COVID-19 DAN REFLEKSI ATAS ASPEK KEHIDUPAN
Oleh: Emil E. Elip
COVID-19
sungguh merupakan pandemi yang luar biasa. Sejak virus itu menyebar, semua
negara menerapkan social-distancing dan physical distancing.
Kedua kata itu seperti istilah sederhana saja, tetapi ternyata dampak di
masyarakat di semua negara sungguh luar biasa. Hampir-hampir merusak berbagai
segi kehidupan seperti perekonomian masyarakat, interaksi sosial, pencarian
bentuk-bentuk budaya baru, kebiasaan melakukan ritual agama, menghancurkan
pariwisata, jasa transportasi, pola makan, tatanan baru berkumpul, pola migrasi
penduduk, bisnis perhotelan, bisnis pertunjukan dan berkesenian, bahkan mungkin
pencarian baru atas arti hidup dan spiritualitas. Tulisan ringkas ini ingin
menggambarkan dan sebisa mungkin menganalisa beberapa hal paling mendasar yang
terjadi di masyarakat, yang memerlukan pencarian pemaknaan baru.
Interaksi Sosial Yang Mau Seperti Apa?
Sudah sejak lama para filsuf dan pakar
sosial intinya mengatakan, bahwa
interaksi sosial merupakan sendi dasar perilaku manusia untuk saling
berhubungan/berelasi, terutama dalam bentuk fisik untuk bertemu dan berbincang.
Kata Aristoteles manusia adalah “hewan sosial”. Kita bisa tumbuh dengan baik karena
mengorganisasikan diri kita sendiri ke dalam kelompok dan bekerja sama[1]. Melalui interaksi sosial
itu sekelompok orang bisa membahas bisnis, politik tatanegara, merencanakan
sesuatu, mempererat tali persaudaraan, bahkan juga berkampanye, demo,
berperang, melaksanakan ibadah agama bersama-sama, menggali teori-teori tentang
kehidupan, dll.
Semua interaksi sosial dalam bentuk
“lama” itu, rusak (kalau tidak boleh disebut hampir hancur) oleh pandemi COVID-19.
Orang tidak boleh berkerumun atau berkumpul, dalam berbagai bentuknya seperti
gotong-royong, arisan, rapat-rapat RT atau RW, berseminar/workshop, dan
pelatihan, bahkan banyak kasus di berbagai desa atau perumahan orang “dilarang
masuk” atas nama demi mencegah penyebaran virus COVID-19. Gereja, masjid, Vihara
atau tempat-tempat lain dimana orang ingin melaksanakan ritus keagamaan atau
kepercayaannya, sementara ditutup. Event-event budaya dan upacara-upacara adat,
terpaksa dihentikan. Pertanyaannya, lantas dimana lagi atau kemana lagi orang
akan melakukan “interaksi” sosial. Dengan cara apa orang-orang ingin saling
memberikan-menerima “makna hidup”, yang sudah dilakukan berabad-abad itu.
Ada ketakutan sosial yang amat
berlebihan karena pandemi COID-19 ini, yaitu orang saling menarik diri. Orang
atau saudara sakit, sedikit atau sangat dibatasi jumlah penjenguknya. Kematian
sedikit yang melayat. Sesama saudara saja kalau bertemu harus duduk saling
berjauhan. Dan masih banyak contoh lain. Orang cenderung menarik diri atau
menghindari “berkelompok”. Padahal kata Roy Baumaester[2], dalam bukunya Culture
Animal, manusia lebih dari hewan karena memanfaatkan kekuatan “budaya” untuk
menjalani hidup lebih baik. Budaya adalah cara yang baik untuk menjadi sosial.
Nampaknya dan itu yang sedang dilakukan
masyarakat, mereka memanfaatkan teknologi komunikasi melalui internet dan HP.
Melalui media itu antar manusia masih bisa saling bersapa, saling menguatkan
dalam masa “pageblug” pandemi COVID-19. Bahkan orang bisa saling bertemu
muka untuk berbincang dan berdiskusi melalui applikasi webinar. Sejauh yang
pernah saya ikuti, metode webinar ini pun mutunya tidak akan pernah mampu
sebanding dengan jika kita melaksanakan seminar, lokakarya, atau pelatihan
seperti yang “lama”. Belanja on-line
menjadi tranding baik untuk beli pakaian, sayur-mayur, bumbu dapur, daging,
dll. Pada sisi yang lain upaya pengumpulan dana sosial atau dana bantuan pun
masih bisa dilakukan, dan tidak sedikit pula yang mampu terkumpul. Tetapi kalau
diamati secara cermat, toh akhirnya orang tidak bisa menghindari interaksi cara
lama “face to face” untuk melaksanakannya. Belanja on-line butuh tatapmuka
para pengantar, para pekerja pensupplay barang, atau-orang-orang yang
mengimplementasikan “dana bantuan” yang sudah terkumpul kepada para sasaran
bantuannya tetap butuh interaksi.
Sudah semacam tidak kuat lagi untuk
tidak saling “berinteraksi” dengan cara lama. Itulah kesimpulan sementara yang
saya tangkap dari apa yang terjadi akhir-akhir ini, sejak New Normal
diterapkan. Konsep New Normal tidak berarti bahwa semuanya sudah pulih. Dalam
banyak sekali informasi dan anjuran, New Normal tetap memungkinkan terjadinya
penyebaran virus COVID-19. Buktinya di banyak daerah kasus positif COVID-19
tetap merambat naik.
Nampaknya orang-orang sudah tidak
peduli!!! Kini keinginan untuk saling berinteraksi jauh lebih kuat dari pada
sekedar ketakutan atas penyebaran virus COVID-19 dan mendekam di rumah saja.
Maka pasar-pasar tradisional ramai kembali. Tempat-tempat nongkrong apapun
bentuknya, mau kaki lima, cafe, warung kopi tenda, mulai dipenuhi orang.
Jalan-jalan pun sudah penuh kendaraan. Di tempat manapun, ditempat-tempat umum,
yang dulu selalu ada tempat cuci tangan dan sabun, kini masih tetap ada tetapi orang-orang
sudah mulai malas cuci tangan.
Meskipun pandemi COVID-19 hampir-hampir
merusak pola interaksi sosial cara lama, namun saya tidak menemukan pola tatanan
budaya baru – masih pada tingkat perilaku saja-- meski semakin maraknya
interaksi sosial melalui komunikasi internet dan HP. Tanpa terjadinya pandemi COVID-19
orang tetap akan semakin banyak berinteraksi melalui internet dan HP karena ada
keasyikan tersendiri di sana. Yang jelas jika COVID-19 ini masih cukup lama
selesai, akan ada banyak orang mengidap “gangguan jiwa” di masa datang dengan
berbagai tingkatan dan bentuknya. Ini bisa saja terjadi karena orang terpaksa
atau dipaksa bertingkah laku “individualis” oleh keadaan.
Berperilaku Individualis, Tidak
Memuaskan
Anak saya lebih senang datang kesekolah
bersama teman-temannya, katanya. Dia seperti rindu bermain dan bercanda dengan
teman-temannya di sekolah. Sudah sangat jenuh mengerjakan tugas-tugas melulu
melalui HP, internet, maupun Google Classroom. Mungkin juga orang mulai
jenuh bekerja dari kost atau rumah (Work from Home). Saya menduga
mungkin banyak hal terkait pekerjaan yang tidak segera bisa tuntas didiskusikan
atau dibahas. Orang juga mungkin mulai merasa seperti orang “gila” duduk di
cafe sendiri atau hanya berdua sambil menikmati kopi. Orang juga mulai jengah
pergi ke mana-mana hanya sendirian atau paling-paling berdua, sementara
biasanya bisa bersama teman-temannya lebih banyak. Orang-orang mungkin mulai
“gila” tidak atau belum ada kesempatan berekreasi bersama naik gunung, camping,
main bola, dll.
Berperilaku sendiri, melakukan apa-apa
sendiri, “katakanlah individualis”
ternyata tidak memuaskan hasrat kemanusiawian. Budaya membantu seseorang untuk
“menyeragamkan diri”. Orang membutuhkan conformitas[3]. Penyeragaman diri dan
konformitas akan menumbuhkan kepatuhan, tentu saja juga hal-hal negatif lainnya.
Hal-hal ini juga memicu munulnya “ketergugahan sosial”, untuk merespon
fenomena-fenomena sosial yang dihadapi. Para psikolog sosial banyak meneliti
tema-tema ini dan menemukan, bahwa hal-hal tadi membuat pekerjaan menjadi lebih
ringan sebab dapat diatasi bersama. Persaingan positif akan tumbuh. Ide-ide
akan tumbuh dengan cepat dan canggih diluar pemikiran kita.
Mungkin benar dititahkan dalam banyak
kitab agama, bahwa hakekat manusia diciptakan adalah untuk saling berinteraksi
(interaksi dalam makna lama), saling jabat tangan, saling berkunjung, berkumpul
dengan teman-teman seiman, berkumpul dengan teman sejawat, beribadah
bersama-sama, saling memberikan hadiah dan makanan, bahkan saling berdebat dan
bertengkar. Mungkin ada dari sisi kemanusiawian kita masing-masing, yang tidak
mungkin terpuaskan hanya berkomunikasi melalui internet dan HP. Itulah sebabnya
mengapa setelah sekelompok orang atau group tertentu saling berkomunikasi,
kemudian pasti ada ide untuk berkumpul bersama-sama: “copy-darat”.
Komunikasi antar personal menjadi
“canggung” rasanya. Yang biasanya diikuti jabat tangan jika saling bertemu,
bahkan berpelukan, kini tidak dilakukan kepada teman sekerja, teman
dekat/sahabat. Mereka yang menjalankan anti penyebaran COVID-19 secara fanatik,
bahkan berani dan tidak cangggung berkata “maaf kita tidak usah berjabat
tangan”. Saling serah barang saja, sering kali tidak “tangan ke tangan”,
tetapi diletakkan di suatu tempat. Ada keluarga yang terang-terangan menolak
tamu yang ingin bertandang. Itu semua terjadi sampai tingkat orang-orang yang
masih berhubungan “keluarga”, entah keluarga dekat atau keluarga jauh. Tentu
dengan ungkapan ini semua saya tidak berarti tidak patuh dan “anti protokol
kesehatan”. Saya hanya ingin mengungkapkan problema-problema sosial yang amat
mungkin akan terjadi. Individualisasi, katakanlah begitu, memang sedang
terjadi. Entah sampai berapa hal itu akan terjadi, karena tidak satupun para
ahli yang mampu memprediksi kapan COVID-19 dinyatakan berakhir.
Memaknai Agama dan Spiritualitas Diri
Salah satu yang menarik perhatian saya dengan adanya pandemi COVID-19 ini adalah juga “perilaku beragama”[4]. Yang saya maksud dengan perilaku beragama ini adalah yang ringan-ringan saja, tidak untuk menelaah filsafat dan teologi agama. Tetapi saya hanya ingin mengungkap ritual ibadah, berjalannya agama sebagai institusi organisasi, juga konflik internal pribadi dalam beragama sampai pencarian bentuk-bentuk spiritualitas pribadi.
Gereja-gereja ditutup, ibadah Jum’at di masjid juga ditiadakan sementara, Hari Raya Idul Fitri yang lalu tidak diperbolehkan melakukan Sholad Id di lapangan yang biasanya dipenuhi umat yang sedang merayakan kegembiraan. Ritus Paskah yang dilakukan umat Katolik beberapa waktu lalu praktis juga berhenti. Semua dilaksanakan dengan live-streaming sebisa mungkin. Sekilas semua ibadah dan ritus itu seakan kehilangan “makna”. Di kampung-kampung sekitar seakan tidak ada bedanya antara Lebaran dan tidak Lebaran. Semua dirayakan sendiri-sendiri di rumah, tentu saja mungkin satu dua tetangga atau saudara ada yang datang bertandang.
Terkena virus COVID-19 seakan-akan adalah seorang “pendosa”. Mereka dijauhi, dikarantina, tidak boleh semaunya dijenguk kerabat atau tetangga, mengalami rasa takut jika anak, suami/istrinya tertulari, tidak boleh bekerja mencari nafkah, tidak bisa semaunya bersosialisasi dengan tetangga, dsb. Saya yakin mereka mengalami tekanan mental yang luar biasa. Mereka, pada jaman dulu, mirip dengan orang terkena “lepra”. Dikucilkan secara sosial, bahkan mendapat labeling pendosa”. Jangan sampai di masa datang, orang-orang ini di dalam KTP-nya tertandai “pernah terkena virus COVID-19”: itu seperti cap PKI !!!
Secara organisasi, institusi-institusi agama mungkin juga menglami kolaps. Gereja tidak ada pemasukan dari kolekte, sumbangan yang diberikan oleh umat pada ibadah di hari Minggu. Masjid-masjid mungkin juga mengalami penurunan pemasukan yang drastis oleh karena makin minimnya umat yang memberikan sumbangan/sedekah ketika ibadah Jum’at. Bisa jadi begitu pula yang dialami rumah ibadah Vihara atau tempat ibadah saudara kita yang Hindu. Semua sekarang tergantung pada sumbangan “dermawan”.
Mengapa semua ritus, ritual, dan perilaku institusi agama tadi sampi bisa seakan-akan kehilangan makna? Letak jawaban dasarnya adalah pada terganggunya “interaksi sosial” antar manusia sebagaimana sudah disinggung di atas. Manusia atau umat adalah kekuatan dasar kebersamaan. Dalam kasus agama Katolik atau Kristen, setiap umat tua atau muda, kaya maupun miskin, selalu berusaha menyisihkan uang semampunya untuk kolekte pada hari Minggu. Pada gereja yang cukup besar, perayaan ibadah Minggu ini bisa dilaksanakan minimal 3 atau 4 kali (Sabtu sore, Minggu pagi, dam Minggu Sore). Pembangunan masjid, gereja, atau tempat-tempat ibadat yang lain bisa dimintakan kepada umatnya, dengan diumumkan pada saat ibadat. Jika para umat itu tidak bisa atau tidak ada kesempatan bertemu, maka dari mana kekuatan-kekuatan kebersamaan (ketergugahan sosial) bisa di bangun dan dipupuk. Bagaimana mereka bisa saling bertegur sapa, saling menguatkan atau mengingatkan, untuk beribadat lebih rajin. Pertemuan-pertemuan kelompok umat di dusun, desa, atau di wilayah masing-masing juga tidak bisa dilakukan atas nama anti penyebaran COVID-19.
Saya merasa tingkat keimanan dan perilaku beragama para umat beragama -- sejauh yang saya tahu, sayangnya belum pernah dilakukan penelitian soal ini – cukup “meluntur” dengan adanya pandemi COVID-19 ini. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa sebagian besar umat saat ini kemudian hidup dan bertingkahlaku “ngawur” tanpa tuntunan sebagaimana diajarkan di dalam dogma-dogma agama. Namun mungkin ada pertanyaan teologis yang menggelitik, bahwa tidak datang atau tidak perlu ke rumah-rumah ibadat itu ternyata tidak apa-apa. “Tidak berdosa” (tepatnya ingin dikatakan begitu). Apa bedanya COVID-19 dengan bencana-bencana lain yang skalanya cukup besar seperti bencana alam Tsunami, gunung meletus, gempa, wabah kelaparan, malaria dan demam berdarah, dsb. Semuanya ini menggelitik orang menggali spiritualitas baru, mulai bertanya dan mencari pemaknaan apa artinya beragama, “apakah ini akhirnya benar-benar hanya urusan individu dengan Tuhannya secara invidual?!”.
Dengan kata lain, saat ini manusia sedang diberi atau berada di dalam ruang dan kesempatan, dengan adanya pandemi COVID-19 dan ekses-eksesnya, untuk introspeksi dan refleksi diri. Manusia diberi kesempatan mempertanyakan sekaligus mungkin memperdalam makna sesungguhnya keimanannya serta hubungan dengan Tuhannya dalam konteks agama mereka masing-masing. Dengan kata lain manusia sedang memaknai kembali spiritualitas hubungan dengan Tuhannya. Siapa tahu hubungan kita dengan Tuhan kita, dalam konteks agama masing-masing, adalah hubungan yang amat sangat bersifat individu. Sementara hubungan kita dengan sahabat-sahabat kita seiman adalah hubungan instrumental karena berkehidupan agama juga memerlukan apa yang disebut “berorganisasi”. Agama memerlukan institusi organisasi juga interaksi sosial untuk mengatur berbagai macam hal. Berbagai hal itu seperti misalnya pembangunan atau mempercantik rumah ibadah, pengaturan para petinggi organisasi agama, pembuatan media cetak untuk kegiatan dakwah agama, biaya-biaya pelaksanaan perayaan-perayaan agama, dll. Itu sebabnya dibutuhkan penggalagan dana dengan berbagai bentuk dan caranya: infaq, kolekte, iuran tertentu, dsb.
Refleksi: Kalau COVID-19 Masih Berlanjut Lama
Berikut beberapa refleksi mendasar yang perlu dipertimbangkan jika pandemi COVID-19 masih akan berlanjut lama, antara lain:
·
Namun
interaksi sosial cara lama di atas tidak akan semarak atau seramai sebagaimana
sebelumnya, karena ada sebagian orang yang dalam kukungan ketakutan atas pademi
COVID-19. Namun sebagian sudah ada yang tidak peduli lagi tentang hal tersebut.
Masyarakat kelompok miskin yang mendapatkan uang hanya bisa dilakukan dengan
cara “bertemu” orang lain, akan cenderung tidak peduli dengan penyebaran virus COVID-19.
Logika ini sangat bisa diterima karena bahaya atau bencana kelaparan, kurang
gizi dan efek dampak kesehatan lainnya, kemiskinan keluarga, anak tidak bisa
bersekolah, akan jauh lebih “mengerikan” dari pada pandemi COVID-19. Bahaya
kemiskinan yang parah dan meluas dapat membawa kepada kekacauan lebih akut
seperti penjarahan, perampokan, pencurian, penipuan, korupsi, manipulasi,
bahkan pembunuhan, dll.
·
Budaya
baru atau tatanan perilaku baru memang sangat sulit diprediksikan meskipun
penelitian sosial dan budaya sudah banyak sekali dilakukan terhadap pandemi
COVID-19. Oleh sebab itu pun akan sulit diduga perilaku kehidupan seperti apa
yang akan muncul di masyarakat ke depan. Kita, semua pihak, masyarakat,
akademisi, pengambil kebijakan, dll hanya bisa menunggu sambil waspada akan
munculnya efek-efek positif maupun efek negatif, dan kemudian segera perlu
bertindak untuk menciptakan tatanan-tatanan baru.
·
Pada
tingkat yang sangat pribadi atau individu, sangat mungkin akan muncul pencarian
diri tentang makna “beragama” (dengan frasa ini saya ingin menghindari istilah
frustasi keberagamaan). Agama membutuhkan simbol, ritus, dan interaksi umat
sebagai penguatan diri maupun kebersamaan antar umatnya. Jika misalnya saja,
saya seorang Katolik, dan pandemi COVID-19 ini masih berkepanjangan entah
sampai kapan. Apakah cukup saya berdoa saja dirumah bersama keluarga, tanpa
ikut Misa minggu di gereja, tidak mendapatkan komuni, tidak bersapa dengan
teman dan sahabat sehabis Misa, tidak ikut ritus perayaan Paskah bersama umat
atau perayaan Natal, meskipun semuanya ada tersedia di live-streaming.
Semoga umat tidak kehilangan rasa kebanggan dan makna sebagai umat yang
memiliki agama.
^ ^ ^
[1] Hal 212,
“Psikologi Sosial” (edisi 10 buku 1), David G. Myers. Salemba Humanika Tahun
2010.
[2] Dalam
“Psikologi Sosial” (edisi 10 buku 1), David G. Myers. Salemba Humanika Tahun
2010.
[3] Semacam
pengakuan diri di dalam kelompoknya, dan merupakan bagian dari penyeragaman
diri
[4] Perilaku
beragama merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri manusia dan mendorong
orang tersebut untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama (sumber: http://digilib.uinsby.ac.id/18876/5/Bab%202.pdf)