Friday, March 30, 2018

Empowerment Debate on Village Autonomy in Indonesia

Perdebatan Tentang Pemberdayaan Desa
Oleh: Emil E. Elip

Perdebatan tentang desa di Indonesia tidak pernah usai. Tidak hanya diperdebatkan, bahkan pemanfaatan, politisasi, eksperimentasi tentang desa tidak pernah usai, datang dan silih berganti, di desa-desa di Indonesia sejak jaman kerajaan-kerajaan kuno. Agar pengelolaan dan pengawasan terhadap desa efisien, juga penarikan pajak bumi dapat dihitung dengan relatif tepat, maka diangkat "bekel" (menguasai beberapa desa/kepala desa), dengan target luasan daerah kekuasaan dihitung dengan "cacah". Cacah adalah jumlah rumah tangga total dari beberapa desa dalam teritorial kekuasaan seorang bekel. Dengan mengetahui jumlah (cacah) rumah tangga di wilayahnya, seorang bekel dapat memperhitung berapa besar upeti yang dapat diberikan kepada "sang raja". Kekuasaan birokrat lokal seperti ini nampaknya sudah berjalan sejak jaman Majapahit sampai kerajaan Mataram.
Image result for fasilitas desa
Pembangunan di desa menggunakan Dana Desa (uang negara/APBN)

Saturday, March 3, 2018

Hoes, Tracctor, and The Farmer

Reflection: 
Hoes, Tractor….and the Farmer

The young farmer entrust “hoe” to his friend farmers. “I’m going to the city, can not live like this again. I do want to find another fortune,” he said, handing the spade. Decades passed, the Farmers tie back to the village, looking for his old friends, and say: “Where I leave the old hoes yet. I want to replace it with a tractor,” he said. His friend and fellow farmers take handed: “What did you replace it with a tractor. It is no longer the lands of farmers here,” said his friend. “I’m with the others already sold the land, now we all construction workers for those buildings own by people from city build in our land ….”. (Emil 666)
Image result for petani dan tanah

55Th of My Life

Reflection:
55Th of My Life

Today, March 3, 2018, is the 55th day of my life. It's hard for me to judge and say whether I am a successful or a failure. If you want to compare with my junior or high school friends, I seem to be among the less successful. Many things I have not been able to achieve in terms of financial, work, material, and burden are still heavy to develop my children.

But life is very relative. Everyone has their own failures and successes. Everyone must experience pain and joy differently. Everyone is very subjective for his own life. It is therefore difficult to compare with each other. All we can do is be grateful for what we've got, and learn from others to improve ourselves as much as we can. (Emil369)


Please try another fortune on here!

Friday, March 2, 2018

The Leadership Process for Change



Kisah Tentang Ayam dan Telor
“Proses Kepemimpinan Yang Mengubah”:
Upaya Praksis Kepemimpinan Dalam Kerja Pemberdayaan

Oleh: Emil. E. Elip



Latar Belakang

Kepemimpinan (leadership) telah menjadi semacam pengetahuan yang diadopsi dan diterapkan ke berbagai segi kegiatan di dalam kehidupan. Dalam bidang sosial-kemasyarakat, bidang bisnis, perusahaan-perusahaan, organisasi kepartaian dan organisasi swadaya masyarakat, wilayah-wilayah sistem pemerintahan dari monarki sampai sistem negara republik, bidang organisasi keagamaan, dan lain sebagainya, membutuhkan “kepemimpinan”. Bahkan di dalam sebuah keluarga, dibutuhkan praktik-praktik kepemimpinan. Tidak terkecuali juga, program-program pemberdayaan masyarakat telah mengolah dan menerapkan praksis kepemimpinan tersebut.

Praktik kepemimpinan dimasing-masing institusi, kelembagaan, bidang-bidang pengorganisasian kerja tentu saja nampak berbeda-beda satu sama lain, yang sangat dipengaruhi rohvisi, misi, dan tujuan lembaga/institusi tersebut dibentuk. Dalam perjalanannya masing-masing lembaga tersebut, bukan tidak mungkin bahwa praktik kepemimpinan yang dikembangkan menjadi amat tidak jelas arahnya, tidak efektif dalam membimbing gerak lembaga, oleh karena tekanan-tekanan target atau tuntutan-tuntutan birokratis-administratif-prosedural yang terus menerus menekan.

The Rural Village Act Regulation and Social Change



Desa, UU Desa No.6/2014, dan Perubahan Sosial

Oleh: Emil E. Elip


Sudah ratusan tahun sejak jaman penjajahan Belanda, “desa” menjadi ajang pemikiran, arena eksplorasi dan eksploitasi, ajang perebutan, pergolakan politik, dll. Sebagian para ahli resah tidak rela jika desa dianggap replikasi dan bagian dari kekuasaan negara, sebagian ahli lain terutama ahli teknokrasi pembangunan sangat bersemangat bahwa desa merupakan bagian dari negara NKRI.

 

Sebagian ahli yang tidak rela jika desa dianggap bagian dari negara secara struktural mengambil alasan bahwa pada jaman Belanda desa-desa sudah diakui otonominya oleh Belanda, bahkan adat istiadatnya dibiarkan berkembang. Kita harus akui bahwa para birokrat Belanda yang dikirimkan ke Indonesia pada penjajahan dulu adalah para sarjana yang sangat ahli dalam studi-studi sosial. Mereka paham betul dan sangat tepat memotret secara antropologis maupun sosiologis sendi-sendi kebudayaan masyarakat Indonesia di desa-desa, dan karena itu mereka tahu betul bagaimana caranya “melemahkan” dan memecah belah antara rakyat jelata, para priyayi keraton/raja, serta para elit adat dan agama.

 

Agar “kehausan” para penjajah Belanda menguasai aset-aset di tingkat grassroot ini bisa terjadi secara langsung, dan tidak direcoki oleh para raja yang kekuasaannya tidak terbatas, maka “desa” harus sungguh-sungguh mereka pahami dan nampaknya mereka bisa menemukan kekuatan entitas desa sebagai teritorial maupun otonomi. Oleh karena itu kemudian dihembuskan desa sebagai entitas otonom dan bermartabat, agar memiliki kekuatan melawan raja mereka. Jika sebuah desa tak mampu ditahklukkan secara sosiologis, maka yang dilakukan adalah sebaliknya yaitu pusat kekuasaan raja yang didekati agar para raja lokal menekan desa dan rakyatnya sendiri. Ini bisa dilakukan karena para sarjana Belanda tersebut pun sangat paham kultur para priyayi kerajaan beserta simbol-simbol budaya kekuasaannya.

 

“Kepongahan” kita adalah apa yang sudah ditemukan oleh Belanda itu kita anggap “bagai pahlawan” bahwa Belanda-pun menghormati adat istiadat dan otonomi desa. Para sarjana “pongah” ini kemudian membayangkan suatu kondisi dimana negara dan pemerintah dewasa ini seyogyanya dapat meniru sikap pemerintah Belanda atas otonomi dan kekhasan desa.

 

Coffee, Aceh Cultural and Social Context



Kopi: Konteks Kultur dan Sosialitas Aceh
Oleh: Emil E. Elip

Beberapa  gambaran  dilematis  kopi  dan  petani kopi adalah sebuah kenyataan yang mungkin terasa sangat tidak adil bagi Anda. Ketidak adilan ini serasa semakin tajam jika Anda meminum kopi dari tanah Gayo di wilayah masyarakat Gayo-Aceh, merasakan nikmatnya[1] ditemani landscape yang indah atau hangatnya api unggun di sore hari, atau melihat bagaimana para petani menunggui dan menghidupi keluarganya dari kopi, maka sungguh terasa ketidak adilan itu hadir tidak hanya mengusik ”dikepala” namun meremas tepat diulu hati kita.

 Image result for pemandangan gayo
Tetapi  sudahlah,  kita  tidak  hendak  membahas kopi dari sudut ekonomi semata dan tatakelola perdagangannya yang timpang, yang memang nampaknya sangat ruwet. Yang perlu kita hargai sebagai energi kebudayaan adalah, bahwa kopi telah menjadi media sosialitas masyarakat Gayo dan masyarakat Aceh umumnya. Lebih dari itu, apapun pahit getirnya dalam konteks ekonomi, kopi telah menjadi  alat  bertahan  hidup (strugling  of  life)  orang Gayo menjaga keluarganya bertumbuh dari jaman ke jaman, entah bagaimanapun sulitnya hidup dan beratnya merawat kebun-kebun kopi.

Marilah kita sedikit meninjau kopi ini dari sudut sosio-kultural yang agak luas, tidak dalam komunitas Gayo saja tetapi juga komunitas Aceh pada umumnya (lihat terbitan dari Aceh sampai Loknga). Apakah kopi di kedai-kedai kopi di wilayah Aceh Nangroe Darussalam sama saja? Kalau Anda minum kopi di kedai-kedai kopi di kota-kota pesisir seperti Banda  Aceh,  Biereun, Lhokseumawe,  Langsa, Meulaboh,   dll   maka   rasa   kopinya   dikenal   oleh khalayak umum sebagai cita rasa kopi Ule Kareng yang juga kesohor di sana. Namun kalau Anda minum kopi dikedai-kedai  di  Bener  Meriah,  Takengon,  dan Kutacane maka bukan cita rasa Ule Kareng yang Anda temui, tetapi cita rasa kopi Gayo yang hitam dan lebih keras. Di tiga kota tersebut terakhir cita rasa kopi Ule Kareng bisa juga Anda temui khususnya di kedai-kedai kopi yang dibuka oleh orang Aceh pesisiran.


A Culture of Alor Island-Indonesia

Berkumpul dan Kebersamaan
(Tidak Mengenal Mati atau Hidup)
Oleh: Emil E. Elip


Pulau Alor terletak di Bagian Timur Indonesia, tepatnya di wilayah Provinsi NTT (East Indonesia Province). Saya beberapa kali berkesempatan berkunjung ke Alor, yang ibu kotanya di Kota Kalabahi, dalam rangka beberapa kegiatan penanganan bencana yang pernah terjadi di pulau ini.
 Image result for lokasi pulau alor
Sebagai seseorang yang suka menelisik atau mengamati budaya dan kebiasaan lokal di lokasi-lokasi yang saya kunjungi di seantero Indonesia, tentu saya mencari-cari kesempatan untuk bertandang dan bergaul dengan komunitas lain di luar kebiasaan rutin kegiatan kebencanaan. Saya tertarik dan mulai 'tergelitik" melihat banyak sekali pemakaman keluarga yang ada di pekarangan-pekarangan rumah di Alor.