Friday, March 2, 2018

Coffee, Aceh Cultural and Social Context



Kopi: Konteks Kultur dan Sosialitas Aceh
Oleh: Emil E. Elip

Beberapa  gambaran  dilematis  kopi  dan  petani kopi adalah sebuah kenyataan yang mungkin terasa sangat tidak adil bagi Anda. Ketidak adilan ini serasa semakin tajam jika Anda meminum kopi dari tanah Gayo di wilayah masyarakat Gayo-Aceh, merasakan nikmatnya[1] ditemani landscape yang indah atau hangatnya api unggun di sore hari, atau melihat bagaimana para petani menunggui dan menghidupi keluarganya dari kopi, maka sungguh terasa ketidak adilan itu hadir tidak hanya mengusik ”dikepala” namun meremas tepat diulu hati kita.

 Image result for pemandangan gayo
Tetapi  sudahlah,  kita  tidak  hendak  membahas kopi dari sudut ekonomi semata dan tatakelola perdagangannya yang timpang, yang memang nampaknya sangat ruwet. Yang perlu kita hargai sebagai energi kebudayaan adalah, bahwa kopi telah menjadi media sosialitas masyarakat Gayo dan masyarakat Aceh umumnya. Lebih dari itu, apapun pahit getirnya dalam konteks ekonomi, kopi telah menjadi  alat  bertahan  hidup (strugling  of  life)  orang Gayo menjaga keluarganya bertumbuh dari jaman ke jaman, entah bagaimanapun sulitnya hidup dan beratnya merawat kebun-kebun kopi.

Marilah kita sedikit meninjau kopi ini dari sudut sosio-kultural yang agak luas, tidak dalam komunitas Gayo saja tetapi juga komunitas Aceh pada umumnya (lihat terbitan dari Aceh sampai Loknga). Apakah kopi di kedai-kedai kopi di wilayah Aceh Nangroe Darussalam sama saja? Kalau Anda minum kopi di kedai-kedai kopi di kota-kota pesisir seperti Banda  Aceh,  Biereun, Lhokseumawe,  Langsa, Meulaboh,   dll   maka   rasa   kopinya   dikenal   oleh khalayak umum sebagai cita rasa kopi Ule Kareng yang juga kesohor di sana. Namun kalau Anda minum kopi dikedai-kedai  di  Bener  Meriah,  Takengon,  dan Kutacane maka bukan cita rasa Ule Kareng yang Anda temui, tetapi cita rasa kopi Gayo yang hitam dan lebih keras. Di tiga kota tersebut terakhir cita rasa kopi Ule Kareng bisa juga Anda temui khususnya di kedai-kedai kopi yang dibuka oleh orang Aceh pesisiran.