi generasi keempat ini tidak puas hanya sekedar memberdayakan kesejahteraan dan atau merubah tata aturan dan perundangn yang adil dan tidak korup. Strategi pembangunan tranformasi ingin membawa kondisi masyarakat ini menjadi lebih baik dengan memperbaiki dan merubah segala perundangan, peraturan, dan kebijakan yang tidak adil menjadi pro-justice dan pro-poor. Tetapi tidak hanya sampai di situ, strategi ini juga menganjurkan perubahan/perombakan sistem-institusi agar bisa menjalankan kebijakan yang pro-justice dan pro-poor. Strategi ini bekerja melalui penguatan institusi baik kelompok masyarakat, organisasi buruh dan profesi, institusi pemerintah dan pendidikan, dll. untuk merubah mereka menjadi lebih kritis dan progresif atas kondisi in-justice (ketidakadilan baik dibidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, pelayanan publik, dll) di segala bidang serta institusi yang otoriter dan korup. Seberapapun besar program kesejahteraan di gelontorkan kepada masyarakat jika formasi dan bangunan strutur perundangan dan institusinya tetap in-justice dan korup, maka hasil pembangunan itu semu dan mudah berantakan kembali.
Skema Kuadran Gagasan
Pembaharuan Desa[7]
Politik
Pemerintahan
|
Ekonomi
Pembangunan
|
|
Desentralisasi
|
Desentralisasi
pemerintahan desa:
§ kemandirian
mengelola pemerintahan desa (self
governing community)
§ kemandirian
mengelola community based resource
management
§ kebijakan regional dan nasional harus
mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan (needs) desa, berpihak pada desa,
serta menjaminan (kepastian) bagi upaya penanganan keterbatasan yang dihadapi
desa
§ hubungan desa dengan supra desa bersifat
non-hirarkis
§ memberikan ruang kewenangan kepada desa
|
Desentralisasi
ekonomi pembangunan desa:
§ desentralisasi
fiskal sampai ke desa. Dana Alokasi Umum dan Dana Perimbangan juga dibagikan
sampai ke desa, termasuk sebagian pajak.
§ kemandirian
perencanaan pembangunan sampai tingkat desa, dan pemeritah supra desa
memfasilitasi kapasitas perencanaan, pengelolaan, serta memberikan
block-grant.
|
Demokratisasi
|
Demokratisasi
politik pemerintahan desa:
§ memperkuat
relasi pemerintah desa, BPD, dan rakyat dengan mengatur peran dan kewenangan
masing-masing
§ mengembangan
Perdes yang akomodatif pada kebutuhan masyarakat
§ membangun
kepemimpinan transformatif, bukan kepemimpinan tradisional (priyayi)
§ membangun
kinerja pemerintahan desa yang responsif, akuntabel, transparan, punya nilai check and balance
§ membangun
partisipasi masyarakat (voice, access,
controle) atas jalannya pemerintahan desa
|
Demokratisasi
ekonomi dan pembangunan:
§ membangun
Pembangunan Desa Berbasis Komunitas
§ membangun
keterwakilan yang terbuka atas pengembangan ekonomi dan pembangunan desa
§ membangun
partisipasi masyarakat (voice, access,
controle) atas jalannya pembangunan di desa
|
Mengkritisi Agenda Dasar
PNPM
Pertama-tama yang perlu
kita hargai adalah bahwa pemerintah, dari waktu ke waktu, mulai menyadari pada
tingkatnya yang paling awal untuk memperbaiki strategi dan mekanisme
pembangunan masyarakat yang sudah hampir pada pucuk stagnasi dan pemiskinan.
Kira-kira dimulai Tahun 2000-an dikembangkan PNPM (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri, yang merupakan kelanjutan sekaligus perbaikan
dari proyek-proyek besar sebelumnya pada era Orde Baru seperti IDT (Infrastruktur Desa Tertinggal), PPK
(Program Pengembangan Kecamatan), dll.
Pada era Orde Baru bisa diduga bahwa
proyek-proyek pengembangan masyarakat ini dilakukan sangat top-down dan sesungguhnya merupakan “hadiah” bagi wilayah-wilayah
yang perolahan Golkar dalam Pemilu cukup tinggi, selain juga memang ada maksud
untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat. Jauh setelah Orde Baru,
pada periode berhembusnya era reformasi, proyek-proyek pembangunan masyarakat
tersebut tetap berlanjut dengan penamaan yang lain misalnya PNPM yang sangat
semarak di era SBY. PNPM tentu saja mengklaim menggunakan idiom-idiom
pembangunan yang lebih ideal dan bernunsa pembaruan (reformis) seperti lebih
partisipatif, menggunakan strategi buttom-up,
memperkuat kapasitas masyarakat/kelompok-kelompok masyarakat, memakai prinsip
desentralisasi fiskal anggaran pembangunan, akuntabel dan transparan.
Sub bab berikut ini ingin meninjau
seperti apa pendekatan yang dipakai PNPM, sejauh mana pendekatan dan
strateginya memberikan garansi pada pemberdayaan masyarakat jangka panjang,
serta, sesuai dengan maksud tulisan ini yaitu dalam rangka pembaruan desa, maka
ingin dikritisi pula seberapa besar PNPM memberi ruang peningkatan ranah
desentralisasi dan otonomi desa.
Desain Besar PNPM
PNPM[8] Mandiri
merupakan pengembangan lebih lanjut dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK)
yang telah dilaksanakan sejak tahun 1998. Program ini pada prinsipnya adalah
program nasional penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat.
Strategi “pemberdayaan” masyarakat yang dimaksud adalah untuk menciptakan dan
meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok,
dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup,
kemandirian dan kesejahteraannya.
Tujuan yang ingin
dicapai melalui PNPM Mandiri adalah: Pertama,
meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara
mandiri. Kedua, meningkatkan partisipasi
seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas
adat terpencil dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering
terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan; Ketiga, untuk meningkatkan kapasitas
kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif dan akuntabel. Keempat, meningkatkan kapasitas
pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, terutama masyarakat
miskin, melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada
masyarakat miskin (pro-poor). Kelima,
meningkatkan sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan
tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan kelompok peduli
lainnya untuk mengefektifkan upaya‐upaya penanggulangan kemiskinan. Keenam, adalah untuk meningkatkan keberadaan dan kemandirian
masyarakat serta kapasitas pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat dalam
menanggulangi kemiskinan di wilayahnya. Ketujuh, meningkatkan modal sosial masyarakat yang
berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan
lokal. Kedelapan, adalah meningkatkan
inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam
pemberdayaan masyarakat.
Program
ini dalam implementasinya, menempatkan “kecamatan” sebagai lokus program untuk
mengharmonisasikan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program. Masyarakat
di desa-desa tetap dalam posisi sebagai penentu atau pengambil kebijakan serta
pelaku utama pembangunan di tingkat lokal. Ruang lingkup kegiatan PNPM Mandiri
pada dasarnya terbuka bagi semua kegiatan penanggulangan kemiskinan yang
diusulkan dan disepakati masyarakat, antara lain: Penyediaan dan perbaikan
prasarana/sarana jalan dan jembatan, lingkungan permukiman, sosial dan ekonomi melalui
padat karya; Penyediaan sumberdaya keuangan melalui dana bergulir dan kredit
mikro untuk mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat miskin; Peningkatan
kapasitas masyarakat dan pemerintahan lokal melalui penyadaran kritis,
pelatihan ketrampilan usaha, manajemen organisasi dan keuangan.
Sementara
itu strategi operasionalisasi kegiatan di dukung dengan beberapa bentuk
jaringan birokrasi dan dukungan seperti: (1) Terdapat jenjang birokrasi tim
pengelola progran --untuk kebutuhan pengendalian dan pengawasan-- dari tingkat
pusat sampai kabupaten dan kecamatan; (2) Tersedia DOK (Dana Operasional
Khusus); (3) Dana Bantuan Langsung
Masyarakat (BLM) sebagai dana stimulan keswadayaan, yang diberikan kepada
kelompok masyarakat untuk membiayai sebagian kegiatan yang direncanakan oleh
masyarakat; (4) Penyediaan pendampingan teknis oleh para fasilitator/konsultan
pendamping; (5) Penyediaan dan pengembangan institusi lokal sebagai
Pelaku-Pelaku Program yang umumnya berasal dari para aparatur pemerintah dan
atau campuran dengan masyarakat.
Empat Tahap dan Ciri Pendekatan Dalam
Pembangunan
Charity/Karitatif
|
Developmentalis
|
Reformis
|
Transformis
|
|
Orientasi
|
Masyarakat segera terpenuhi kebutuhannya
|
Memberdayakan masy. terutama dlm hal kesejahte-raan (ekonomi)
|
Memampukan masy kritis terhadap ketidakadilan
|
Memampukan selu-ruh komponen masy dan negara
lebih adil dan demokratis
|
Pendekatan
|
§ Hibah, cuma-cuma, bagi-bagi
§ Bantuan langsung tunai
§ Rakyat hanya me-nerima, menunggu
|
§
Community Dev,; People Centre Dev.
§ Partisipasi masy.
§ Fasilitasi kapasitas
§ Bantuan langsung masyarakat (BLM)
§ Dana hibah
|
§
Perubahan perundang-an/peraturan yg tidak pro rakyat
§ Fasilitasi kapasitas
|
§ Kritis terhadap ketidakadilan, non-demokrasi,
kekerasan
§ Fasilitasi kapa-sitas dan perbai-kan
institusi
|
Relasi dgn. pemerintah (desa)
|
§
Hanya membantu mengkoornidir
§ Tdk ada hubungan dlm hal kebiajakan
|
§
Hanya mengetahui
§ Sedikit sekali mengembangkan institusi
pemerintah desa
§ Bukan relasi institusional
§ Aparatur desa mungkin terlibat, tapi personal
|
§
Selain rakyat, pengambil kebija-kan (termasuk pemerintah desa)
adalah sasaran program
§ Institusi peme-rintahan, terma-suk desa,
menjadi target garapan
|
§ Institusi pemerintah, termasuk desa, adalah
target sasaran program
§ Institusi perwakilan rakyat (DPR, BPD) adalah
sasaran program
|
Upaya
untuk bisa “membaca ulang” PNPM dalam sumbangannya terhadap pembangunan dan
tata-pemerintahan desa, kita harus mendudukkan kembali munculnya PNPM pada
konteks keprihatinan saat itu mengenai kesejahteraan masyarakat dan reformasi
birokrasi yang melanda negeri ini. Pertama,
berpuluh-puluh tahun dalam cenkeraman Orde Baru tidak ada partisipasi
pembangunan dari bawah. Sudah begitu, rencana kegiatan yang akan dilakukan di
daerah termasuk desa tidak pernah cocok dengan apa yang sudah di plot dari Pusat itupun anggaran turun baru
pada pertengahan tahun depan. Pembangunan top-down
dan sentralisasi anggaran pembangunan dituding sebagai penghambat berat
pembangunan. Itu sebabnya PNPM merancang strategi yang lebih partisipatif
melalui mekanisme perencanaan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dusun,
Musrenbang desa, dan Musrenbang kecamatan. Kemudian dilanjutkan dengan
desentralisasi fiskal anggaran pembangunan, dimana dana dari Pusat langsung
masuk ke UPK-UPK tingkat kecamatan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang sudah di
proses dalam perencanaan partisipatif musrenbang.
Kedua, keberdayaan masyarakat tidak pernah
diakomodir selama proses pembangunan pada rezim-rezim pemerintah sebelumnya. Struktur
birokrasi di bawah Pusat, seperti Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan Desa
hanyalah “talang air” pembangunan. Hampir-hampir tidak ada pengembangan
kapasitas dan penguatan institusi yang menetes ke bawah. Akibatnya institusi
desa dan kelompok-kelompok masyarakat kering kreativitas dan takut. Struktur
birokrasi tersebut tetap dibiarkan korup, tidak tersentuh akuntabilitas dan
transparansi. Kelompok-kelompok masyarakat yang dibentuk sekedar mengakumulasi
penyerapan distribusi dana tanpa pertanggungjawaban yang ketat. PNPM mencoba mengembangkan
kapasitas kelompok-kelompok masyarakat baik dalam perencanaan, pengelolaan serta
pertanggungjawaban kegiatan dan keuangan melalui forum-forum musyawarah dan
mekanisme pelaporan.
Ketiga, pada era rezim-rezim pemerintah sebelumnya
pemerintah daerah (termasukdesa) tidak pernah belajar melakukan perencanaan
pembangunan yang partisipatif pro-rakyat.
Pemerintah daerah dan dinas-dinas dalam merancang perencanaan hanya copy-paste dengan dokumen sebelumnya.
Strategi perencanaan wilayah, fokus pembangunan daerah termasuk desa, target-target
capaian sesuai kondisi setempat, dll tidak pernah diperbaharui. PNPM mencoba
melibatkan pemerintah daerah termasuk desa dalam proses belajar melakukan
perencanaan desa dan kecamatan, serta regional kabupaten.
Melihat
dari paparan desain dasar PNPM Mandiri tersebut di atas, maka bisa digolongkan
bahwa lokus utama pendekatan dan strategi pembangunan yang di pakai adalah pada
“Generasi Kedua-Developmentalism”.
Bahkan sebagian “jari kakinya” masih menginjak pada sisa-sisa “karitatif”
sementara sebagian “jari kaki” yang lain sudah mulai menapaki reformasi tetapi
masih sangat ragu-ragu dan katakanlah jauh dari yang diharapkan. Paparan dan
sub bab berikut ini hendak meninjau kritis jejak-jejak sisa dan keraguan
tersebut.
PNPM dan Village
Self Governing Community
Masyarakat desa, dalam
desain pemberdayaan PNPM Mandiri, adalah subyek utama sasaran program, baik
secara invidual, kelompok kegiatan, maupun secara institusional sebagai pelaku
pengelola kegiatan. Pembentukan kelompok-kelompok tersebut atau dengan istilah
lain community organizing, terutama
yang berperan sebagai pelaku pengelola kegiatan, dibentuk secara berjenjang
mulai dari tingkat dusun, desa, sampai kecamatan[9].
Lantas
dimanakah letak posisi dan peran desa dalam pengertian entitas institusi
pemerintahan di tingkat bawah? Gerakan pembangunan, utamanya yang mengadopsi
pendekatan community empowerment dan
atau community driven development
memang mengesampingkan --tidak membuang--
peran desa sebagai entitas pemerintah. Pemerintah desa dikonotasikan
sebagai representasi “negara” di tingkat bawah, sehingga oleh karena itu
dihindari karena dianggap akan sarat dengan kepentingan-kepentingan politis,
kepentingan birokratis, juga terlanjur dianggap koruptif. Persepsi-persepsi
semacam ini dianggap sebagai “asumsi awal” (atau anasir-anasir) yang bisa
mengurangi atau sebagai kendala keberhasilan jalannya program.
Pemerintah
desa dalam desain implementasi PNPM Mandiri, sangat sedikit --untuk tidak
mengatakan hampir tidak ada-- mempunyai kewenangan dan peran terhadap kebijakan
program kegiatan di tingkat bawah. Desa bisa diibaratkan sebagai “tempat numpang lewat” arus hiruk pikuk
kegiatan program. Sesungguhnya tidak hanya program PNPM Mandiri saja yang
“numpang lewat” tersebut. Hampir semua program-program pemerintah --terumatama
yang dari Pusat-- baik di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur,
pertanian, dll memperlakukan pemerintah desa sebagai “tempat numpang lewat”[10].
Mungkin saja
beberapa perangkat desa menjadi anggota pengurus tim pelaksana kegiatan
program, namun itu sebagai individual dan tidak mewakili institusi pemerintah
desa. Dalam mekanisme perencanaan program, pemerintah desa mungkin hanya
berperan sebagai “saksi” atau “mengesahkan”, tetapi bukan pengambil kebijakan.
Beberapa perangkat desa mungkin saja meningkat pengetahuannya tentang
perencanaan dan pengelolaan program, tetapi ini sebagai individual di dalam
program bersangkutan, yang mana pengetahuan yang sudah diperoleh itu sangat
mungkin tidak bisa diterapkan di dalam mekanisme pemerintahannya karena
berbagai faktor kendala fasilitas, peraturan-peraturan tertentu, dll.
Apa yang
ingin saya katakan adalah bahwa pelaksanaan dan mekanisme yang dibangun melalui
PNPM Mandiri (dan program-program lainnya), sangat sedikit sumbangannya
terhadap kapasitas tata pemerintahan desa sebagai sebuah entitas self governing community[11].
Program-program tersebut bagaikan sebuah “jalur negara tertentu” di dalam
“negara kecil” yang disebut desa. Mereka berjalan beriringan bagaikan “pasangan
serasi”, namun tidak memiliki relasi langsung yang memberdayakan pemerintah
desa. Tidak ada sumbangan terhadap upaya desentralisasi politik pemerintahan
desa. PNPM Mandiri memang berhasil mendorong desentralisasi dana anggaran
pembangunan[12],
namun dia bukan di ranah jalur pemerintahan bahkan bersingungan pun tidak.
PNPM dan desentralisasi
desa
Konsep
desentralisasi desa mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan otonomi desa.
Dalam paparan-paparan mengenai pembaruan desa di atas, otonomi desa adalah sebuah
kondisi yang ingin dicapai, desentralisasi adalah salah satu “caranya”, dimana
struktur pemerintah supra-desa harus rela memberikan sebagian kewenangan untuk
dikelola oleh desa. Agar desa bisa dikatakan layak menerima desentralisasi
kewenangan, serta mampu melaksanakan otonominya secara penuh dan benar, maka
desa memerlukan prasyarakat kapasitas yang memadai diantaranya good governance desa yang lebih baik,
proses demokratisasi di desa yang berjalan, serta kapasitas mengelola dan
menjalankan program pembangunan yang lebih baik, akuntabel serta transparan.
Sudah 12
tahun PNPM berjalan --jika dihitung dari sekitar Tahun 2000--mari kita bertanya
apa yang sudah dilakukan dalam hal desentralisasi, demokratisasi, good-governance, akuntabilitas serta
transparansi di aras lokal. Pertama,
dalam hal desentralisasi: yang sudah dilakukan PNPM yaitu desentralisasi fiskal
khususnya mengenai pengucuran anggaran pembiayaan pembangunan. Anggaran dana dan implementasi kegiatan bisa
langsung masuk ke rekening UPK (Unit Pengelola Kegiatan)[13]
di tingkat kecamatan. Institusi pemerintah desa dan kecamatan tidak terlibat
apapun dalam hal ini. Pemerintah Kabupaten tidak mengelola, prinsipnya hanya mengetahui
saja dan melakukan pencatatan dana ini.
UPK bukan
lembaga perangkat pemerintah. Dia adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat
dan berkedudukan di level kecamatan. Dia mempunyai kelompok-kelompok binaan di desa-desa
di wilayah suatu kecamatan, tidak bertanggungjawab langsung kepada pemerintah
desa atau kecamatan. UPK mempertanggungjawabkan kegiatan dan pengelolaan
keuangan dihadapan masyarakat. Jadi tidak ada “desentralisasi kewenangan dan
kebijakan” apapaun dari pemerintah di atas desa (supra desa) kepada pemerintah
desa terkait dengan adanya PNPM Mandiri di wilayah sebuah desa, meskipun
wilayah desa menjadi arena implementasi PNPM mandiri.
Kedua, dalam hal good-governance, akuntabilitas, dan transparansi
lokal: PNPM mandiri menerapkan menerapkan prinsip good-governance[14],
akuntabilitas, dan transparansi yang ketat dalam pengelolaannya. Para pelaku
PNPM Mandiri seperti UPK, kelompok-kelompok masyarakat, Satker (Satuan Kerja di
tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten), dilatih cara berorganisasi,
menyusun pembukuan anggaran kegiatan, membuat laporan kegiatan dan pengeluaran
dana secara rutin, serta mempertanggungjawabkan kegiatannya (termasuk anggaran)
di dalam pertemuan musyawarah masyarakat. Laporan-laporan perkembangan kegiatan
dan dananya juga harus ditempel di papan-papan informasi di tingkat desa dan
kecamatan. Kinerja mereka diukur secara berkala.
Semuanya itu
dilakukan oleh panitia atau tim ad-hock
yang dibentuk oleh program, dan bukan dikerjakan oleh atau atas nama institusi
pemerintah desa. Panitia/tim ad-hock
itulah yang banyak belajar mengenai praktik-praktik good-governance, akuntabilitas dan transparansi. Sementara
institusi desa tidak banyak belajar karena tidak bersinggungan langsung, hanya
saja beberapa aparatur desa mungkin belajar karena terpilih (secara personal) sebagai
pengurus atau anggota panitia/tim. Jadi sekali lagi, dalam konteks ini,
institusi pemerintah desa adalah “pemain luar” yang sangat sedikit --untuk
tidak mengatakan sama sekali tidak-- belajar dan berpraktik langsung mengenai good-governance, akuntabilitas, dan
transparansi.
Ketiga, dalam hal
demokratisasi lokal: Secara sederhana pengertian “demokratisasi lokal” adalah
proses relasi yang semakin baik berdasarkan pembagian kewenangan yang saling
dipahami antara legislatif (dalam hal ini diwakili BPD), eksekutif (diwakili
pemerintah desa), dan masyarakat, dimana masing-masing pihak berperan dengan
baik sebagai check and balance dalam
tata kelola pemerintahan desa. Dari sudut peran masyarakat, maka demokratisasi
adalah proses untuk memberi peluang yang semakin berkualitas atas partisipasi masyarakat, dimana partisipasi
tersebut dimaknai sebagai acces, voice, dan controle (Sutoro, 2000)[15].
Akses adalah peluang yang semakin terbuka bagi masyarakat untuk terlibat dalam
perumusan kebijakan-kebijakan penting di desa. Suara (voice) adalah tersampaikannya kritik maupun gagasan masyarakat
terhadap pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di desa, dimana kualitasnya
semakin membaik. Kontrol (controle)
adalah terbukanya peluang atau semakin berkualitasnya fungsi-fungsi pengawasan
oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa.
Dalam ketiga
aspek seperti dipaparkan di atas, PNPM Mandiri memang telah berbuat banyak
untuk masyarakat desa sasaran program beserta para pelaku program
(kelompok-kelompok yang dibentuk dalam rangka pengelolaan kegiatan di
lapangan). Desentralisasi anggaran perencanaan dan pelaksanaan sudah sampai di
kecamatan. Kelompok-kelompok pelaku di tingkatkan kapasitas pengelolaan
kelompok, pengelolaan keuangan dan pembukuannya melalui pelatihan-pelatihan
secara reguler. Para pihak pengelola tersebut juga harus mempublikasikan
perkembangan kegiatan dan perkembangan keuangan di papan-papan informasi maupun
melalui pertemuan-pertemuan musyawarah masyarakat.
Dalam proses
yang semacam itu isu check and balances
telah dihembuskan melalui mekanisme dan pentahapan program, dimana sekaligus
masyarakat belajar mengenai proses demokrasi melalui media diskusi dan musyawarah.
Masyarakat juga belajar tentang akuntabilitas dan transparansi. Performa
kinerja program ini diperkuat dengan studi-studi tematik yang dilakukan oleh
pihak independen, yang menjadi inheren di dalam strategi program secara
keseluruhan. Proses check and balances,
transparansi, dan akuntabilitas diperkuat dengan Handling Complain Unit (HCU), suatu unit di dalam mekanisme program
yang menangani pengaduan kasus-kasus yang berkaitan dengan penyimpangan
keuangan maupun persoalan manajemen pelaksanaan program.
Tentu kita
tidak dapat mengatakan bahwa yang sudah dilakukan oleh PNPM Mandiri kepada
masyarakat adalah “salah arah”. Memang begitu yang sudah dirancang dan
ditetapkan di dalam pendekatan dan sistem mekanisme programnya, bahwa desa
sebagai institusi pemerintahan tidak terlibat banyak namun desa sebagai
komunitas masyarakat itulah yang menjadi sasaran utama. Sebegitu besar
masyarakat desa memiliki kapasitas untuk merancang dan mengelola pembagunan
akibat belajar dari program-program tersebut, namun di sisi lain pemerintah
desa tetap saja “pas-pasan” kapasitasnya dalam merancang, mengelola
pembangunan, serta melaksanakan praktik pemerintahan desa yang jauh dari asas goo-governance, in-demokrasi, kurang
akuntabel dan transparan. Jika dibiarkan demikian maka pembangunan di desa
melalui program-program tersebut nampaknya akan kurang memberi nilai tambah
yang cukup di masa datang. Kondisi-kondisi seperti ini lah yang juga menjadi
keprihatinan Arya Hadi Dharmawan[16]
(Dharmawan, 2006), bahwa desentralisasi dan
otonomi desa menjadi prasyarat terselenggaranya sebuah tatakehidupan
sosial-kemasyarakatan yang lebih baik. Kapasitas struktur pemerintahan desa
yang kuat dan baik akan mampu menumbuhkan kemandirian desa yang bercirikan
“agen perubahan sosial mandiri” (social-institutional entrepreneur). “Kemandirian” adalah kata kunci disini.
PNPM dan partisipasi
pembangunan masyarakat
Proses pembangunan
selalu mensyaratkan tiga tahap besar, yaitu Perencanaan, Pengelolaan
Pelaksanaan, dan Pasca Program. Partisipasi masyarakat hendaknya selalu ada di
dalam tiga tahap proses besar tersebut. Dari sudut partisipasi masyarakat maka
program PNPM Mandiri jauh lebih baik dibanding program-program pemerintah angkatan
atau era 1980 – 1990an. Partisipasi masyarakat di dalam pembangunan, khususnya
dalam tahap perencanaan, oleh PNPM Mandiri telah diberi ruang melalui apa yang
disebut “Musrenbang” (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Musrenbang
dilaksanakan mulai dari tingkat dusun (Musrenbangdus), desa (Musrenbangdes),
dan Musrenbang kecamatan. Setiap desa yang memperoleh PNPM Mandiri diwajibkan
mengadopsi model perencanaan Musrenbang ini. Di kabupaten-kabupaten yang
memperoleh PNPM DTK (Daerah Tertinggal dan Khusus) bahkan memfasilitasi semacam
musrenbang namun di tingkat kabupaten yang disebut perencanaan Forum SKPD[17].
Mekanisme program
mensyarakatkan bahwa seluruh unsur masyarakat harus terwakili dalam proses
Musrenbang. Semua hasil Musrenbang baik dalam tahap pengajuan usulan, penilaian
prioritas usulan, kegiatan yang disetujui didanai, hasil musyawarah pembahasan
budget diketahui dan diumumkan kepada masyarakat. Dalam proses pelaksanaan atau
implementasi kegiatan, ciri partisipasi masyarakat ditunjukkan dalam
keterlibatannya sebagai panitia-panitia atau tim ad-hock[18],
yang mendapatkan pelatihan secara rutin dengan berbagai tema pengelolaan
kegiatan. Setiap musyawarah-musyawarah pertanggungjawaban kegiatan yang
dikelola oleh tim-tim ad-hock
tersebut, harus menghadirkan unsur-unsur masyarakat. Guna mengurusi
keberlanjutan kegiatan pasca sebuh sub-proyek dibangun, maka dibentuk tim
pemelihara kegiatan yang bertugas mengelola partisipasi warga untuk menjaga dan
memelihara keberlanjutan kegiatan (sub-proyek).
Skema Analisa Pengaruh
PNPM Terhadap Otonomi
Tata Pemerintahan Desa
dan Otonomi Pembangunan Desa
Implementasi
PNPM
|
Dukungan
Atas Penguatan Otonomi Tata Pemerintahan Desa
|
Dukungan
Atas Otonomi Pembangunan Ekonomi Desa
|
Strategi
Perencanaan
|
PemDes (pemerintah
desa) tdk bertanggung-jawab langsung. Hanya aparat desa yg (mungkin) terlibat
(sebagai person).
|
Memperkuat kualitas
MusrenbanDus dan MusrenbangDes, namun keputusan kebijakan kegiatan tidak terletak
di PemDes tetapi tetap di masyarakat
|
Strategi
Mekanisme Pendanaan
|
PemDesa tidak
dibenarkan dan tidak berwenang mengelola dana. Aparat desa (mungkin) terlibat
dalam hal ini dlm kelompok-kelompok (sebagai person)
|
§ Aliran dana
langsung masuk ke masyarakat/kelompok
§ Tidak ada
dana yg dikelola PemDes untuk merealisasikan target-target di dalam RPJMDes
(jika ada).
|
Pengembangan
Kapasitas
|
Sangat sedikit atau
hampir tidak ada pengembangan kapasitas yang terkait dengan penguatan tata
pemerintahan desa
|
Pengembangan kapasitas
pengelolaan (ekonomi) pembangunan langsung untuk masyarakat/kelompok
masyarakat
|
Partisipasi
Dalam Pelaksanaan Kegiatan
|
PemDes bukanlah
pengelola kegiatan PNPM
|
Partisipasi utama
didesain datang dari masyarakat/kelompok masyarakat
|
Kepemilikan dan Keberlanjutan
|
§ Kepemilikan
dan keberlanjutan kegiatan menjadi tanggungjawab masyarakat/kelompok masy.
§ PemDes bisa
berpartisipasi dlm hal ini dgn mengakomodir kepemilikan dan keberlanjutan
aset proyek melalui Perdes (jika anggaran desa mendukung)
|
§ Desain
pengelolaan dan upaya keberlanjutan kegiatan/program langsung oleh masyarakat
§ Sangat
sedikit komitmen Pemda maupun PemDes untuk pemeliharaan aset dan
keberlanjutan kegiatan/program
|
Sampai pada
tahap ini ijinkan saya bertanya secara kritis sejauh mana arah serta makna
partisipasi yang sudah dibangun PNPM Mandiri selama kira-kira 12 tahun sampai
sekarang? Teori-teori tentang partisipasi di dalam proses pembangunan
menengarai adanya beberapa tahap partisipasi[19],
yaitu: Pertama, “partisipasi ikut-ikutan saja”: orang terlibat dalam kegiatan karena
ikut-ikutan yang lain atau didorong oleh keinginan dapat sesuatu (uang atau
bantaun), dan bukan karena kesadaran. Kedua,
“partisipasi dorongan keuntungan”:
orang terlibat dalam kegiatan karena memperoleh keuntungan pribadi misalnya
dapat uang, dapat bantuan rutin, berkesampatan kesana-kemari tanpa biaya
sendiri, dll. Ketiga, “partisipasi karena keingintahuan dan harapan
akan adanya suatu perbaikan”: orang terlibat di dalam kegiatan didorong
oleh rasa ingin tahu akan adanya suatu perbaikan, baik perbaikan hidup pribadi,
perbaikan lingkungan, lebih mudah ke sekolah, lebih mudah ke pasar, akan lebih
mudah memperoleh air, dll. Jika perbaikan atau harapan itu tidak segera tampak,
maka partisipasi orang tersebut segera menurun. Keempat, “partisipasi karena kesadaran akan perubahan bersama”:
orang terlibat di dalam kegiatan karena tahu dan sadar bahwa perubahan (mungkin
di segala bidang) harus dikerjakan secara bersama-sama dan dalam waktu yang
panjang.
Nampak jelas
bahwa “makna partisipasi” di dalam PNPM Mandiri adalah makna partisipasi dalam
model pendekatan pembangunan “developmentalis”. Menurut tori partisipasi di
atas, arah dan makna partisipasi yang terbangun melalui proses PNPM Mandiri
masih pada tataran antara partisipasi “Bentuk Pertama” sampai partisipasi
“Bentuk Ketiga”. Bentuk-bentuk partisipasi tersebut mempengaruhi sajuh mana
kekuatan “sustainabilitas” pasca program (bukan pasca sebuah sub proyek
dibangun). Tentu saja jika sebuah program baru mampu membangun makna
partisipasi sampai pada Bentuk Pertama dan Bentuk Kedua, program tersebut bisa
dipastikan tidak akan meninggalkan kekuatan keberlanjutan.
Partisipasi
Bentuk Ketiga, merupakan partisipasi yang “tengah-tengah”. Mudah tergelincir
kembali ke bentuk partisipasi Kedua dan Pertama. Tetapi juga sangat
memungkinkan menuju partisipasi Bentuk Keempat, namun tergantung kemauan dan
kekuatan institusi-institusi yang sudah dibangun oleh program ataupun kemauan
dan kekuatan institusi-institusi yang “lebih langgeng” sifatnya seperti
institusi pemerintahan desa dan kabupaten. Partisipasi Bentuk Keempat, adalah
partisipasi yang relatif sempurna. Jika sebagian besar masyarakat yang menjadi
sasaran program maupun mereka yang terlibat di dalam tim-tim ad-hock mampu mencapai kesadaran
partisipasi Bentuk Keempat, maka secara tidak terduga mereka akan meneruskan
nilai-nilai dan institusi yang sudah dikembangkan oleh program, bahkan atas
kesadaran pembiayaan swadaya meski volume dan intensitas kegiatan lebih kecil
dibanding sewaktu program masih aktif. Mengapa bisa demikian? Kuncinya terletak
pada “kesadaran”, bahwa perubahan itu harus berasal pada inisiatif sendiri
(baik secara pribadi maupun kelompok, dan bukan dari orang lain (pihak luar).
Sampai pada
titik ini maka pertanyaan besar dan mendasar yang perlu diajukan adalah: (1)
Sampai sejauh mana masyarakat yang tergabung di dalam tim-tim ad-hock tetap menjunjung atau tetap
menerapkan nilai-nilai proses pembangunan yang telah dipelajarinya, atau tetap
mempertahankan fungsi tim-tim tersebut, jika PNPM Mandiri tidak ada. Siapa atau
pihak mana yang bertanggungjawab mengadopsinya; (2) Sampai sejauh mana atau
semampu apa, peran dan fungsi UPK yang saat ini mengelola uang ratusan juta
rupiah, tetap bisa menjadi spirit pembangunan di aras bawah, serta kekuatan
hukum apa dan seberapa kuat hal itu memberi legitimasi kepadanya, jika PNPM
Mandiri sudah tidak ada; (3) Seberapa kuat Musrenbang “ideal” dari tingkat
dusun sampai kecamatan disertai dengan berbagai forum musyawarah masyarakat tetap
bisa terus dipertahankan, jika PNPM Mandiri sudah tidak ada. Pihak mana yang
akan meneruskannya, atau bertanggungjawab mengadopsinya. Jika semua ini gagal
kita jawab, dan PNPM Mandiri tidak ada lagi, maka sesunggunya kita “sedang cuci tangan” atas kecenderungan
kegagalan sebuah investasi sosial yang sangat sangat besar.
Rekomendasi
dan Penutup
Mengakhiri tulisan
review-analitik mengenai sumbangan atau kaitan program besar pemberdayaan
masyarakat multi-years dari
pemerintah PNPM Mandiri terhadap tema “pembaruan desa” ini, saya ingin
memaparkan beberapa kesimpulan mendasar. Dari beberapa kesimpulan mendasar yang
katakanlah merupakan “pembacaan” saya terhadap PNPM Mandiri dan sumbangannya
terhadap Pembaruan Desa ini, saya kemudian mencoba memberikan rekomendasi yang kiranya
bisa dipertimbangkan dalam pelaksanaan program-program pemberdayaan serupa di
masa datang. Beberapa kesimpulan mendasar tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Pelaksanaan
PNPM Mandiri tidak, atau sangatlah kecil, memberikan ruang bagi Pemerintahan
Desa sebagai institusi belajar tentang perenacanaan partisipatif yang baik,
pengelolaan organisasi kegiatan secara demokratis, berprinsip pada
akuntabilitas dan transparansi. Sistem dan
mekanisme program PNPM Mandiri juga sangat kurang memberikan peluang
kepada institusi pemerintahan desa mengembangkan diri untuk menjadi “dewasa”
dalam hal desentralisasi pembangunan, demokratisasi pengelolaan tata
pemerintahan desa, good-governance
desa, dan dengan demikian juga kurang memberikan andil dalam proses
desentralisasi dan otonomi desa.
Kedua, institusi
desa, sekali lagi, melalui PNPM Mandiri yang multi-years ini telah ditempatkan (maaf) tidak lebih sebagai
“talang air” dan “pemain luar” dari program panjang dengan investasi yang
sangat besar ini. Sayang karena hanyalah masyarakatnya yang di-support menjadi dewasa dan berdaya namun
pemerintahannya (institusi pemerintahan desa) tidak. Sementara itu kekuatan
“sustainabilitas” baik dalam hal keberlanjutan tim-tim ad-hock, keberlanjutan pengelolaan kegiatan, keberlanjutan
penanaman nilai-nilai pembangunan, keberlanjutan mekanisme dan sistem
perencanaan dan pengelolaan kegiatan, dll. masih katakanlah “abu-abu” dan penuh
keraguan. Dalam konteks ini institusi pemerintahan desa terlanjur “ora direken” (Ind: Tidak
Dianggap/Dinilai) sebagai sebuah modal yang bisa didorong untuk mewujudkan
sustainabilitas.
Ketiga, secara
pribadi saya belum pernah --maaf atas keterbatasan saya tentang informasi
mengenai hal ini-- menemukan sebuah kajian didalam internal program PNPM
Mandiri maupun kajian idependen, yang menelaah sejauh mana PNPM Mandiri mampu
terintegrasi antar pecahan-pecahan program di dalam internal PNPM Mandiri dan
atau keterintegrasian PNPM Mandiri dengan program-program sektoral pemerintah
di kabupaten. Dengan kata lain, review-kritis saya ingin mengatakan bahwa PNPM
Mandiri relatif gagal membangun “keterintegrasian” tersebut. Berbasis pada
pembacaan terhadap Pedoman Umum dan PTO (Petunjuk Tehnik Operasional) PNPM
Mandiri, nampaknya cukup jelas bawa program ini ter-desain “eksklusif”:
“semacam jalur rel khusus diantara jalur rel mekanisme pembangunan reguler
birokrasi pemerintah”. Dia menjadi semacam “negara pembangunan” khusus di dalam
“sebuah negara besar pembangunan”.
Ego sektoral pembangunan yang nuansanya
eksklusif tidak mampu dipecahkan oleh PNPM Mandiri. Bahkan --semoga pembacaan
saya benar-- PNPM Mandiri pun masih terbawa “ego” tersebut di dalam
program-program dibawah naungan PNPM Mandiri. Upaya menyelesaiakan kendala
“ketidak-integrasian” tersebut mau diatasi dengan cara “koordinasi antar
program”. Upaya koordinasi pun belum menyelesaikan persoalan substantif
ketidak-integrasian, sebab ego-sektoral adalah persoalan yang terletak pada
tata nilai-nilai (ekslusifitas) sedang koordinasi adalah ranah teknis belaka.
Secara teoritik ketidak-integrasian program apalagi ketidak-sinkronan antar program,
ditimpali dengan besarnya birokrasi-administratif program di dalam PNPM
Mandiri, membuat upaya keter-integrasian program adalah sesuatu yang sangat
sulit diselesaikan. Di tataran grassroots,
desa khususnya pemerintahan desa, menjadi arena “berkubang para gajah” dengan
pola tingkahnya masing-masing yang jika diikuti “salah” tidak diikuti “juga
salah”.
Rekomendasi:
Pertama, PNPM Mandiri atau
program serupa kedepan, hendaknya melibatkan pemerintahan desa sebagai mitra
yang diberi kewenangan tertentu dalam pengelolaan program di tingkat bawah. Pelibatan
tersebut tidak hanya bersifat teknis belaka di lapangan, namun juga telah
dirancang di dalam desain program dan tercantum di dalam Buku Panduan maupun
buku Petunjuk Teknis Operasional. Melihat dari mekanisme pengelolaan PNPM
Mandiri yang ada, maka pemberian kewenangan terhadap institusi pemerintahan
desa tersebut di dilakukan pada tahap: (1) Pemerintah desa diberi tanggungjawab
dan kewenangan untuk mengelola musrenbang dusun dan musrenbang desa dengan pendampingan
khusus dari fasilitator/konsultan; (2) Pemerintah desa bisa dilibatkan berperan
dalam proses pengawasan (monitoring) terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan
sub-sub proyek atau pengembangan kelompok-kelompok ekonomi yang berada dibawah
kewilayahannya. Pelaksana dan pengelola langsung kegiatan-kegiatan tersebut
bisa langsung dilakukan oleh masyarakat atau kelompok-kelompok sasaran maupun
tim ad-hock; dan (3)
Musyawarah-musyawarah pertanggungjawaban kegiatan pada kegiatan di tingkat desa
pengelolaannya bisa diberikan kepada institusi pemerintahan desa, sementara
pihak-pihak yang mempresentasikan atau mempertanggungjawabkan kegiatan adalah
kelompok-kelompok masyarakat sasaran program dan tim ad-hock yang dibentuk pada level desa. Adalah sah bahwa masyarakat
mempertanggungjawabkan kegiatan kepada “pemerintahan” desa karena di sana
terletak pula institusi perwakilan masyarakat tertinggi yaitu BPD.
Kedua, dengan pelibatan pemerintah dan
pemerintahan desa dimana kewenangan pengelolaan diberikan kepadanya, maka
pemerintah desa akan mengelola budget dalam jumlah tertentu. Pemakaian dan
pengelolaan budget tersebut juga harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah
desa dalam musyawarah-musyarah pertanggungjawaban di tingkat desa dan di
tingkat yang lebih tinggi.
Ketiga, PNPM
Mandiri harus lebih progresif melakukan advokasi dan memfasilitasi tumbuhnya
Perda-Perda yang pro-rakyat, pro-poor,
dan pro-otonomi desa serta otonomi daerah. Perda-perda pro-rakyat dan pro-poor misalnya perda yang mendukung upaya
peningkatan public service baik di
bidang kesehatan, pendidikan, kemudahan mendapatkan akses permodalan,
mengutanamakan penempatan guru dan tenaga kesehatan di daerah-daerah terisolir
serta memperhatikan kesejahteraannya, dll. Sementara perda yang menyangkut penguatan
otonomi daerah misalnya perda yang mengatur pembagian kewenangan yang lebih
adil-proporsional antara kabupaten dan desa, perda yang lebih khusus memperhatikan
pemberdayaan dan pembinaan kapasitas institusi pemerintahan desa, dll.
Rekomendasi-rekomendasi sederhana di
tingkat bawah ini, akan sangat berpengaruh besar kepada desa sebagai institusi,
dimana mereka bisa belajar langsung dan belajar lebih banyak mempraktikkan good-governance, akuntabilitas dan
transparansi baik dalam mekanisme pembangunan maupun pengelolaan keuangan. Pemerintahan
desa juga akan belajar banyak mempraktikan demokratisasi dan otonomi. Rakyat
akan sedikit demi sedikit “menghormati” pemerintah dan pemerintahan desa,
karena rakyat (masyarakat) melalui PNPM Mandiri tidak hanya
mempertanggungjawabkan kegiatan dan keuangan dihadapan “rakyat”, tetapi juga
dihadapan pemerintahan desanya yang didalamnya juga terdapat institusi
perwakilan rakyat. Dialog relasi antar pihak tersebut,
masyarakat-BPD-pemerintah desa melalui fasilitasi program PNPM Mandiri, akan
memperkuat proses demokratisasi dan memupuk kapasitas menjadi desa yang lebih
mandiri (otonomi). Bayangkan jika pemerintahan desa di ribuan desa di Nusantara
ini sudah belajar mengenai hal-hal tersebut selam lebih dari 10 tahun
pelaksanaan PNPM Mandiri.
Tidak ada sesuatu yang “salah” di dalam
proses pemberdayaan sebab pemberdayaan itu intinya adalah “proses
pembelajaran”. Dan di dalam proses belajar mestinya kita terbuka untuk
perbaikan [n]
Bahan Bacaan
“Ekonomi Politik
Pembaruan Desa” oleh Sutoro Eko (Makalah belum diterbitkan). Makalah
disajikan dalam Pertemuan Forum VII, “Refleksi Arah dan Gerakan Partisipasi dan
Pembaharuan Masyarakat Desa di Indonesia”, yang digelar Forum Pengembangan
Partisipasi Masyarakat (FPPM), Ngawi, Jawa Timur, 15-18 Juni 2003.
“Tata Hubungan Desa dan
Supra Desa”, Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah
dalam Sarasehan Nasional Dalam Rangka
Mendapatkan Masukan Mengenai Desa di Masa Depan: Forum Pengembangan Pembaharuan
Desa (FPPD), Hotel Bumi Karsa Bidakara, 4 Juli 2006.
Agricultural Involution: The Process of
Ecological Change in Indonesia (1963): Cliford Geertz, 1963; Berkeley,
CA: University of California Press
Training for transformation: A Handbook for Community Workers, By Anne Hope and Sally Timmel: Gweru,
Zimbabwe: Mambo Press, 1994.
Laporan Akhir
Pendampingan Teknis KM. Nas Program P2DTK; Jakarta, Konsultant Manajemen
Nasional P2DTK, Jakarta, Juni 2012
Loan
Agreement 34706/IND Year 2005 tentang Pelaksanaan Projek P2DTK. Kementrerian Pembangunan
Daerah tertinggal dan World Bank. (tidak dipublikasikan)
“Laporan Tahunan PNPM
Mandiri Perdesaan 2009”: Ditjen PMD-Kepmendagri, Jakarta, 2009.
Manual Monitoring dan Evaluasi
(Monev) P2DTK; diterbitkan oleh PIU-Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
RI, Jakarta, 2007
Pedoman Umum P2DTK;
diterbitkan oleh PIU-Kementeraian Pembangunan Daerah Tertinggal, Jakarta, 2007
Pedoman Teknis
Pelaksanaan P2DTK; diterbitkan oleh PIU-Kementeraian Pembangunan Daerah
Tertinggal, Jakarta, 2007.
Project Appraisal Document for a Support For
Poor and Disadvataged Areas in Aceh-Nias; The World Bank
Document (not published) Report No. 38148-ID, Jakarta, December 21, 2006.
[1] Tulisan ini
merupakan upaya review-analitis dari penulis terhadap sumbangan PNPM atas isu
yang menjadi keprihatinan banyak pihak
mengenai desa, yaitu tentang “pembaharuan desa”. Sebagai review tulisan ini
tidak beranjak dari sebuah penelitian lapangan, namun berbasiskan pada
pembacaan terhadap literatur,
laporan-laporan program, observasi dari berbagai field-trip, maupun makalah-makalah terpilih yang tersebar di
internet. Review-analitis ini tidak mewakili keterlibatan penulis di institusi
tempat penulis bekerja.
[2] Penulis
adalah alumnus Antropologi UGM. Pendiri dan Board
of Advisory di Lembaga Nawakamal (Yogyakarta), sebuah LSM yang bergerak di
penguatan livelihood perdesaan, sejak
1994. Pernah bekerja di Program Pemberdayaan Masyarakat Adat (IRE, Yogyakarta:
2004-2006); Capacity Building-Aceh Local
Government Program (GTZ, 2007-2010), Tenaga Ahli Monev di National Management Consultant
(NMC)-P2DTK (2011), dan Tenaga Ahli Monev & Analisa Program di Sekretariat Project Implementing Unit (PIU)
P2DTK-KPDT (Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal), 2012.
[3] Lihat makalah
“Tata Hubungan Desa dan Supra Desa”, Sekretaris
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah dalam Sarasehan Nasional Dalam Rangka Mendapatkan Masukan Mengenai Desa
di Masa Depan: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), Hotel Bumi Karsa
Bidakara, 4 Juli 2006.
[4] Gelombang
reformasi yang begitu kuat ini adalah sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap
model pemerintahan dan pembangunan yang diterapkan Orde Baru. Tidak ada “ruang”
partisipasi sama sekali di dalam model Pembangunan oleh Orde Baru. Desa dan
masyarakat desa mengalami “pemiskinan”. Berbasis pada itu program-program
seperti IDT dan PPK (Program Pengembangan Kecamatan) mulai diluncurkan. PPK ini
yang dalam perkembangan berikutnya kira-kira tahun 200-an disebut PNPM
Perdesaan. Jadi sejarah awal PNPM bisa dikatakan dimulai dengan model “proyek
bagi-bagi”. Sangat sedikit metode partisipasi terakomodir dalam PNPM awal.
[5] Pada era involutif ini
tidak sedikit petani yang lari mencari penghasilan di luar bidang pertanian
sebagai pemilik tanah karena tanah-tanah mereka dijual. Mereka kemudian bekerja
srabutan di desa sebagai buruh tani, buruh bangunan, dll (off-farm employment), atau lari ke kota bekerja di sektor-sektor
informal. Sejak saat itu maka arus migrasi orang desa ke kota-kota besar mulain
melonjak tajam.
[6] Bantuan,
hibah cuma-cuma, atau bantuan langsung hanya cocok untuk kondisi masyarakat
dalam bencana, bekas konflik dan kerusuhan, pasca perang, para pengungsi, atau
kepada masyarakat dalam kondisi situasi sosial yang sangat kritis.
[7] Disarikan
dari “Ekonomi Politik Pembaruan Desa”, oleh Sutoro Eko, makalah (belum diterbitkan) dalam Pertemuan
Forum VII, “Refleksi Arah dan Gerakan Partisipasi dan Pembaharuan Masyarakat
Desa di Indonesia”, yang digelar Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat
(FPPM), Ngawi, Jawa Timur, 15-18 Juni 2003.
[8] Disarikan
dari “Laporan Tahunan PNPM Mandiri Perdesaan 2009”: Ditjen PMD-Kepmendagri,
Jakarta, 2009. PNPM Mandiri diperkuat dengan beberpa
program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh berbagai
kementerian/sektor dan pemerintah daerah, antara lain seperti PNPM Generasi, Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), program Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) untuk pengembangan daerah tertinggal,
daerah pasca bencana maupun daerah konflik. Mulai tahun 2008, PNPM Mandiri
diperluas dengan Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah
(PISEW) untuk mengintegrasikan pusat‐pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya.
[9] Memang
begitulah community empowerment
(penguatan atau pemberdayaan masyarakat) dengan menggunakan pendekatan community driven development (CDD):
akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat, dari dan oleh masyarakat (desa).
Itilah “desa” lebih berkonotasi masyarakat, dan bukan “pemerintah desa”.
[10] Sebagai
contoh saja, banyak sekali Geuchik (Kepala Desa) di Aceh yang tidak tahu-menahu
program apa saja yang bekerja di desanya. “Mereka tahu-tahu datang dan
mengerjakan sesuatu”, begitu kira-kira kata para Geuchik itu. Para kepala desa
ini tidak tahu apa program yang sedang berjalan, siapa sasarannya, berapa lama,
berapa dananya, dll. Jika terjadi masalah baru para kepala desa ini didatangi
untuk diminta bantuan menyelesaikan persoalan. Saya kira hal demikian tidak
hanya terjadi terhadap para Geuchik di Aceh, namun kiranya hampir di seluruh
kepala desa di daerah-daerah lain.
[11] Sayang sekali
sepertinya belum pernah ada studi yang dilakukan berkaitan dengan relasi antara
Program PNPM mandiri dengan desa sebagai entitas pemerintahan. Studi-studi
tematik tentang program selalu mengenai aspek-aspek khusus di dalam program
tersebut, dan belum mencoba melihat program dalam relasi perspektif yang lebih
luas misalnya secara kultural atau demokrasi dan otonomi desa.
[12] Desentralisasi
budget anggaran memang menjadi semangat awal yang mendasari induk PNPM
sebelumnya, yaitu PPK. PPK, yang memakai lokus kecamatan, diluncur karena
keprihatinan mendalam sangat lambatnya anggaran sampai ke desa melalui
perencanaan dan pembangunan reguler. Itu sebabnya PPK yang kemudian dilanjutkan
oleh PNPM Mandiri berupaya melakukan desentralisasi anggaran pembangunan, namun
memakai jalur “proyek”. Sayangnya proyek mesti selalu diasumsikan bersifat
“sementara”, disisi lain desa (pemerintah) adalah langgeng sejak dulu, kini,
dan di masa datang.
[13] Lihat Panduan
Teknis Program dan atau Panduan Teknis Operasional PNPM Mandiri Perdesaa, PNPM
Mandiri Generasi, sebagian juga untuk PNPM Mandiri Daerah Tertinggal dan Khusus
(2007).
[14] Good governance dalam pengertiannya yang
paling mendasar adalah proses pengelolaan sebuah institusi (termasuk
anggota-anggotanya atau mesyarakat) yang dilandasi prinsip yang demokratis,
check and balance, pembagian peran dan tugas yang jelas, akuntabel dan
transparan secara baik.
[15] Lihat
“Ekonomi Politik Pembaruan Desa” oleh Sutoro Eko (Makalah belum diterbitkan). Makalah disajikan dalam Pertemuan Forum VII,
“Refleksi Arah dan Gerakan Partisipasi dan Pembaharuan Masyarakat Desa di
Indonesia”, yang digelar Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM),
Ngawi, Jawa Timur, 15-18 Juni 2003.
[16] Lihat buku “Pembaruan Tata-Pemerintahan Desa Berbasiskan Lokalitas dan
Kemitraan”, diterbitkan bersama antara PSP3IPB dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2006.
[17] Forum SKPD
(Satuan Kerja Perangkat Daerah), atau yang dulu dikenal dengan Dinas, adalah
forum perencanaan yang dihadiri oleh setiap SKPD di kabupaten bersangkutan,
termasuk kecamatan. Kaitannya dengan
perencanaan di tingkat kecamatan oleh PNPM Mandiri Perdesaan maupun PNPM DTK
adalah, bahwa kegiatan yang tidak bisa ditampung atau diputuskan oleh Musrenbang tingkat kecamatan, oleh pihak SKPD
Kecamatan bisa dibawa dalam Forum SKPD asal usulan tersebut memiliki kepentingan
atau memenuhi kebutuhan yang luas antar desa atau antar kecamatan.
[18] Sebagai
informasi saja, ada banyak sekali tim ad-hock tersebut dari bermacam-macam
PNPM, seperti misalnya UPK (Unit Pelaksana Kegiatan) baik di tingkat desa dan
kecamatan, PPKom (Pejabat Pembuat Komitmen) di tingkat kecamatan dan kabupaten,
TPK Desa (Tim Pemelihara Kegiatan), UPKD (Unit Pelaksana Kegiatan tingkat
Dinas), dll.
[19] Lihat buku “Training for Transformation”.