Monday, March 13, 2017

Learning to Escape from Culture Superiority


Belajar Terlepas Dari Budaya “Superioritas”

Oleh: Emil E. Elip



Ada yang menarik dari masyarakat kita, tetapi sekaligus juga memprihatinkan, yakni bahwa secara sosio-ontologis masyarakat kita bernuansa mudah “saling melawan”. Tawuran antar remaja, perang antar desa atau kampung, tawuran antar kelompok preman, masyarakat membakar pos-pos polisi, tawuran antar supporter hanya gara-gara sepakbola, dsb. Semuanya ingin menunjukkan siapa yang lebih kuat, lebih superior.

Dan yang paling gress, paling baru, hampir saja bangsa ini terbelah dua saling siap “tempur” antar kubu pasangan calon presiden hanya gara-gara melaksanakan salah satu tonggak berdemokrasi, yaitu Pemilu. Yang bermain saling bersitegang disitu bukan hanya para kroco di lapangan tetapi juga para akademisi, politisi, para bekas jenderal, para usahawan dan para tokoh agama pemihak kubu masing-masing. Struktur sosio-ontologisnya sama dengan yang di atas, yaitu ingin unjuk gigi siapa lebih superior. Tentu saja diikuti degan aspek-aspek pembuktian superioritas itu: upaya intimidasi, propaganda, black-campaign, konsentrasi masa, berteriak, himne-himne penyemangat, dll. Nyaris bentrok fisik bagai perang antar suku.

***
Sikap “superioritas” yang berlebihan tidak dilandasi wawasan civilization dan sikap demokrasi yang matang, tak ubahnya adalah sikap “otoritarian”. Kecenderungan sikap otoritarian dalam analisis-analisis kultural mirip dengan sikap-sikap kepemimpinan primitif. Kepemimpinan primitif memiliki karakter merasa paling kuat, paling berkuasa, one man show, sabdo pendhito-ratu, dan jika ada perselisihan maka “perang” adalah pengobat rasa malu. 

Konsekuensi dari karakter yang demikian pada prinsipnya adalah “anti-kekalahan”. Kekalahan, dalam apapun bentukya, dianggap tabu, merusak harga diri pribadi maupun kelompok, dan legowo merupakan hal yang teramat berat diwujudkan. “Bar ji bar beh” (Bubar siji bubar kabeh/Jika kalah maka semua harus bubar) adalah kecenderungan sikap paling negatif yang sangat mungkin bisa muncul dan merusak masyarakat berwarga negara.  Dendam yang tidak mengenal batas waktu, ruang, dan generasi adalah karakter struktur berfikir masyarakat yang dipimpin oleh primitive-leadership yang tak berkesudahan. 

Sebagian besar Pilkada kita ujung-ujungya bermuara pada kerusuhan: tawuran antar pedukung bakal calon Bupati, membakar tempat-tempat publik, meporak-porandakan kantor KPUD, menuntut Pilkada ulang; dsb. Setiap lima tahun sekali ketika Pemilu tiba, bangsa kita seakan-akan terpecah-belah, berfaksi-faksi, suasana cenderung miris, ada teritorial pendukung bakal calon presiden tertentu, terjadi pergerakan dan konsentrasi masa dan aparat ABRI-POLRI, show of force kelompok tertentu dimana-mana. Satu kampung saja bisa saling pecah. Satu keluarga atau keluarga besar sangat mungkin saling tidak tegur-sapa. Kita mirip memasuki jaman pra-kemerdekaan, meras tidak aman, seakan terintimidasi. Democratic-civilization seakan-akan tidak pernah kita kenal. Orang saling menduga dan bertanya: Moga-moga tidak terjadi kerusuhan!

Mengapa bisa begitu? Bukankah seharusnya masyarakat kita merasa enjoy, gembira, karena sedang melaksanakan “pesta” demokrasi dalam wadah Pemilu? Bukankah kita tengah meyongsong “pemimpin” baru yang diharapkan dapat membawa perubahan baru yang lebih baik untuk bangsa dan negara: kita semua?! Mengapa terjadi sebaliknya, bahwa di dalam menjalani laku berdemokrasi dalam Pemilu justru perilaku “superioritas” menyeruak begitu kuat membuat kita menjadi was-was, merasa tidak aman, serta terjangkiti paranoida atas semua kemungkinan yang terjadi?

***
Lantas sejauh mana bangsa kita selama ini belajar berdemokrasi? Apa yang terjadi dengan puluhan Pilkada yang sudah dilaksanakan dan berkali-kali Pemilu yang sudah lalu sebagai proses berdemokrasi-bernegara? Apa yang sedang terjadi dengan maraknya demonstrasi dan unjuk rasa dalam setiap pelaksanaan Pilkada dan Pemilu?

Menarik untuk menyimak paper mengenai “Frans Fanon: Existentialist, Dialectician, and Revolutionary” oleh LaRose T. Parris (The Journal of Pan African Studies, vol.4, no.7, November 2011), yang mengutip teori Frans Fanon bahwa di dalam masyarakat yang pernah terjajah atau terkolonisasi --apalagi bangsa kita pernah dijajah Belanda + 350 tahun--  bisa muncul efek psikologis (individual) dan institusional (sosial) yang termanifestasi dalam bentuk budaya inferioritas.

Budaya inferioritas, seperti dijelaskan LaRose T. Parris, adalah manifestasi ontologis dari alienasi kultural dari masyarakat terjajah yang karakteristiknya cenderung memiskinkan,  menghindar, atau menyembunyikan eksistensi kultur aslinya. Analisis LaRose T. Parris terhadap buku “Black Skin, White Mask” tentang kolonialisasi di Africa karya Frans Fanon, sesungguhnya merupakan simbolisasi alienasi kultural di Afrika.

Yang ingin disampaikan mengenai alienasi kultural pada masyarakat terjajah ini, jika dikaitkan dengan laku demokratisasi secara umum di dalam bangsa kita dewasa ini, apalagi jika dikaitkan dengan Pilkada dan Pemilu adalah, kita hanya dan sedang mencapai belajar memiliki pengetahuan tentang demokrasi (knowledge of democratization) sebagai penggambaran bahwa kita adalah bangsa yang mau demokratis. Tetapi perangai, sikap, dan perilaku kita dalam bernegara dan berdemokrasi strukturnya tidak jauh dari kecenderungan kepemimpinan primitif seperti era suku-suku dan jaman raja-raja tempo dulu.

Itulah sebabnya kita mengepalkan tangan demokrasi tetapi juga dengan memporak-porandakan tempat-tempat publik. Meneriakkan demokrasi tetapi juga sambil memukul rival politik, kubu atau kelompok lain. Membacakan dalil-dalil demokratisasi sambil merapalkan black-campaign, propaganda gelap, dan semacamnya. Dan ingat! Media masa kita menayangkan visi jurnalisme demokratis, transparansi, dan obyektif tetapi “dapurnya” menggodok opini-opini negatif.

Sepertinya bangsa kita belum bisa melepaskan “superioritas” primitif dalam laku berdemokrasi [666]