Belajar Terlepas Dari Budaya “Superioritas”
Ada yang menarik dari masyarakat kita, tetapi
sekaligus juga memprihatinkan, yakni bahwa secara sosio-ontologis masyarakat
kita bernuansa mudah “saling melawan”. Tawuran antar remaja, perang antar desa
atau kampung, tawuran antar kelompok preman, masyarakat membakar pos-pos
polisi, tawuran antar supporter hanya gara-gara sepakbola, dsb. Semuanya ingin
menunjukkan siapa yang lebih kuat, lebih superior.
Dan yang paling gress, paling baru, hampir saja
bangsa ini terbelah dua saling siap “tempur” antar kubu pasangan calon presiden
hanya gara-gara melaksanakan salah satu tonggak berdemokrasi, yaitu Pemilu.
Yang bermain saling bersitegang disitu bukan hanya para kroco di lapangan
tetapi juga para akademisi, politisi, para bekas jenderal, para usahawan dan
para tokoh agama pemihak kubu masing-masing. Struktur sosio-ontologisnya sama
dengan yang di atas, yaitu ingin unjuk gigi siapa lebih superior. Tentu saja
diikuti degan aspek-aspek pembuktian superioritas itu: upaya intimidasi,
propaganda, black-campaign,
konsentrasi masa, berteriak, himne-himne penyemangat, dll. Nyaris bentrok fisik
bagai perang antar suku.
***
Sikap “superioritas” yang berlebihan tidak dilandasi
wawasan civilization dan sikap
demokrasi yang matang, tak ubahnya adalah sikap “otoritarian”. Kecenderungan
sikap otoritarian dalam analisis-analisis kultural mirip dengan sikap-sikap
kepemimpinan primitif. Kepemimpinan primitif memiliki karakter merasa paling
kuat, paling berkuasa, one man show, sabdo pendhito-ratu, dan jika ada
perselisihan maka “perang” adalah pengobat rasa malu.
Konsekuensi dari karakter yang demikian pada
prinsipnya adalah “anti-kekalahan”. Kekalahan, dalam apapun bentukya, dianggap
tabu, merusak harga diri pribadi maupun kelompok, dan legowo merupakan hal yang teramat berat diwujudkan. “Bar ji bar beh” (Bubar siji bubar kabeh/Jika kalah maka semua harus bubar) adalah
kecenderungan sikap paling negatif yang sangat mungkin bisa muncul dan merusak
masyarakat berwarga negara. Dendam yang
tidak mengenal batas waktu, ruang, dan generasi adalah karakter struktur
berfikir masyarakat yang dipimpin oleh primitive-leadership
yang tak berkesudahan.
Sebagian besar Pilkada kita ujung-ujungya bermuara
pada kerusuhan: tawuran antar pedukung bakal calon Bupati, membakar
tempat-tempat publik, meporak-porandakan kantor KPUD, menuntut Pilkada ulang;
dsb. Setiap lima tahun sekali ketika Pemilu tiba, bangsa kita seakan-akan
terpecah-belah, berfaksi-faksi, suasana cenderung miris, ada teritorial
pendukung bakal calon presiden tertentu, terjadi pergerakan dan konsentrasi
masa dan aparat ABRI-POLRI, show of force
kelompok tertentu dimana-mana. Satu kampung saja bisa saling pecah. Satu
keluarga atau keluarga besar sangat mungkin saling tidak tegur-sapa. Kita mirip
memasuki jaman pra-kemerdekaan, meras tidak aman, seakan terintimidasi. Democratic-civilization seakan-akan
tidak pernah kita kenal. Orang saling menduga dan bertanya: Moga-moga tidak
terjadi kerusuhan!
Mengapa bisa begitu? Bukankah seharusnya masyarakat
kita merasa enjoy, gembira, karena
sedang melaksanakan “pesta” demokrasi dalam wadah Pemilu? Bukankah kita tengah
meyongsong “pemimpin” baru yang diharapkan dapat membawa perubahan baru yang
lebih baik untuk bangsa dan negara: kita semua?! Mengapa terjadi sebaliknya,
bahwa di dalam menjalani laku berdemokrasi dalam Pemilu justru perilaku
“superioritas” menyeruak begitu kuat membuat kita menjadi was-was, merasa tidak
aman, serta terjangkiti paranoida atas semua kemungkinan yang terjadi?
***
Lantas sejauh mana bangsa kita selama ini belajar
berdemokrasi? Apa yang terjadi dengan puluhan Pilkada yang sudah dilaksanakan
dan berkali-kali Pemilu yang sudah lalu sebagai proses berdemokrasi-bernegara?
Apa yang sedang terjadi dengan maraknya demonstrasi dan unjuk rasa dalam setiap
pelaksanaan Pilkada dan Pemilu?
Menarik untuk menyimak paper mengenai “Frans Fanon: Existentialist, Dialectician,
and Revolutionary” oleh LaRose T. Parris (The Journal of Pan African
Studies, vol.4, no.7, November 2011), yang mengutip teori Frans Fanon bahwa
di dalam masyarakat yang pernah terjajah atau terkolonisasi --apalagi bangsa
kita pernah dijajah Belanda + 350 tahun-- bisa muncul efek psikologis (individual) dan
institusional (sosial) yang termanifestasi dalam bentuk budaya inferioritas.
Budaya inferioritas, seperti dijelaskan LaRose T.
Parris, adalah manifestasi ontologis dari alienasi kultural dari masyarakat
terjajah yang karakteristiknya cenderung memiskinkan, menghindar, atau menyembunyikan eksistensi
kultur aslinya. Analisis LaRose T. Parris terhadap buku “Black Skin, White Mask” tentang kolonialisasi di Africa karya Frans
Fanon, sesungguhnya merupakan simbolisasi alienasi kultural di Afrika.
Yang ingin disampaikan mengenai alienasi kultural
pada masyarakat terjajah ini, jika dikaitkan dengan laku demokratisasi secara
umum di dalam bangsa kita dewasa ini, apalagi jika dikaitkan dengan Pilkada dan
Pemilu adalah, kita hanya dan sedang mencapai belajar memiliki pengetahuan
tentang demokrasi (knowledge of democratization)
sebagai penggambaran bahwa kita adalah bangsa yang mau demokratis. Tetapi
perangai, sikap, dan perilaku kita dalam bernegara dan berdemokrasi strukturnya
tidak jauh dari kecenderungan kepemimpinan primitif seperti era suku-suku dan
jaman raja-raja tempo dulu.
Itulah sebabnya kita mengepalkan tangan demokrasi
tetapi juga dengan memporak-porandakan tempat-tempat publik. Meneriakkan
demokrasi tetapi juga sambil memukul rival politik, kubu atau kelompok lain.
Membacakan dalil-dalil demokratisasi sambil merapalkan black-campaign, propaganda gelap, dan semacamnya. Dan ingat! Media
masa kita menayangkan visi jurnalisme demokratis, transparansi, dan obyektif
tetapi “dapurnya” menggodok opini-opini negatif.
Sepertinya bangsa kita belum bisa melepaskan
“superioritas” primitif dalam laku berdemokrasi [666]