Friday, March 24, 2017

Friction About Religion in Jakarta


KRONIKA:
"Agama Yang Diperalat"

Oleh: Emil E. Elip





Beberapa bulan terakhir ini, sejak dimulainya pemilihan kepala daerah provinsi Jakarta, agama tiba-tiba muncul menjadi momok menakutkan di mata masyarakat Indonesia. Tiba-tiba toleransi di Indonesia yang begitu kuat ditulis dalam buku-buku teks anak-anak sekolah sebagai ciri masyarakat Indonesia, hanyalah isapan jempol belaka. Apa sebabnya dan apa dampaknya bagi pendidikan kewargaan (civil-cityzenship) masyarakat Indonesia.


Isu utamanya adalah Ahok (ex-gubernur Jakarta) yang ikut pemilihan kepala daerah lagi, dianggap menghina agama Islam (oleh kelompok fundamental tertentu)  pada kampanye di kepulauan Seribu. Lantas bergulirlah demonstrasi jalanan. Sidang-sidang hukum bergulir sudah 10 kali yang tentu menghabiskan biaya, hanya untuk menentukan Ahok menghina agama Islam atau tidak.


* **

Banyak disinyalir semua ini hanyalah rekayasa politik. Kelompok tertentu fundamental Islam itu, ditumpangi rival politik Ahok yang juga mengikuti pencalonan gubernur Jakarta. Agama-politik-dan tatanegara, sebuah jalinan yang tak pernah mampu diselesaikan oleh mashab demokratisasi sejak Abad Pertengahan. Realitasnya ketika agama ditarik-tarik masuk dalam politik dan negara, jutaan manusia penganut agama mati sia-sia. Tentu saya tidak hendak menyalahkan ajaran agama, tetapi orang yang menganut agama. Bagaimana mungkin agama telah membuat orang, dengan kapasitas yang mulia dalam masyarakat pun menjadi berjiwa nanar dan irrasional. Pemanfaatan agama dalam perang dan pembunuhan manusia dapat kita di Timur Tengah sampai detik ini, perang Salib, reconcista di Spanyol, dan banyak lagi-lagi. Jadi dengan demikian benarkah agama itu “racun” bagi manusia sendiri?


***

Saya tidak pernah percaya agama itu buruk, bahkan pengertian agama ini bisa diperluas sampai suatu devosi antara umat manusia dengan seuatu yang “Maha Besar” (yang disebut Tuhan) sejak jaman sebelum adanya monoteisme. Hindu, Soroastan, dll dan agama monoteis apapun, mengajarkan inti dasar humanisme sebagai individu maupun kelompok. Semua agama ini merumuskan struktur harmoni dasar antara “Individu-Sesama-Tuhan”. Kamu tidak pernah akan kusuk dalam devosimu kepada Tuhan jikalau kamu sering menggangu sesamamu. Mengganggu adalah dalam pengertian yang luas.


Dalam kasus Ahok saya percaya bahwa dia tidak menghina agama Islam. Saya juga yakin teman, sahabat, dan saudara saya yang lain yang muslim sekalipun, banyak yang berpendapat Ahok tidak menghina agama. Hukum (proses pengadilan yang sedang berjalan) sedang diuji kapabilitasnya. Dibalik hukum ada manusia, dan manusia adalah mahkluk paling lemah di antara sesamanya. Jadi manusia penegak hukum, dalam kasus pengadilan penghinaan agama, sangat ambigu. Masih bisakah kita mempercayai proses hukum dalam konteks suasana dualisme dan ambigu. Masih! Yaitu membac “motif”. Gampangnya yaitu “apakah Ahok memiliki motif menghina agama”. Motif selalu kontekstual dan memiliki kesejarahan. Kalau ada ahli agama (Islam) yang sudah berpendapat Ahok tidak menghina agama, kalau ada ahli bahasan yang sudah berkesimpulan konteks ucapan Ahok tidak bermaksud menghina agama, kalau masyarakat dimana Ahok kampanye sendiri tidak merasa bahwa Ahok tidak menghina mereka....lantas bagaimam na kita belum bisa menyimpulkan tentang kasus Ahok ini?

***

Kasus Ahok, dengan rekayasa politik agama, telah mengajarkan hal paling buruk dalam etika berwarga negara dan bernegara. Pertama, demonstrasi menjadi media pengadilan jalanan. Lihat saja taksi konvensional demo besar-besaran terhadap taksi on-line. Tentu trend pengadilan jalanan semacam ini akan berlanjut dengan persoalan-persoalan lain. Kedua, kita antar umat agama individual menjadi amat takut bercanda atau sekedar bikin lelucon dengan tema-tema agama. Lelucon bisa dibedakan dengan motif buruk. Sesungguhnya banyak sekali lelucon-lelucon yang bernuansa perbedaan agama, dan bahkan Gusdur pun memiliki lelucon tentang itu. Semua itu menyegarkan. Membikin kita makin dewasa mensikapi agama yang disandang kita masing-masing. Ketiga, kasus politisasi agama dalam kasus Ahok telah meninggalkan “api dalam sekam” antar etnis dan agama di Indonesia. Gerakan-gerakan menumbuhkan kembali toleransi begitu gencar, yang membuktikan bahwa mosaik hati rasa beragama antar individu di Indonesia sudah retak berkeping-keping tinggal menunggu menyulut api kemarahan.


Namun begitu saya masih memiliki harapan yang amat kuat bahwa kita adalah bangsa yang harmonis. Sejarah dibeberapa kelompok masyarakat membutkikan hal itu, dengan kehidupan toleransi dan harmonisasi yang kuat beratur-ratus tahun. Saya ingin mengambil satu saja contoh di masyarakat Larantuka misalnya, dengan budaya prosesi “Tuan Ma”. Prosesi budaya yang berbasis agama Katolik ini, jangan hanya dilihat inklusif tapi harus dilihat konteks dalam masyarakat lebih luas. Umat muslim ternyata ikut terlibat amat besar dalam proses itu untuk memastikan semuanya aman, memastikan prosesnya berjalan dengan mulus, mereka bahkan berseragam tertentu dan dengan sadar terlibat untuk melancarkan prosesi kudus bagi umat Katolik tersebut.


Jangan pernah bertanya mengapa umat muslim mau terlibat! Tetapi pertanyaan yang harus muncul di dalam diri kita adalah mengapa mereka bisa, dan saya tidak atau belum bisa melakukan hal serupa di masyarakat saya. Tidak perlu meniru apa yang terjadi di Larantuka itu, sebab semua modal ada dalam diri kita pribadi masing-masing (666).