KRONIKA:
"Agama Yang Diperalat"
Oleh: Emil E. Elip
Oleh: Emil E. Elip
Beberapa
bulan terakhir ini, sejak dimulainya pemilihan kepala daerah provinsi Jakarta,
agama tiba-tiba muncul menjadi momok menakutkan di mata masyarakat Indonesia.
Tiba-tiba toleransi di Indonesia yang begitu kuat ditulis dalam buku-buku teks
anak-anak sekolah sebagai ciri masyarakat Indonesia, hanyalah isapan jempol
belaka. Apa sebabnya dan apa dampaknya bagi pendidikan kewargaan (civil-cityzenship) masyarakat Indonesia.
Isu
utamanya adalah Ahok (ex-gubernur Jakarta) yang ikut pemilihan kepala daerah
lagi, dianggap menghina agama Islam (oleh kelompok fundamental tertentu) pada kampanye di kepulauan Seribu. Lantas
bergulirlah demonstrasi jalanan. Sidang-sidang hukum bergulir sudah 10 kali
yang tentu menghabiskan biaya, hanya untuk menentukan Ahok menghina agama Islam
atau tidak.
* **
Banyak
disinyalir semua ini hanyalah rekayasa politik. Kelompok tertentu fundamental Islam
itu, ditumpangi rival politik Ahok yang juga mengikuti pencalonan gubernur
Jakarta. Agama-politik-dan tatanegara, sebuah jalinan yang tak pernah mampu
diselesaikan oleh mashab demokratisasi sejak Abad Pertengahan. Realitasnya
ketika agama ditarik-tarik masuk dalam politik dan negara, jutaan manusia
penganut agama mati sia-sia. Tentu saya tidak hendak menyalahkan ajaran agama,
tetapi orang yang menganut agama. Bagaimana mungkin agama telah membuat orang,
dengan kapasitas yang mulia dalam masyarakat pun menjadi berjiwa nanar dan
irrasional. Pemanfaatan agama dalam perang dan pembunuhan manusia dapat kita di
Timur Tengah sampai detik ini, perang Salib, reconcista di Spanyol, dan banyak lagi-lagi. Jadi dengan demikian
benarkah agama itu “racun” bagi manusia sendiri?
***
Saya
tidak pernah percaya agama itu buruk, bahkan pengertian agama ini bisa
diperluas sampai suatu devosi antara umat manusia dengan seuatu yang “Maha
Besar” (yang disebut Tuhan) sejak jaman sebelum adanya monoteisme. Hindu,
Soroastan, dll dan agama monoteis apapun, mengajarkan inti dasar humanisme
sebagai individu maupun kelompok. Semua agama ini merumuskan struktur harmoni
dasar antara “Individu-Sesama-Tuhan”. Kamu tidak pernah akan kusuk dalam
devosimu kepada Tuhan jikalau kamu sering menggangu sesamamu. Mengganggu adalah
dalam pengertian yang luas.
Dalam
kasus Ahok saya percaya bahwa dia tidak menghina agama Islam. Saya juga yakin
teman, sahabat, dan saudara saya yang lain yang muslim sekalipun, banyak yang
berpendapat Ahok tidak menghina agama. Hukum (proses pengadilan yang sedang
berjalan) sedang diuji kapabilitasnya. Dibalik hukum ada manusia, dan manusia adalah
mahkluk paling lemah di antara sesamanya. Jadi manusia penegak hukum, dalam
kasus pengadilan penghinaan agama, sangat ambigu. Masih bisakah kita
mempercayai proses hukum dalam konteks suasana dualisme dan ambigu. Masih!
Yaitu membac “motif”. Gampangnya yaitu “apakah Ahok memiliki motif menghina agama”.
Motif selalu kontekstual dan memiliki kesejarahan. Kalau ada ahli agama (Islam)
yang sudah berpendapat Ahok tidak menghina agama, kalau ada ahli bahasan yang
sudah berkesimpulan konteks ucapan Ahok tidak bermaksud menghina agama, kalau
masyarakat dimana Ahok kampanye sendiri tidak merasa bahwa Ahok tidak menghina
mereka....lantas bagaimam na kita belum bisa menyimpulkan tentang kasus Ahok
ini?
***
Kasus
Ahok, dengan rekayasa politik agama, telah mengajarkan hal paling buruk dalam
etika berwarga negara dan bernegara. Pertama, demonstrasi menjadi media
pengadilan jalanan. Lihat saja taksi konvensional demo besar-besaran terhadap
taksi on-line. Tentu trend pengadilan jalanan semacam ini akan berlanjut dengan
persoalan-persoalan lain. Kedua, kita antar umat agama individual menjadi amat
takut bercanda atau sekedar bikin lelucon dengan tema-tema agama. Lelucon bisa
dibedakan dengan motif buruk. Sesungguhnya banyak sekali lelucon-lelucon yang bernuansa
perbedaan agama, dan bahkan Gusdur pun memiliki lelucon tentang itu. Semua itu
menyegarkan. Membikin kita makin dewasa mensikapi agama yang disandang kita
masing-masing. Ketiga, kasus politisasi agama dalam kasus Ahok telah
meninggalkan “api dalam sekam” antar etnis dan agama di Indonesia.
Gerakan-gerakan menumbuhkan kembali toleransi begitu gencar, yang membuktikan
bahwa mosaik hati rasa beragama antar individu di Indonesia sudah retak
berkeping-keping tinggal menunggu menyulut api kemarahan.
Namun
begitu saya masih memiliki harapan yang amat kuat bahwa kita adalah bangsa yang
harmonis. Sejarah dibeberapa kelompok masyarakat membutkikan hal itu, dengan
kehidupan toleransi dan harmonisasi yang kuat beratur-ratus tahun. Saya ingin
mengambil satu saja contoh di masyarakat Larantuka misalnya, dengan budaya
prosesi “Tuan Ma”. Prosesi budaya yang berbasis agama Katolik ini, jangan hanya
dilihat inklusif tapi harus dilihat konteks dalam masyarakat lebih luas. Umat muslim
ternyata ikut terlibat amat besar dalam proses itu untuk memastikan semuanya
aman, memastikan prosesnya berjalan dengan mulus, mereka bahkan berseragam
tertentu dan dengan sadar terlibat untuk melancarkan prosesi kudus bagi umat
Katolik tersebut.
Jangan
pernah bertanya mengapa umat muslim mau terlibat! Tetapi pertanyaan yang harus
muncul di dalam diri kita adalah mengapa mereka bisa, dan saya tidak atau belum
bisa melakukan hal serupa di masyarakat saya. Tidak perlu meniru apa yang
terjadi di Larantuka itu, sebab semua modal ada dalam diri kita pribadi
masing-masing (666).