Friday, March 30, 2018

Empowerment Debate on Village Autonomy in Indonesia

Perdebatan Tentang Pemberdayaan Desa
Oleh: Emil E. Elip

Perdebatan tentang desa di Indonesia tidak pernah usai. Tidak hanya diperdebatkan, bahkan pemanfaatan, politisasi, eksperimentasi tentang desa tidak pernah usai, datang dan silih berganti, di desa-desa di Indonesia sejak jaman kerajaan-kerajaan kuno. Agar pengelolaan dan pengawasan terhadap desa efisien, juga penarikan pajak bumi dapat dihitung dengan relatif tepat, maka diangkat "bekel" (menguasai beberapa desa/kepala desa), dengan target luasan daerah kekuasaan dihitung dengan "cacah". Cacah adalah jumlah rumah tangga total dari beberapa desa dalam teritorial kekuasaan seorang bekel. Dengan mengetahui jumlah (cacah) rumah tangga di wilayahnya, seorang bekel dapat memperhitung berapa besar upeti yang dapat diberikan kepada "sang raja". Kekuasaan birokrat lokal seperti ini nampaknya sudah berjalan sejak jaman Majapahit sampai kerajaan Mataram.
Image result for fasilitas desa
Pembangunan di desa menggunakan Dana Desa (uang negara/APBN)

Dari gambaran ini maka nampaknya tidak ada desa yang absolut otonom, entah rajanya lalim atau baik hati. Membayangkan desa yang sungguh otonom, mengatur diri sendiri dengan intervensi luar seminimal mungkin, maka akan melangkah membayangkan eksistensi desa sebelum masa-masa kerajaan di Nusantara. Masa itu adalah masa suku-suku, masa nomaden, food and gathering, masa dimana konteks tata-pemerintahan mengambil bentuknya yang paling minimalis, paling rendah mekanisme dan kompleksitasnya, sebuah masa yang sungguh otonom.

Pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang, maka tampak jelas bahwa desa tidak ada yang otonom. Desa merupakan sasaran pajak, sasaran penyedia para kuli, sasaran penyumbang upeti hasil bumi baik untuk para penjajah maupun untuk gerilyawan pribumi pejuang kemerdekaan. Desa juga menjadi sumber adu domba, sehingga antar desa saling serang oleh karena introdusir paham sosial dan paham ketatanegaraan kelompok-kelompok tertentu. Para elite-elite kerajaan dan raja diadudomba (politik devide-atimpera), maka rakyatnya yang berada di desa-desa juga saling terpecah-pecah bahkan sangat mungkin saling bermusuhan satu sama lain. Maka pada hakekatnya, secara sosiologis, rakyat yang berada di desa-desa dengan para elite kerajaan dan raja adalah satu kesatuan. Pada kondisi-kondisi tertentu rakyat bisa saja bermusuhan atau melawan suatu rezim pemerintahan kerajaan. Namun toh setelah raja yang mungkin dianggap lalim itu dapat digulingkan atau terbunuh, tetap akan dipilih raja baru sebagai pemimpin pemerintahan kerajaan.

Ketika jaman pra-kemerdekaan, dan ketika Soempah Pemoeda di laksanakan, dimana seluruh perwakilan pemuda dari wilayah-wilayah di Indonesia, baik Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, dll menyatakan satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air, maka seluruh wilayah Indonesia adalah satu. Apakah desa-desa tidak termasuk di situ? Pada tanggal 17 Agustus 1945 kita menyatakan kemerdekaan sebagai Negara, apakah desa-desa di dalam wilayah di Indonesia tidak ikut di dalamnya? Dengan peristiwa sejarah bangsa seperti itu, jelaslah bahwa desa-desa di seluruh nusantara dengan sendirinya menjadi dibawah Negara Indonesia. Itulah nafas etis dari NKRI. NKRI bukanlah negara federasi dari pemerintah desa, pemerintah kabupaten, atau pemerintah provinsi. Jika ada pemikiran di era sekarang ini, bahwa desa lebih otonom, bahwa desa lebih dulu ada dari pada negara Indonesia dan oleh karena itu desa jangan direcoki/diintervensi oleh negara, pemikiran ini menjadi cukup aneh, pemikiran ini a-historis. Akumualatif dari pemikiran-pemikiran semacam itu berpotensi menumbuhkan gambaran inkoordinatif, pra-separatisme, ide pemisahan, dll. Kalau jaman dulu (jaman kerajaan-kerajaan) hal itu disebut "kraman" (balelo mencoba memisahkan diri atau bahkan memakai cara melawan penguasa kerajaan).

Debat Tentang Desa Dewasa Ini

Jaman Orde Lama Sukarno, sampai eranya Suharto, Gus Dur, Megawati, Habibi, dan SBY, desa tidak menarik untuk dibahas karena memang kurang diperhatikan dan relatif dibiarkan saja. Jaman-jaman itu memang visi pemerintah tentang desa amatlah artifisial dan verbal. Pembangunan di desa, kapasitas pemerintah desa, korupsi di desa, kemiskinan di desa, standar hidup dan pendidikan desa, kacau balau. Para cendekiawan dan aktivis pemberdayaan lantas menghujat. 

Pada era pemerintahan Jokowi-JK, desa memiliki perhatian yang teramat besar karena Jokowi memang ingin membangun dari desa, apalagi dari desa-desa di lokasi-lokasi terpencil, wilayah perbatasan, dan desa-desa di pulau-pulau terluar. Maka Dana Desa diberikan. Tentu saja oleh karena memakai "uang negara", dana desa itu harus dipertanggungjawabkan dengan prosedur dan mekanisme yang baku, dimana laporan keuangan desa menjadi salah satu laporan krusial yang akan diaudit secara ketat.

Bahwa masih sangat banyak desa yang belum mampu merencanakan pembangunan desa dengan baik. Banyak desa yang belum memiliki kapasitas mengelola dan melakukan pelaporan keuangan desa secara baik. Banyak desa masih memiliki kendala-kendala lain. Harap dimaklumi karena memang baru sejak pemerintahan Jokowi desa-desa ini dipacu untuk dapat berperan sebagai tatakelola pemerintah desa secara lebih baik, yang mirip negara. Semua pihak seharusnya dan selayaknya membantu melakukan percepatan pembangunan di desa dalam segala bidang termasuk kapasitas pemerintahan desa, dan jangan mengambil jarak untuk menghembuskan pemikiran yang kounter-produktif, mengkritik saja, bahkan menghujat.

Ada sekumpulan pemikiran pada era dewasa ini, yang pada intinya hendak menyatakan bahwa desa-desa sekarang ini sama sekali tidak otonom. Negera terlalu mengintervensi banyak hal, termasuk pengelolaan keuangan desa khususnya uang Dana Desa. Pemikir-pemikir ini nampaknya ingin mengembalikan desa secara lebih otonom, tetapi uang untuk desa (Dana Desa, Dana Bagi Hasil, Dana Bantuan Provinsi, dan Dana Bantuan Kabupaten) mohon tetap diberikan. Mungkin kalau dibahasakan secara lebih sederhana yaitu "Kasih uang ke desa karena itu memang tanggungjawab negara, tetapi jangan sangat mengatur terlalu banyak pemanfaatan uang dan pelaporannya, biarlah kami pertanggungjawabkan kepada orang desa".  

Pemikiran di atas mengundang dilema. Kalau desa tidak disubsidi uang dari negara, kepala desa, orang desa, para cendekiawan lantas ngamuk mengatakan negara tidak tahu diri terhadap desa. Tetapi jika disubsidi dengan Dana Desa dan harus melakukan laporan keuangan, mereka menolak dengan orientasi alasan bahwa uang negara itu memang sudah selayaknya diberikan untuk desa (sebagai balas jasa?).

Oposisi, katakanlah begitu, dari pemikiran di atas yaitu sebuah pendapat bahwa sudah seharusnya desa mempertanggungjawabkan pelaporan kuangan desa sesuai mekanisme yang berlaku, karena desa telah menggunakan uang negara. Uang negara bisa jadi termasuk dari "pajak" masyarakat baik pajak penghasilan, pajak usaha, pajak tempat rekreasi, dsb. Audit atas pertanggungjawaban pemanfaatan uang negara mesti harus dilakukan. Oleh karena itu wajar jika desa dicek oleh lembaga Inspektorat atau bahkan BPK. Apa jadinya desa menggunakan uang negara tetapi, katakanlah, dibebaskan dari mekanisme pelaporan penggunaan anggaran. Apabila desa dibebaskan atau dilonggarkan dalam pertanggungjawaban uang negara, maka sesungguhnya kita sedang mengamini atau membiar peluang korupsi terjadi didesa-desa di Indonesia.

Data tahun 2016 menunjukkan jumlah desa sebanyak 74.754 desa (tidak termasuk kelurahan). Jika 60%-nya saja diindikasi terjadi korupsi maka jumlah itu adalah sekitar 75.000 desa. Bayangkan betapa besarnya uang negara yang dimungkinkan untuk dikorupsi di desa. Bagaimana kita akan mengurus APBN negara ini jika uang negara itu habis di desa. Dan tindak korupsi tentu inkonsisten dengan harapan akan pembangunan di desa yang menyejahterakan masyarakat desa.

Saya tidak habis pikir, tidak masuk di nalar saya, bahwa desa diharapkan otonom penuh termasuk dalam kewajiban pengelolaan dan pelaporan keuangan sesuai mekanisme yang berlaku. Saya yakin bahwa "melonggarkan" penggunaan, pengelolaan, dan pelaporan keuangan desa, termasuk pemakaian Dana Desa, tidak akan memberdayakan desa dan menyejahterakan masyarakat. Memang masih sangat banyak dan mendalam kendala yang ada di desa dalam proses pemberdayaan desa. Tetapi semua itu bersifat konsep teknis tentang pemberdayaan yang diterapkan di desa. Misalnya saja tentang Panduan Prioritas Penggunaan Dana Desa, yang sejauh ini bersifat menyeragamkan kebutuhan desa per desa. Bagaimana mungkin desa yang jumlahnya puluhan ribu tersebut akan diseragamkan kebutuhannya. Belum lagi desa-desa tersebut memiliki tipologi dan ketersediaan fasilitas yang amat beragam, misalnya desa pegunungan, desa dataran rendah, desa persisiran, atau desa di pulau-pulau terpencil, desa pedalaman, desa kawasan pinggiran hutan, dll.

Jadi sekali lagi ingin ditegaskan di sini, bahwa entitas desa adalah bagian dari entitas nasional/negara, yaitu negara Indonesia. Cara berfikir tentang entitas desa yang sejajar dengan entitas negara tentu sangat membahayakan dan kacau. Oleh karena itu otonomi desa tidak bisa disamakan dengan dan atau setingkat negara. Otonomi desa tentu tetap di dalam "pengelolaan" (istilah yang bisa dipakai untuk mengganti istilah "kontrol" yang dipandang represif) negara Indonesia. Jadi upaya mengembalikan otonomi desa seperti desa-desa jaman sebelum adanya kekuasaan raja-raja, adalah cara berpikir konteks ketatanegaraan yang "aneh" dan teramat emosional. [Emil369]