Monday, March 27, 2017

Conventional Taxi vs Online Taxi

KRONIKA

Taksi Konvensional v.s On-line
"Bagaikan kantor pos melarang email"
Oleh: Emil E Elip

Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul demo tentang taksi konvensional v.s. taksi on-line. Persoalan mendasarnya adalah para sopir taksi konvensional merasa penumpangnya semakin sedikit karena maraknya taksi-taksi on-line berbasis aplikasi. Lantas persoalannya kian meluas, menjadi antara sopir angkutan umum seperti taksi konvensional, angkot, supir bis kota, ojek, dll. Ini fenomena "menggelikan" sekaligus aneh dan baru bagi masyarakat Indonesia, yang mau tak mau melawan globalisme pasar.

 

Saya pingin mulai dari kenyataan mengapa para pemilik kios pakaian, sepatu, kerajinan, dll di pasar, diruko-ruko, di mall, dll tidak pada demo dengan maraknya juga jual beli on-line seperti bukalapak.com, OXL, dan semacamnya. Jangan lupa lho semua toko on-line itu menjual semua kebutuhan mulai pakaian, asesoris, minuman, susu, arloji, kebutuhan bayi...apapun. Kok tidak demo! Karana pasar menghendaki hal baru, beli tidak repot, harga jelas dimuka, bahkan diantar, dan sering dapet diskon pula. 

Friday, March 24, 2017

Friction About Religion in Jakarta


KRONIKA:
"Agama Yang Diperalat"

Oleh: Emil E. Elip





Beberapa bulan terakhir ini, sejak dimulainya pemilihan kepala daerah provinsi Jakarta, agama tiba-tiba muncul menjadi momok menakutkan di mata masyarakat Indonesia. Tiba-tiba toleransi di Indonesia yang begitu kuat ditulis dalam buku-buku teks anak-anak sekolah sebagai ciri masyarakat Indonesia, hanyalah isapan jempol belaka. Apa sebabnya dan apa dampaknya bagi pendidikan kewargaan (civil-cityzenship) masyarakat Indonesia.


Isu utamanya adalah Ahok (ex-gubernur Jakarta) yang ikut pemilihan kepala daerah lagi, dianggap menghina agama Islam (oleh kelompok fundamental tertentu)  pada kampanye di kepulauan Seribu. Lantas bergulirlah demonstrasi jalanan. Sidang-sidang hukum bergulir sudah 10 kali yang tentu menghabiskan biaya, hanya untuk menentukan Ahok menghina agama Islam atau tidak.

Tuesday, March 21, 2017

Question on Man Ontological Existency



Question on Man Ontological Existency
Mempertanyakan Eksistensial Ontologis Manusia”

Oleh: Emil E. Elip



Paper ini mempersoalkan “jalan hidup” manusia. Istilah mempersoalkan sesungguhnya mau “menganalisa” secara relatif ilmiah tentang manusia yang berproses “mengada” dan menyejarah di dalam kehidupannya: keberadaannya di dunia (kelahiran), proses kehidupannya, dan kematiannya. Tentu saja obyek analisis ini semula bersifar “subyektif” tentang sejarah “mengada”-nya, dan yang kemudian hendak dianalisis secara logis-kritis-ilmiah dalam hal dunia ontologisnya.

Kehadiran Yang Tidak Demokratis

Pernah sesekali Anda menanyakan kepada diri Anda, atau katakanlah mempersoalkan diri Anda: “mengapa” Anda terlahir di dunia. Jawaban-jawaban yang muncul dari alam pemikiran “dogmatis agamis” adalah: karena Tuhan menciptakan “aku”. Jawaban yang lebih simpel-realis, namun bernuansa ilmiah biologis adalah: karena ada persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, yang kemudian sering disebut “bapak” dan “ibu”. Jawaban realis-biologis ini sering dicap terlalu “sekuler”, oleh karena itu mereka yang dogmatis-agamis lantas menambahkan bahwa persetubuhan yang dimaksud adalah buah dari proses adanya institusi perkawinan tentu saja perkawinan yang disahkan oleh agama. Tentu ada banyak pula perkawinan tanpa restu agama, yang mungkin tepatnya disebut “persetubuhan perselingkuhan” itu, yang juga membuahkan lahirnya atau munculnya kehadiran manusia di dunia.

Sunday, March 19, 2017

Reflections: Life, Poetry, and Catharsism



Hidup, Puisi, dan Katarsisme
Oleh: Emil E. Elip


Benar kiranya, hidup itu adalah “puisi”. Oleh karenanya sebagian besar puisi merupakan hasil refleksi sang penulisnya atas perjalanan dan laku kehidupannya. Pada penggalan-penggalan kehidupan yang penuh warna penderitaan dan kegetiran, maka produk-produk puisi sang penulisnya kemungkinan besar akan bernuansa reflektif diri, berwarna pecarian atas Tuhan-nya, mungkin juga puisi-puisi penyesalan, atau bahkan semacam keinginan pemberontakan diri.

Sebaliknya, pada periode-periode kehidupan sang penulis yang penuh warna kesuksesan atau keberhasilan meraih sesuatu, maka puisi-puisi yang ditulispun sangat mungkin akan bernuansa terima kasih kepada sang Khalik, atau bait-bait yang sangat menggugah dan menganjurkan bahwa kehidupan itu penuh kejutan, penuh hal-hal tidak terduga dan mungkin ingin mengatakan juga bahwa mukzizat itu bukan isapan jempol belaka.

Jadi, sekali lagi (semoga sidang pembaca juga setuju), bahwa hidup itu puisi. Dan di dalam puisi itu bisa kita lihat berbagai macam kejadian kehidupan. Dan luar biasanya adalah, puisi bisa muncul tercipta bagaikan badai yang bisa terjadi setiap saat seperti pasang surut datang dan perginya sang badai. Hari ini muncul puisi-puisi yang menyayat-nyayat, skeptis, depresif…beberapa hari lagi bisa muncul puisi bersemagat, menggugah, optimistik, dsb.

Puisi Dan Sosialitas Masyarakat
Setiap masyarakat memiliki cara mengungkapkan refleksi perjalanan kehidupan mereka. Saya ingin menyinggung salah satu saja kelompok kehidupan masyarakat nomaden yang tersebar di jazirah Arab, Timur Tengah lainnya, sampai Utara Mesir hingga Spanyol Selatan tepatnya di Granada. Kelompok masyarakat ini adalah masyarakat nomaden, berpindah-pindah, mencari tempat yang paling memungkinkan bagi mereka untuk mencari makan, berburu, berdagang, dsb. Mereka sering disebut juga kelompok “gipsi” (gipsy), yang beberapa akar budaya gipsinya bersumber dari komunitas-komunitas nomaden di India Utara sekitar Rajastan.

Monday, March 13, 2017

Hard Way Stepping on Democratization



KRONIKA

Beratnya Menapaki Demokratisasi
Oleh: Emil. E. Elip


Alhamdullilah, Puji Syukur Kepada Tuhan, Pemilu 2014 kita lalui dengan “aman”. Lepas dari benar atau tidak sengketa suara dalam proses Pemilu 2014 ini, diantara siatuasi rivalitas kedua kubu calon presiden yang sangat panas dan menegangkan, masyarakat awan dan wong cilik nampaknya hanya berharap: “semoga tidak terjadi chaos kerusuhan politik”!

Saya bekerja hanya beberapa jengkal saja dari gedung MK (Mahkamah Konstitusi). Selama proses persidangan sengketa Pemilu, di depan gedung MK dan kantor saya, ribuan orang berdemo dan ratusan polisi serta mobil barakuda berjaga-jaga. Suasana mungkin persis seperti jaman pra-kemerdekaan. Setiap hari orasi-orasi dan teriakan para pendemo terdengar jelas dari ruang kerja saya dari pagi sekitar pukul 10.00 sampai sekitar 15.00. Dan mohon maaf harus saya sampaikan, lima puluh persen isi orasi cenderung black-oration dan tak terarah secara substansi. Mungkin persiapannya sangat minimal.

Pada saat hari terakhir dibacakan putusan MK, suasana lebih mencekam. Sepi! Karena sebagin besar staff kantor-kantor disekitar MK tidak berani masuk kerja. Saya kira sangat beralasan mereka ngendon di rumah saja sambil nonton siatuasi di depan TV, sebab tidak ada yang bisa menjamin seratus persen bahwa kerusuhan pasti tidak terjadi. Orang sudah terbawa suasana pemberitaan di media massa jauh hari sebelumnya. Panglima ABRI berencana melakukan konsentrasi kekuatan ke Jakarta khususnya di dekat MK untuk mengamankan putusan MK. Kita terbawa (maaf) “sangarnya” pernyataan salah satu kubu calon presiden yang kira-kira berbunyi “akan melakukan pengawalan sampai titik darah terakhir” terhadap sidang MK. Apalagi kita tahu salah satu kubu calon presiden ini adalah bekas petinggi ABRI yang mumpuni disegani dari sudut kepangkatan dan karirnya.

Pregnant women ...has to be stretchered



KRONIKA WILAYAH TERTINGGAL:

Ibu Hamil…. Terpaksa Ditandu
Oleh: Emil E. Elip


“Kalau ada ibu hamil mau melahirkan terpaksa kami bawa naik kuda pela-pelan ke Puskesmas… Ojek tidak berani naik ke dusun-dusun”, cerita ibu Yumarni (24) seorang pengumpul Damar, penduduk Pekon (Desa) Malaya, Kecamatan Lemong, Kabupaten Lampung Barat, yang mengisahkan betapa susahnya akses jalan menuju Puskesmas, pasar, sekolahan, atau sekadar mengurus keperluan tertentu di kecamatan. Sampai sekitar tahun 2010, lanjut Yumarni, masih ada ibu hamil terpaksa naik kuda untuk memeriksakan kehamilannya di Puskesmas. Paramedis Puskesmas tidak berani naik ke dusun-dusun di atas memberikan pelayanan karena jalanan dan medannya sangat berat.

Bukan hanya Yumarni yang mengisahkan kisah sedih heroik semacam itu. Sapran (32) seorang tokoh masyarakat di  Desa Endikat Ilir, Kecamatan Gumay Talang, Kabupaten Lahat juga menceritakan hal serupa: “Sebelum tahun 2011 penduduk Desa Darmo dan Endikat Ilir terpaksa harus memikul memakai tandu ibu-ibu yang akan melahirkan ke Puskesmas, padahal jaraknya hanya sekitar 10 Km dari desa kami”. Jalur jalan desa Darmo dan Endikat Ilir waktu itu hanya berupa jalan setapak, kondisinya parah, dan naik-turun. “Ojek memang sudah ada, tetapi sangat berbahaya untuk ibu hamil mau melahirkan. Bahkan malam pun harus kita tandu beramai-ramai…amat berbahaya dari binatang buas”, imbuh Sapran.

Jangankan di kedua wilayah di Sumatera tersebut, di Jawa pun masih ada juga kondisi serupa dijumpai. Di salah satu wilayah tertinggal di Kabupaten Sukabumi, yaitu di Desa Bantarsari dan Sirnasari, Kecamatan Pabuaran kondisinya persis seperti dikisahkan Sapran. “Melihat kondisi jalan yang kecil, naik turun berbukit-bukit di wilayah kami, tidak ada cara paling aman bagi ibu hamil atau mereka yang sakit parah kecuali ditandu menuju Puskesmas”, begitu ungkap Pak Narman (58) tokoh masyarakat Desa Bantarsari, mengisahkan kondisi di desanya sebelum tahun 2011.

PNPM and Village Empowerment Process



PNPM dan Pembaharuan Desa:
“Sejauh Manakah?”[1]

Oleh: Emil E. Elip[2]


Desaku  yang ku cinta, pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku
Tak mudah ku lupakan, tak mudah tercerai
Selalu ku rindukan, desa ku yang permai.

Kemarin paman datang
Pamanku dari desa
Dibawakannya rambutan pisang
dan sayur mayur segala rupa
Bercrita paman, tentang ternaknya
berkembang biak semua …


Lagu-lagu yang saya kenal tentang desa --saya kira sidang pembaca juga mengenalnya-- dan sering saya nyanyikan  di depan kelas sewaktu masih duduk dibangku SD, terasa sangat romantis. Masih banyak lagu-lagu semacam itu yang menggambarkan “desa nan permai”, damai, indah, harmonis, orangnya ramah, ringan bergotong-royong, saling suka membantu, yang semuanya itu melukiskan kondisi kehidupan desa yang sejahtera. Dalam bahasa Jawanya: ayem tentrem loh jinawi.

  Sampai dengan ketika saya duduk di bangku SMA, informasi dari bahan ajar tentang dengan desa masih saja terasa menawarkan nuansa romantik tidak berbeda jauh dengan ketika di SD. Romantisme tentang desa itu, dari berbagai segi tentang desa, berguguran semenjak saya belajar lebih jauh tentang desa dari sudut sosiologis dan antropoligis di bangku kuliah. Keterlibatan saya dalam penelitian-penelitian lapangan tentang kehidupan masyarakat adat dan desa, baik dibidang ekonomi rumah tangga perdesaan, hak-hak lingkungan masyarakat, penguatan demokratisasi masyarakat, penguatan ekonomi (livelihood) desa, dll., membawa saya hampir pada titik “pesimis”: ada apa dengan desa!

Rupa-rupanya sejak saya di bangku SMP sampai masa perkuliahan, dimana waktu itu mulai berkiprah Orde Baru sampai lengsernya, kemudian memasuki pemerintahan Megawati, Habibie, Gus Dur, sampai naiknya Susilo Bambang Yudoyono, telah terjadi perubahan yang hiruk-pikuk terhadap desa baik dari ranah desa yang termarginalkan secara absolut, pemiskinan desa, pembaharuan-pembaharuan reformasi tata pemerintahan dan demokratisasi desa, bongkar pasang perundang-undangan tentang desa, sampai pada paket-paket program yang bagai “hujan di musim kering” bertubi-tubi masuk ke desa.

Dari pengamatan saya waktu ke waktu, tahun ke tahun, dari masa ke masa terhadap lingkungan sekitar saya, juga kunjungan lapangan ke berbagai tempat di Indonesia, pembacaan atas literatur, laporan penelitian, dan media massa, memanglah benar bahwa romantisme tentang desa kian tidak relevan. Pandangan romantik tentang desa “menyesatkan”, tidak saja sesat sebagai deseminasi pengetahuan terhadap generasi kini dan masa datang, tetapi juga menjadi materi yang absurd dalam membangun teori dan strategi implementasi untuk membawa desa menuju ke arah lebih baik dalam hal otonomi dan kesejahteraan masyarakatnya.



Perubahan Mendasar di Desa


Desa-desa di sekitar saya yang saya kenal, juga desa-desa lain diseputar wilayah Yogyakarta, serta saya kira banyak desa-desa lain di Indonesia, sudah sangat berbeda dengan desa-desa 20 sampai 30 tahun yang lalu. Ada banyak sekali (mungkin) aspek-aspek yang mempengaruhi terjadinya perubahan atas sosio-kultural di desa-desa tersebut, namun berikut ini ingin disampaikan beberapa aspek saja yang diperkirakan merupakan aspek paling mendasar yaitu reduksi kultural di desa, kooptasi terhadap tata pemerintahan desa, dan pemiskinan desa.


Learning to Escape from Culture Superiority


Belajar Terlepas Dari Budaya “Superioritas”

Oleh: Emil E. Elip



Ada yang menarik dari masyarakat kita, tetapi sekaligus juga memprihatinkan, yakni bahwa secara sosio-ontologis masyarakat kita bernuansa mudah “saling melawan”. Tawuran antar remaja, perang antar desa atau kampung, tawuran antar kelompok preman, masyarakat membakar pos-pos polisi, tawuran antar supporter hanya gara-gara sepakbola, dsb. Semuanya ingin menunjukkan siapa yang lebih kuat, lebih superior.

Dan yang paling gress, paling baru, hampir saja bangsa ini terbelah dua saling siap “tempur” antar kubu pasangan calon presiden hanya gara-gara melaksanakan salah satu tonggak berdemokrasi, yaitu Pemilu. Yang bermain saling bersitegang disitu bukan hanya para kroco di lapangan tetapi juga para akademisi, politisi, para bekas jenderal, para usahawan dan para tokoh agama pemihak kubu masing-masing. Struktur sosio-ontologisnya sama dengan yang di atas, yaitu ingin unjuk gigi siapa lebih superior. Tentu saja diikuti degan aspek-aspek pembuktian superioritas itu: upaya intimidasi, propaganda, black-campaign, konsentrasi masa, berteriak, himne-himne penyemangat, dll. Nyaris bentrok fisik bagai perang antar suku.

***
Sikap “superioritas” yang berlebihan tidak dilandasi wawasan civilization dan sikap demokrasi yang matang, tak ubahnya adalah sikap “otoritarian”. Kecenderungan sikap otoritarian dalam analisis-analisis kultural mirip dengan sikap-sikap kepemimpinan primitif. Kepemimpinan primitif memiliki karakter merasa paling kuat, paling berkuasa, one man show, sabdo pendhito-ratu, dan jika ada perselisihan maka “perang” adalah pengobat rasa malu.