Tuesday, August 18, 2020

COVID-19 and Reflection on The Aspec of Life

COVID-19 DAN REFLEKSI ATAS ASPEK KEHIDUPAN

Oleh: Emil E. Elip

 

COVID-19 sungguh merupakan pandemi yang luar biasa. Sejak virus itu menyebar, semua negara menerapkan social-distancing dan physical distancing. Kedua kata itu seperti istilah sederhana saja, tetapi ternyata dampak di masyarakat di semua negara sungguh luar biasa. Hampir-hampir merusak berbagai segi kehidupan seperti perekonomian masyarakat, interaksi sosial, pencarian bentuk-bentuk budaya baru, kebiasaan melakukan ritual agama, menghancurkan pariwisata, jasa transportasi, pola makan, tatanan baru berkumpul, pola migrasi penduduk, bisnis perhotelan, bisnis pertunjukan dan berkesenian, bahkan mungkin pencarian baru atas arti hidup dan spiritualitas. Tulisan ringkas ini ingin menggambarkan dan sebisa mungkin menganalisa beberapa hal paling mendasar yang terjadi di masyarakat, yang memerlukan pencarian pemaknaan baru.

Interaksi Sosial Yang Mau Seperti Apa?

Sudah sejak lama para filsuf dan pakar sosial intinya mengatakan, bahwa  interaksi sosial merupakan sendi dasar perilaku manusia untuk saling berhubungan/berelasi, terutama dalam bentuk fisik untuk bertemu dan berbincang. Kata Aristoteles manusia adalah “hewan sosial”. Kita bisa tumbuh dengan baik karena mengorganisasikan diri kita sendiri ke dalam kelompok dan bekerja sama[1]. Melalui interaksi sosial itu sekelompok orang bisa membahas bisnis, politik tatanegara, merencanakan sesuatu, mempererat tali persaudaraan, bahkan juga berkampanye, demo, berperang, melaksanakan ibadah agama bersama-sama, menggali teori-teori tentang kehidupan, dll.

Semua interaksi sosial dalam bentuk “lama” itu, rusak (kalau tidak boleh disebut hampir hancur) oleh pandemi COVID-19. Orang tidak boleh berkerumun atau berkumpul, dalam berbagai bentuknya seperti gotong-royong, arisan, rapat-rapat RT atau RW, berseminar/workshop, dan pelatihan, bahkan banyak kasus di berbagai desa atau perumahan orang “dilarang masuk” atas nama demi mencegah penyebaran virus COVID-19. Gereja, masjid, Vihara atau tempat-tempat lain dimana orang ingin melaksanakan ritus keagamaan atau kepercayaannya, sementara ditutup. Event-event budaya dan upacara-upacara adat, terpaksa dihentikan. Pertanyaannya, lantas dimana lagi atau kemana lagi orang akan melakukan “interaksi” sosial. Dengan cara apa orang-orang ingin saling memberikan-menerima “makna hidup”, yang sudah dilakukan berabad-abad itu.

Ada ketakutan sosial yang amat berlebihan karena pandemi COID-19 ini, yaitu orang saling menarik diri. Orang atau saudara sakit, sedikit atau sangat dibatasi jumlah penjenguknya. Kematian sedikit yang melayat. Sesama saudara saja kalau bertemu harus duduk saling berjauhan. Dan masih banyak contoh lain. Orang cenderung menarik diri atau menghindari “berkelompok”. Padahal kata Roy Baumaester[2], dalam bukunya Culture Animal, manusia lebih dari hewan karena memanfaatkan kekuatan “budaya” untuk menjalani hidup lebih baik. Budaya adalah cara yang baik untuk menjadi sosial.

Nampaknya dan itu yang sedang dilakukan masyarakat, mereka memanfaatkan teknologi komunikasi melalui internet dan HP. Melalui media itu antar manusia masih bisa saling bersapa, saling menguatkan dalam masa “pageblug” pandemi COVID-19. Bahkan orang bisa saling bertemu muka untuk berbincang dan berdiskusi melalui applikasi webinar. Sejauh yang pernah saya ikuti, metode webinar ini pun mutunya tidak akan pernah mampu sebanding dengan jika kita melaksanakan seminar, lokakarya, atau pelatihan seperti yang “lama”.  Belanja on-line menjadi tranding baik untuk beli pakaian, sayur-mayur, bumbu dapur, daging, dll. Pada sisi yang lain upaya pengumpulan dana sosial atau dana bantuan pun masih bisa dilakukan, dan tidak sedikit pula yang mampu terkumpul. Tetapi kalau diamati secara cermat, toh akhirnya orang tidak bisa menghindari interaksi cara lama “face to face” untuk melaksanakannya. Belanja on-line butuh tatapmuka para pengantar, para pekerja pensupplay barang, atau-orang-orang yang mengimplementasikan “dana bantuan” yang sudah terkumpul kepada para sasaran bantuannya tetap butuh interaksi.

Sudah semacam tidak kuat lagi untuk tidak saling “berinteraksi” dengan cara lama. Itulah kesimpulan sementara yang saya tangkap dari apa yang terjadi akhir-akhir ini, sejak New Normal diterapkan. Konsep New Normal tidak berarti bahwa semuanya sudah pulih. Dalam banyak sekali informasi dan anjuran, New Normal tetap memungkinkan terjadinya penyebaran virus COVID-19. Buktinya di banyak daerah kasus positif COVID-19 tetap merambat naik.

Nampaknya orang-orang sudah tidak peduli!!! Kini keinginan untuk saling berinteraksi jauh lebih kuat dari pada sekedar ketakutan atas penyebaran virus COVID-19 dan mendekam di rumah saja. Maka pasar-pasar tradisional ramai kembali. Tempat-tempat nongkrong apapun bentuknya, mau kaki lima, cafe, warung kopi tenda, mulai dipenuhi orang. Jalan-jalan pun sudah penuh kendaraan. Di tempat manapun, ditempat-tempat umum, yang dulu selalu ada tempat cuci tangan dan sabun, kini masih tetap ada tetapi orang-orang sudah mulai malas cuci tangan.

Meskipun pandemi COVID-19 hampir-hampir merusak pola interaksi sosial cara lama, namun saya tidak menemukan pola tatanan budaya baru – masih pada tingkat perilaku saja-- meski semakin maraknya interaksi sosial melalui komunikasi internet dan HP. Tanpa terjadinya pandemi COVID-19 orang tetap akan semakin banyak berinteraksi melalui internet dan HP karena ada keasyikan tersendiri di sana. Yang jelas jika COVID-19 ini masih cukup lama selesai, akan ada banyak orang mengidap “gangguan jiwa” di masa datang dengan berbagai tingkatan dan bentuknya. Ini bisa saja terjadi karena orang terpaksa atau dipaksa bertingkah laku “individualis” oleh keadaan.  

Berperilaku Individualis, Tidak Memuaskan

Anak saya lebih senang datang kesekolah bersama teman-temannya, katanya. Dia seperti rindu bermain dan bercanda dengan teman-temannya di sekolah. Sudah sangat jenuh mengerjakan tugas-tugas melulu melalui HP, internet, maupun Google Classroom. Mungkin juga orang mulai jenuh bekerja dari kost atau rumah (Work from Home). Saya menduga mungkin banyak hal terkait pekerjaan yang tidak segera bisa tuntas didiskusikan atau dibahas. Orang juga mungkin mulai merasa seperti orang “gila” duduk di cafe sendiri atau hanya berdua sambil menikmati kopi. Orang juga mulai jengah pergi ke mana-mana hanya sendirian atau paling-paling berdua, sementara biasanya bisa bersama teman-temannya lebih banyak. Orang-orang mungkin mulai “gila” tidak atau belum ada kesempatan berekreasi bersama naik gunung, camping, main bola, dll.

Berperilaku sendiri, melakukan apa-apa sendiri,  “katakanlah individualis” ternyata tidak memuaskan hasrat kemanusiawian. Budaya membantu seseorang untuk “menyeragamkan diri”. Orang membutuhkan conformitas[3]. Penyeragaman diri dan konformitas akan menumbuhkan kepatuhan, tentu saja juga hal-hal negatif lainnya. Hal-hal ini juga memicu munulnya “ketergugahan sosial”, untuk merespon fenomena-fenomena sosial yang dihadapi. Para psikolog sosial banyak meneliti tema-tema ini dan menemukan, bahwa hal-hal tadi membuat pekerjaan menjadi lebih ringan sebab dapat diatasi bersama. Persaingan positif akan tumbuh. Ide-ide akan tumbuh dengan cepat dan canggih diluar pemikiran kita.

Mungkin benar dititahkan dalam banyak kitab agama, bahwa hakekat manusia diciptakan adalah untuk saling berinteraksi (interaksi dalam makna lama), saling jabat tangan, saling berkunjung, berkumpul dengan teman-teman seiman, berkumpul dengan teman sejawat, beribadah bersama-sama, saling memberikan hadiah dan makanan, bahkan saling berdebat dan bertengkar. Mungkin ada dari sisi kemanusiawian kita masing-masing, yang tidak mungkin terpuaskan hanya berkomunikasi melalui internet dan HP. Itulah sebabnya mengapa setelah sekelompok orang atau group tertentu saling berkomunikasi, kemudian pasti ada ide untuk berkumpul bersama-sama: “copy-darat”.

Komunikasi antar personal menjadi “canggung” rasanya. Yang biasanya diikuti jabat tangan jika saling bertemu, bahkan berpelukan, kini tidak dilakukan kepada teman sekerja, teman dekat/sahabat. Mereka yang menjalankan anti penyebaran COVID-19 secara fanatik, bahkan berani dan tidak cangggung berkata “maaf kita tidak usah berjabat tangan”. Saling serah barang saja, sering kali tidak “tangan ke tangan”, tetapi diletakkan di suatu tempat. Ada keluarga yang terang-terangan menolak tamu yang ingin bertandang. Itu semua terjadi sampai tingkat orang-orang yang masih berhubungan “keluarga”, entah keluarga dekat atau keluarga jauh. Tentu dengan ungkapan ini semua saya tidak berarti tidak patuh dan “anti protokol kesehatan”. Saya hanya ingin mengungkapkan problema-problema sosial yang amat mungkin akan terjadi. Individualisasi, katakanlah begitu, memang sedang terjadi. Entah sampai berapa hal itu akan terjadi, karena tidak satupun para ahli yang mampu memprediksi kapan COVID-19 dinyatakan berakhir.

Memaknai Agama dan Spiritualitas Diri

Salah satu yang menarik perhatian saya dengan adanya pandemi COVID-19 ini adalah juga “perilaku beragama”[4]. Yang saya maksud dengan perilaku beragama ini adalah yang ringan-ringan saja, tidak untuk menelaah filsafat dan teologi agama. Tetapi saya hanya ingin mengungkap ritual ibadah, berjalannya agama sebagai institusi organisasi, juga konflik internal pribadi dalam beragama sampai pencarian bentuk-bentuk spiritualitas pribadi.

Gereja-gereja ditutup, ibadah Jum’at di masjid juga ditiadakan sementara, Hari Raya Idul Fitri yang lalu tidak diperbolehkan melakukan Sholad Id di lapangan yang biasanya dipenuhi umat yang sedang merayakan kegembiraan. Ritus Paskah yang dilakukan umat Katolik beberapa waktu lalu praktis juga berhenti. Semua dilaksanakan dengan live-streaming sebisa mungkin. Sekilas semua ibadah dan ritus itu seakan kehilangan “makna”. Di kampung-kampung sekitar seakan tidak ada bedanya antara Lebaran dan tidak Lebaran. Semua dirayakan sendiri-sendiri di rumah, tentu saja mungkin satu dua tetangga atau saudara ada yang datang bertandang.

Terkena virus COVID-19 seakan-akan adalah seorang “pendosa”. Mereka dijauhi, dikarantina, tidak boleh semaunya dijenguk kerabat atau tetangga, mengalami rasa takut jika anak, suami/istrinya tertulari, tidak boleh bekerja mencari nafkah, tidak bisa semaunya bersosialisasi dengan tetangga, dsb. Saya yakin mereka mengalami tekanan mental yang luar biasa. Mereka, pada jaman dulu, mirip dengan orang terkena “lepra”. Dikucilkan secara sosial, bahkan mendapat labeling pendosa”. Jangan sampai di masa datang, orang-orang ini di dalam KTP-nya tertandai “pernah terkena virus COVID-19”: itu seperti cap PKI !!!

Secara organisasi, institusi-institusi agama mungkin juga menglami kolaps. Gereja tidak ada pemasukan dari kolekte, sumbangan yang diberikan oleh umat pada ibadah di hari Minggu. Masjid-masjid mungkin juga mengalami penurunan pemasukan yang drastis oleh karena makin minimnya umat yang memberikan sumbangan/sedekah ketika ibadah Jum’at. Bisa jadi begitu pula yang dialami rumah ibadah Vihara atau tempat ibadah saudara kita yang Hindu. Semua sekarang tergantung pada sumbangan “dermawan”.

Mengapa semua ritus, ritual, dan perilaku institusi agama tadi sampi bisa seakan-akan kehilangan makna? Letak jawaban dasarnya adalah pada terganggunya “interaksi sosial” antar manusia sebagaimana sudah disinggung di atas. Manusia atau umat adalah kekuatan dasar kebersamaan. Dalam kasus agama Katolik atau Kristen, setiap umat tua atau muda, kaya maupun miskin, selalu berusaha menyisihkan uang semampunya untuk kolekte pada hari Minggu. Pada gereja yang cukup besar, perayaan ibadah Minggu ini bisa dilaksanakan minimal 3 atau 4 kali (Sabtu sore, Minggu pagi, dam Minggu Sore). Pembangunan masjid, gereja, atau tempat-tempat ibadat yang lain bisa dimintakan kepada umatnya, dengan diumumkan pada saat ibadat. Jika para umat itu tidak bisa atau tidak ada kesempatan bertemu, maka dari mana kekuatan-kekuatan kebersamaan  (ketergugahan sosial) bisa di bangun dan dipupuk. Bagaimana mereka bisa saling bertegur sapa, saling menguatkan atau mengingatkan, untuk beribadat lebih rajin. Pertemuan-pertemuan kelompok umat di dusun, desa, atau di wilayah masing-masing juga tidak bisa dilakukan atas nama anti penyebaran COVID-19.

Saya merasa tingkat keimanan dan perilaku beragama para umat beragama -- sejauh yang saya tahu, sayangnya belum pernah dilakukan penelitian soal ini – cukup “meluntur” dengan adanya pandemi COVID-19 ini. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa sebagian besar umat saat ini kemudian hidup dan bertingkahlaku “ngawur” tanpa tuntunan sebagaimana diajarkan di dalam dogma-dogma agama. Namun mungkin ada pertanyaan teologis yang menggelitik, bahwa tidak datang atau tidak perlu ke rumah-rumah ibadat itu ternyata tidak apa-apa. “Tidak berdosa” (tepatnya ingin dikatakan begitu). Apa bedanya COVID-19 dengan bencana-bencana lain yang skalanya cukup besar seperti bencana alam Tsunami, gunung meletus, gempa, wabah kelaparan, malaria dan demam berdarah, dsb. Semuanya ini menggelitik orang menggali spiritualitas baru, mulai bertanya dan mencari pemaknaan apa artinya beragama, “apakah ini akhirnya benar-benar hanya urusan individu dengan Tuhannya secara invidual?!”.

Dengan kata lain, saat ini manusia sedang diberi atau berada di dalam ruang dan kesempatan, dengan adanya pandemi COVID-19 dan ekses-eksesnya, untuk introspeksi dan refleksi diri. Manusia diberi kesempatan mempertanyakan sekaligus mungkin memperdalam makna sesungguhnya keimanannya serta hubungan dengan Tuhannya dalam konteks agama mereka masing-masing. Dengan kata lain manusia sedang memaknai kembali spiritualitas hubungan dengan Tuhannya. Siapa tahu hubungan kita dengan Tuhan kita, dalam konteks agama masing-masing, adalah hubungan yang amat sangat bersifat individu. Sementara hubungan kita dengan sahabat-sahabat kita seiman adalah hubungan instrumental karena berkehidupan agama juga memerlukan apa yang disebut “berorganisasi”. Agama memerlukan institusi organisasi juga interaksi sosial untuk mengatur berbagai macam hal. Berbagai hal itu seperti misalnya pembangunan atau mempercantik rumah ibadah, pengaturan para petinggi organisasi agama, pembuatan media cetak untuk kegiatan dakwah agama, biaya-biaya pelaksanaan perayaan-perayaan agama, dll. Itu sebabnya dibutuhkan penggalagan dana dengan berbagai bentuk dan caranya: infaq, kolekte, iuran tertentu, dsb.

Refleksi: Kalau COVID-19 Masih Berlanjut Lama

Berikut beberapa refleksi mendasar yang perlu dipertimbangkan jika pandemi COVID-19 masih akan berlanjut lama, antara lain:

 ·        Frustasi sosial dalam konteks orang akan tetap melakukan interaksi sosial seperti yang sudah-sudah atau berfokus pada model komunikasi internet dan HP sebagai alat interaksi sosial baru. Dalam hal ini orang akan cenderung memilih pola interaksi sosial lama, dan tidak peduli dengan ketakutan akan COVID-19. Ini karena interaksi sosial cara lama mampu memenuhi hampir semua hasrat kemanusiaan kita.

·        Namun interaksi sosial cara lama di atas tidak akan semarak atau seramai sebagaimana sebelumnya, karena ada sebagian orang yang dalam kukungan ketakutan atas pademi COVID-19. Namun sebagian sudah ada yang tidak peduli lagi tentang hal tersebut. Masyarakat kelompok miskin yang mendapatkan uang hanya bisa dilakukan dengan cara “bertemu” orang lain, akan cenderung tidak peduli dengan penyebaran virus COVID-19. Logika ini sangat bisa diterima karena bahaya atau bencana kelaparan, kurang gizi dan efek dampak kesehatan lainnya, kemiskinan keluarga, anak tidak bisa bersekolah, akan jauh lebih “mengerikan” dari pada pandemi COVID-19. Bahaya kemiskinan yang parah dan meluas dapat membawa kepada kekacauan lebih akut seperti penjarahan, perampokan, pencurian, penipuan, korupsi, manipulasi, bahkan pembunuhan, dll.

·        Budaya baru atau tatanan perilaku baru memang sangat sulit diprediksikan meskipun penelitian sosial dan budaya sudah banyak sekali dilakukan terhadap pandemi COVID-19. Oleh sebab itu pun akan sulit diduga perilaku kehidupan seperti apa yang akan muncul di masyarakat ke depan. Kita, semua pihak, masyarakat, akademisi, pengambil kebijakan, dll hanya bisa menunggu sambil waspada akan munculnya efek-efek positif maupun efek negatif, dan kemudian segera perlu bertindak untuk menciptakan tatanan-tatanan baru.

·        Pada tingkat yang sangat pribadi atau individu, sangat mungkin akan muncul pencarian diri tentang makna “beragama” (dengan frasa ini saya ingin menghindari istilah frustasi keberagamaan). Agama membutuhkan simbol, ritus, dan interaksi umat sebagai penguatan diri maupun kebersamaan antar umatnya. Jika misalnya saja, saya seorang Katolik, dan pandemi COVID-19 ini masih berkepanjangan entah sampai kapan. Apakah cukup saya berdoa saja dirumah bersama keluarga, tanpa ikut Misa minggu di gereja, tidak mendapatkan komuni, tidak bersapa dengan teman dan sahabat sehabis Misa, tidak ikut ritus perayaan Paskah bersama umat atau perayaan Natal, meskipun semuanya ada tersedia di live-streaming. Semoga umat tidak kehilangan rasa kebanggan dan makna sebagai umat yang memiliki agama.

 

^ ^ ^



[1] Hal 212, “Psikologi Sosial” (edisi 10 buku 1), David G. Myers. Salemba Humanika Tahun 2010.

[2] Dalam “Psikologi Sosial” (edisi 10 buku 1), David G. Myers. Salemba Humanika Tahun 2010.

[3] Semacam pengakuan diri di dalam kelompoknya, dan merupakan bagian dari penyeragaman diri

[4] Perilaku beragama merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri manusia dan mendorong orang tersebut untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama (sumber: http://digilib.uinsby.ac.id/18876/5/Bab%202.pdf)